Sejarah Pembangunan Masjid Nabawi Madinah - Lirboyo
Awal mula
Nabi Muhammad menetap di rumah Abu Ayyub dekat dengan tempat di mana unta beliau beristirahat. Tempat beristirahat unta tersebut adalah tanah yang sebelumnya milik Bani Najjar, sebagian dari tanah itu digunakan oleh orang-orang musyrik untuk menguburkan mayat, sebagian lagi terdapat pohon kurma dan tumbuhan, sedangkan sisanya adalah tanah gersang yang dipenuhi dengan air hujan dan banjir.
Nabi Muhammad mengirim utusan kepada Bani Najjar dan berkata, “Jualah tanah ini kepadaku.” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak akan meminta harganya kecuali dari Allah.” Tanah itu sebelumnya milik dua orang anak yatim dari Bani Najjar, yaitu Sahl dan Suhail bin Rafi’ bin Abu Amr. Mereka berada di bawah asuhan As’ad bin Zurarah. Nabi kemudian mengundang mereka untuk bernegosiasi mengenai pembelian tanah tersebut, agar dapat membangun masjid di sana. Mereka berkata, “Kami akan memberikan tanah ini sebagai hadiah untukmu, wahai Rasulullah.” Namun, Nabi menolak pemberian itu dan terus bernegosiasi hingga akhirnya membeli tanah tersebut untuk dijadikan masjid.
Setelah membeli tanah tersebut, Nabi memerintahkan untuk menebang pohon-pohon kurma, menggali kuburan yang ada, mengubur tulang-tulang manusia yang tersebar, meratakan tanah yang rusak, dan mengeringkan genangan air. Dengan demikian, tempat itu siap dibangun.
Ketawadhuan Baginda Nabi
Para sahabat mulai membangun masjid, bersama dengan Rasulullah, beliau ikut serta membawa batu bata dan berkata:
“Ya Allah, sesungguhnya pahala adalah pahala akhirat, maka ampunilah para Anshar dan Muhajirin.”
Keterlibatan Rasulullah dalam bekerja bersama para sahabat membuat mereka lebih bersemangat dan rela bekerja keras meskipun penuh dengan kesulitan. Para sahabat melihat Nabi meletakkan pakaian luar beliau dan mengangkat batu bata, hingga dada beliau penuh dengan debu. Mereka pun meletakkan pakaian mereka dan saling bekerja sambil berlagu:
“Jika kami duduk sementara orang-orang bekerja, itulah pekerjaan yang sia-sia.”
Peristiwa ini merupakan salah satu contoh besar tentang kerendahan hati Nabi, di mana beliau turut bekerja bersama para sahabat, yang menunjukkan pengorbanan dan kerja sama di antara umat Islam dalam membangun masyarakat yang kuat dan bersatu, berdasarkan iman dan usaha bersama.
Keadaan masjid pada era Nabi
Saat pertama kali bentuk bangunan masjid pada zaman Nabi, ukuran masjid itu sekitar tujuh puluh hasta panjangnya, dengan lebar sekitar enam puluh hasta atau lebih. Dinding masjid terbuat dari kayu, dan atapnya tidak datar. Ketika para sahabat mengeluhkan panas dan hujan, Nabi mengganti dinding masjid dengan kayu dan tiang-tiangnya dengan batang pohon kurma. Atapnya kemudian tertupi dengan pelepah kurma dan batang pohon, sehingga masjid mendapatkan naungan. Setelah itu, bagian bawahnya terlapisi dengan tanah. Di tengah-tengah masjid, terdapat area terbuka yang tidak memiliki atap.
Nama-nama pintu masjid
Masjid ini memiliki tiga pintu di bagian belakangnya, yaitu:
- Pintu Abu Bakar: Terletak di selatan masjid dan sekarang berada di arah kiblat setelah kiblat diubah ke arah Makkah. Setelah perluasan masjid pada masa pemerintahan Utsman, pintu ini menjadi bagian dari masjid.
- Pintu Atikah: Dikenal juga dengan nama “Pintu Rahmah,” terletak di barat masjid, yang sekarang berada dalam perluasan Masjidil Haram pada masa pemerintahan Raja Fahd.
- Pintu Nabi: Pintu yang biasa digunakan oleh Nabi untuk masuk ke masjid, yang juga dikenal dengan nama “Pintu Utsman.”
Referensi: Ahmad Ghalusy, Ash-Shirah an-Nabawiyyah, Muassasah ar-Risalah.
Ikuti kami:
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar