Rumah Allah di Negeri Ginseng: Kisah Masjid Al-Ihsan Waegwan
Kota Waegwan hari ini masih diselimuti udara dingin. Aplikasi Accu Weather di HP saya menunjukkan suhu 8 derajat. Kemarin selama dua hari berturut-turut (3-4/3/2025) suhu masih di kisaran 2-3 derajat, hujan salju masih turun di kawasan industri Korea Selatan ini.
Sebuah bangunan dengan papan nama Masjid Al-Ihsan Waegwan ini tampak menjulang. Meski tak seperti masjid-masjid megah di Indonesia, masjid ini ngontrak di sebuah gedung berlantai dua. Lantai satu digunakan pemiliknya untuk digunakan sebagai minimarket, sedangkan di lantai dua dikontrak untuk digunakan sebagai masjid.
Masjid Al Ihsan Waegwan terletak di lantai 2 sebuah bangunan di 198-17 Gongdan-ro, Chilgok-gun, Gyeongsangbuk-do, Korea Selatan. Secara geografis, masjid ini berada di kawasan Waegwan yang dekat dengan kota metropolitan Daegu, menjadikannya tempat strategis bagi komunitas Muslim lokal maupun pendatang untuk beribadah. Lokasinya berada di area urban yang mudah diakses karena posisinya persis di pinggir jalan yang memungkinkan mobil-mobil parkir secara berjajar di sepanjang tepi jalan.
Menurut amir masjid (ketua takmir) Ja’far Shodiq, gedung yang ia sewa buat masjid sudah mulai ditawarkan pemiliknya di pasar online Korea Selatan dengan dibanderol harga sekitar 400 juta won Korea Selatan (KRW) atau sekitar 4,5 miliar rupiah. Saat Ja’far bertemu sang pemilik, ia bercerita kalau minimarket yang ia kelola di bawah sudah mulai sepi pembeli. Saat kaki melangkah mendekati pintu masjid, mata saya langsung tertuju pada logo yang menghiasi bagian atas bangunan.
"Waegwan Islamic Center" tertulis dengan jelas, diikuti oleh tulisan hangeul di bawahnya yang bermakna kurang lebih sama. Sebuah perpaduan budaya yang menarik, menandakan bahwa Islam telah menemukan tempatnya di negeri ini. Saya berhasil membaca huruf hangeul dengan bantuan sebuah aplikasi konversi bahasa, jadi sangat mudah bagi saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke Korea Selatan.
Gedung yang dibuat masjid Al-Ihsan ini merupakan bangunan hook, ia berada di pojokan jalan. Di sebelah barat daya masjid, terdapat deretan toko Asia Mart dan Myanmar Store berdiri tegak, menciptakan suasana yang familiar bagi para perantau Muslim seperti saya. Tak jauh dari sana, sebuah mushala kecil milik komunitas muslim Pakistan menambah nuansa keberagaman di kawasan ini. Di seberang jalan sampingnya, terdapat mini biliard dan warung makan babi.
Saya mulai memasuki masjid dari satu-satunya pintu yang disediakan, yaitu di sebelah kiri dari arah mihrab. Langkah kaki saya menapaki 22 anak tangga dengan 3 tikungan bordes. Tangganya disusun dengan baik sehingga bagi orang tua pun, apabila naik tidak akan kesusahan menapakinya.
Di persimpangan bordes pertama, terdapat tulisan kaligrafi Arab "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh", berpadu dengan ucapan selamat datang dalam bahasa Indonesia. Suasananya benar-benar sedikit terasa seperti di Indonesia.
Sepatu dan sandal berjajar rapi pada rak yang ada di bordes persimpangan kedua. Setelah alas kaki saya lepas, kaki saya langsung menginjak karpet tebal pada anak tangga sisanya. Pintu kaca berukir kaligrafi "Allah" mulai saya buka dan kemudian mengantarkan saya ke lorong dengan ukuran kira-kira 1,2 m x 7 m yang tampak bersih namun terdapat banyak pesan di kanan kirinya.
Setelah mendorong pintu kaca sebagai pertanda saya mulai memasuki kawasan masjid, kaki saya melangkah maju ke depan dengan suasana lorong agak remang-remang. Dua langkah kaki berjalan, di sisi kanan lorong, terdapat pintu ruangan dengan enam keran wudhu berderet rapi, dilengkapi tuas keran yang memungkinkan jamaah menentukan berapa suhu air yang mereka butuhkan.
Sekitar 10 pasang sandal karet tersedia di ruangan ini yang melindungi kaki dari dinginnya lantai. Doa setelah wudhu tampak di sebelah kiri lorong yang memungkinkan setiap jamaah yang keluar dari ruang ini, akan mudah menemukan bacaan tersebut.
Sekitar 3 langkah berikutnya, masih di sebelah kanan lorong yang saya lalui, terdapat pintu untuk menuju toilet yang dilengkapi dengan petunjuk doa masuk dan keluar kamar mandi. Tidak langsung menuju toilet, di bagian dalam, bertepatan di sebelah kanan pintu, terdapat mesin cuci otomatis yang memudahkan para jemaah yang tinggal di masjid untuk mencuci baju mereka. Dua pintu toilet yang bersih terawat di sana terletak setelah mesin cuci. Ruangan ini juga dilengkapi sandal sebagaimana tempat wudhu tadi.
Saya melanjutkan perjalanan dengan 4 langkah pada perjalanan lorong tadi. Di area ini, sebelah kanan, pada bagian atas kepala saya terdapat papan pengumuman dan struktur organisasi masjid terpampang, ada nama Ja’far Sodiq tertulis sebagai ketua dan tersurat semua pengurus di bawahnya.
Gelas-gelas kertas sekali pakai tersusun rapi di bawah struktur kepengurusan masjid itu. Sebuah dispenser air minum dengan konsep galon di bagian bawah yang tertutup siap melepas dahaga para jemaah. Di samping kirinya, tempat pengambilan dan pembuangan gelas yang unik mengingatkan saya pada sistem minum air zamzam yang biasa saya temui di Madinah. Di situ juga terdapat meja dengan tinggi berkisar 75 cm dengan perangkat kopi siap seduh bertengger di atasnya.
Di lorong itu, sejurus kemudian, terdapat pintu folding door dengan bahan semacam plastik sudah berada di sebelah kiri saya. Saya mulai memasuki ruangan ini dari masjid Al Ihsan ini. Apabila saya tidak belok kiri, tapi saya ambil lurus mengikuti lorong, maka saya akan sampai ke dapur yang benar-benar berfungsi sebagai dapur jamaah masjid ini. Dengan dapur ini, mereka masak untuk sahur dan berbuka di masjid ini. Pun di hari biasa, mereka masak untuk keperluan makan mereka setiap hari dari dapur ini.
Ruang utama masjid menyambut dengan hangat. Meski tidak berbentuk persegi seperti kebanyakan masjid di Indonesia, ruangan seluas sekitar 13x13 meter dan tinggi 3 meter ini terasa nyaman dan fungsional. Karpet tebal meredam dinginnya lantai, sementara di bagian depan, sebelah kanan dari mihrab terdapat AC standing yang mempunyai fungsi ganda, sebagai penghangat di musim beku, menjadi pendingin di saat panas. Parfum ruangan timer otomatis bertengger di atas sana.
Jendela-jendela besar dengan gorden yang sengaja tidak ditutup dengan total sempurna memungkinkan cahaya alami masuk dari arah kanan jamaah. Terdapat dua sound system yang berada di depan dan belakang area jamaah. Jam digital penunjuk waktu salat menempel di dinding tidak jauh dari AC juga melengkapi fasilitas utama ruangan ini. Di sebelah kiri, ruangan masjid, tertempel kaligrafi Asma’ul Husna dengan bahan sejenis MMT dengan kualitas baik sehingga tulisannya jelas dan tidak mudah pudar.
Kiblat masjid ini sesuai sudut 286.87 derajat untuk menuju lurus ke arah Ka’bah. Mihrab dengan luas total sekitar 5 m2 tidak berbentuk persegi sebagaimana lazimnya di Indonesia, kiblat pada mihrab masjid ini persis bertemu dengan sudut ruangan.
Di bagian depan imam, sudut ruang yang lancip itu dipotong sudutnya, diberikan sentuhan mainan kaku dengan corak warna coklat bergaris sealur di bagian kanan dan kiri dengan lebar masing-masing sekitar 20 cm. Di balik playwood terdapat lampu LED yang jika dinyalakan menjadikan tampilan ruang mihrab ini semakin estetik. Di antara kedua mainan, atau tepat di depan imam berdiri, terdapat partisi berwarna putih tulang yang menjulang ke atas setinggi sekitar 3 meter. Pengurus sengaja membuat lengkungan setengah lingkaran khas masjid pada umumnya di bagian atas mainan furniture ini.
Sebuah mimbar khatib mungil berdiri tegak dengan tinggi berkisar 1 meter dan lebar 50 cm bertuliskan "Al-Ihsan" dalam khat kufi dan khat standar Times New Roman berada di atasnya. Di belakangnya, tampak kursi khatib yang unik - kursi hidrolik dengan sandaran berbentuk seperti kupu-kupu atau paru-paru yang terbelah dua dan headrest terpisah - menambah kesan modern pada interior mihrab masjid.
Khat ayat kursi di sebelah kanan imam atau di belakang mimbar, sedangkan di samping kirinya tertempel surat Al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas. Khat Allah – Muhammad terpampang di persis di luar mihrab.
Dua lapis sajadah untuk imam terlihat tebal menjadikan ruangan yang sudah terdapat karpet di bawahnya ini semakin hangat, empuk dan terasa tebal. Sebelah kiri imam, terdapat meja dengan tinggi satu jengkal, di atasanya tersusun buku-buku seperti ringkasan Sahih Bukhari, Ihya Ulumuddin, Asbabun Nuzul karya Imam As-Suyuthi, dan Fathul Qarib tersedia.
Di bagian belakang jamaah terdapat rak yang berisikan Al Qur’an dan sejumlah buku-kitab.
Yang menarik, di sudut ruangan terpampang jadwal imam, khatib, bilal, dan bahkan jadwal memasak. Hal ini menunjukkan bahwa masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga rumah bagi komunitas Muslim perantau.
Daftar "Two Week One Juz" dengan nama-nama masing peserta yang bisa digeser menunjukkan semangat kebersamaan dalam mengaji Al-Qur'an. Di sudut lain, ada jadwal yasinan beberapa pabrik yang tertera di papan pengumuman menggambarkan bagaimana komunitas ini tetap menjaga tradisi spiritual di tengah kesibukan bekerja.
Masjid Al-Ihsan Waegwan adalah lebih dari sekadar tempat sujud. Ia adalah rumah bagi mereka yang jauh dari kampung halaman. Tempat berlindung bagi pekerja migran yang sedang menanti pekerjaan baru atau menghadapi PHK sepihak.
Ruangan portabel yang bisa dibuka saat waktu salat dan ditutup saat digunakan untuk tidur menunjukkan fleksibilitas dan kepedulian terhadap kebutuhan jamaah. Di sini, solidaritas terjalin erat, merajut kehangatan di tengah dinginnya negeri asing.
Masjid ini juga menjadi tempat di mana budaya dan tradisi berpadu. Kaligrafi kulit kambing yang dibingkai rapi mengingatkan pada kerajinan tradisional Indonesia. Sementara itu, penggunaan huruf hangul di beberapa tempat menunjukkan adaptasi terhadap budaya setempat.
Aroma harum yang menguar dari parfum otomatis dan wadah aromaterapi dengan potongan kayu dan jeruk menciptakan suasana yang menenangkan, mengingatkan pada tradisi penggunaan wewangian di masjid-masjid Timur Tengah.
Laporan infak dan pengeluaran yang terpampang jelas menunjukkan transparansi pengelolaan keuangan masjid. Daftar paguyuban Waegwan beserta nomor kontaknya memudahkan komunikasi antar anggota komunitas. Semua ini mencerminkan nilai-nilai kejujuran dan kepercayaan yang dijunjung tinggi.
Masjid Al-Ihsan Waegwan bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Ia merupakan salah satu dari 12 masjid yang tersebar di berbagai tempat di Korea Selatan. Keberadaannya menunjukkan bahwa komunitas Muslim, meski minoritas, telah memiliki jejaring yang solid di negeri ini.
Desain masjid yang tidak konvensional - dengan kiblat yang berada di sudut ruangan - menunjukkan kreativitas dalam memanfaatkan ruang yang terbatas. Pembagian area untuk tempat salat, toilet, tempat wudhu, dapur, dan kamar-kamar mencerminkan perencanaan yang matang untuk memaksimalkan fungsi bangunan.
Suhu dingin yang menusuk tulang di luar masjid kontras dengan kehangatan yang dirasakan di dalam. Bukan hanya karena penghangat ruangan, tapi juga karena kehangatan persaudaraan yang terjalin di antara para jemaah. Masjid menjadi tempat di mana mereka bisa sejenak melupakan kerasnya kehidupan perantauan dan menemukan kenyamanan dalam ibadah dan kebersamaan.
Keberadaan masjid Al-Ihsan Waegwan seolah menjadi jembatan antara dua dunia: dunia para pekerja migran Muslim dengan budaya dan tradisi mereka, dan dunia Korea Selatan dengan segala keunikannya. Di sinilah terjadi pertemuan budaya, di mana nilai-nilai Islam dipraktikkan dalam konteks masyarakat Korea yang modern.
Setiap sudut masjid ini menceritakan kisah perjuangan para pekerja migran Muslim. Dari mereka yang sedang menunggu pekerjaan baru, hingga yang tengah menghadapi kesulitan kontrak kerja. Masjid menjadi tempat mereka berbagi cerita, saling menguatkan, dan bersama-sama memanjatkan doa untuk masa depan yang lebih baik.
Meski tak sebesar masjid-masjid di Indonesia, Al-Ihsan Waegwan menyimpan kehangatan yang tak ternilai. Ia berdiri tegak sebagai bukti bahwa di mana pun berada, umat Muslim akan selalu menemukan rumah Allah - tempat kembali, tempat berbagi, dan tempat menemukan kedamaian di tengah hiruk-pikuk kehidupan perantauan.
Di tengah kota Waegwan yang sibuk, masjid ini menjadi oasis spiritual bagi para perantau Muslim. Setiap azan yang berkumandang, setiap saf yang diluruskan, dan setiap doa yang dipanjatkan di sini adalah pengingat bahwa meski jauh dari tanah air, mereka tidak pernah jauh dari kasih sayang Allah.
Masjid Al-Ihsan Waegwan mungkin hanyalah sebuah bangunan sederhana di mata orang yang lewat. Namun bagi mereka yang mengenal dan merasakannya, tempat ini adalah rumah, sekolah, dan pelabuhan yang aman di tengah samudera kehidupan yang terkadang bergejolak. Di sinilah mereka menemukan kekuatan untuk terus melangkah, berkarya, dan bermimpi - meski ribuan kilometer jauhnya dari tanah kelahiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar