Anak Adopsi dan Persusuan, Apakah Mendapat Hak Waris?

Di Indonesia, praktik adopsi anak menjadi hal yang umum dilakukan. meski demikian, sebagai agama yang sangat memperhatikan garis keturunan, Islam memberikan panduan ketat agar adopsi tidak sampai menimbulkan pelanggaran syariat, termasuk dalam hal warisan.
Islam tidak melarang adopsi, bahkan sangat menganjurkan untuk merawat anak yatim atau anak terlantar. Namun, semua itu harus dilakukan sesuai syariat agar kebaikan yang diniatkan tidak justru menimbulkan mudarat di kemudian hari. Menyayangi boleh, tapi tetap harus menjaga batas.
Jadi, dalam kajian fiqihnya, apakah anak angkat atau adopsi berhak mendapatkan harta warisan dari orang tua angkatnya?
Dalam Islam, hukum warisan untuk anak adopsi memiliki kedudukan yang berbeda dibanding anak kandung. Para ulama sepakat bahwa anak adopsi tidak otomatis berhak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya karena warisan hanya diberikan kepada ahli waris nasab (keturunan) dan ahli waris sabab (hubungan pernikahan).
Hukum tidak adanya hak waris ini berlaku baik untuk anak adopsi yang tidak menjadi mahram, ataupun anak adopsi yang telah menjadi mahram dengan cara susuan (radha’), karena radha’ hanya menjadikannya mahram, tidak menjadikannya memiliki hak waris.
Aturan Formal Waris Anak Adopsi
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), anak angkat tidak secara otomatis menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Hubungan hukum yang timbul dari adopsi tidak otomatis memberikan hak waris seperti anak kandung.
Sedangkan dalam hukum Islam (KHI), anak angkat juga tidak memiliki hak waris. Prinsip utama dalam pewarisan Islam adalah hubungan darah (nasab). Adopsi atau pengangkatan anak tidak memberikan status sebagai anak kandung yang secara otomatis berhak mewarisi.
Anak angkat dapat menerima bagian dari harta warisan orang tua angkat melalui wasiat wajibah (sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam). Wasiat wajibah ini adalah bagian harta yang diberikan kepada orang yang tidak termasuk ahli waris, dan tidak lebih dari 1/3 dari total harta.
Orang tua angkat juga dapat memberikan harta kepada anak angkat melalui hibah (sebuah pemberian tanpa imbal balik) selama hibah tersebut tidak merugikan ahli waris yang sah.
Tidak Ada Hak Waris Karena Tidak Ada Nasab
Dalam Islam, warisan hanya berlaku bagi ahli waris yang sah, yaitu yang memiliki hubungan nasab (kekerabatan darah) atau sabab (pernikahan). Adapun anak angkat, karena tidak memiliki hubungan darah dengan orang tua angkatnya, maka tidak masuk dalam kategori ahli waris.
Dengan demikian, meskipun anak angkat diperlakukan dengan kasih sayang, ia tidak secara syar’i menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi bahwa hak waris hanya diperoleh sebab nasab, pernikahan dan memerdekakan hamba.
وَالَّذِي تَقَرَّرَ عَلَيْهِ دِينُ الْإِسْلَامِ أَنَّ أَسْبَابَ التَّوْرِيثِ ثَلَاثَةٌ النَّسَبُ وَالنِّكَاحُ وَالْوَلَاءُ
Artinya "Dan yang telah ditetapkan dalam agama Islam bahwa sebab-sebab pewarisan itu ada tiga, yaitu nasab (hubungan darah), pernikahan, dan wala' (hubungan karena memerdekakan budak)." (Mafatihul Ghaib [Kairo: Mathba’ah Al-Husainiyah Al-Mishriyah, 1872] juz III, halaman 154)
Anak atau Saudara Sepersusuan Tidak Mendapat Hak Waris
Agar tercipta interaksi yang nyaman, beberapa orang memilih untuk menjadikan anak adopsinya sebagai mahram dengan cara disusui (radha’) sesuai dengan ketentuannya, yaitu usia anak masih di bawah dua tahun, dan susuan dilakukan minimal lima kali. Dengan begitu, mereka dapat lebih leluasa dalam melihat, berkumpul dan bersentuhan.
Dalam pandangan Islam, meskipun telah menjadi mahram dengan susuan, namun hukum initidak menjadikan anak memiliki hak waris. Hukum mahram hanya berlaku dalam kaitan bolehnya melihat, dan tidak membatalkan wudhu dengan bersentuhan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Al-Qulyubi dalam kitab karyanya:
وَالْمَحْرَمِيَّةُ الْمُفِيدَةُ لِجَوَازِ النَّظَرِ وَالْخَلْوَةِ وَعَدَمِ نَقْضِ الْوُضُوءِ بِاللَّمْسِ وَلَا يَثْبُتُ لَهُ مِنْ الْأَحْكَامِ غَيْرُهُمَا فَلَا تَوَارُثَ بَيْنَهُمَا وَلَا نَفَقَةَ بِهِ وَلَا عِتْقَ بِمِلْكِهِ وَلَا لِعَانَ لِنَفْيِهِ وَلَا سُقُوطَ قَوَدٍ وَلَا رَدَّ شَهَادَةٍ
Artinya “Dan kemahraman yang memberikan manfaat untuk bolehnya melihat dan berkhalwat (berdua-duaan) serta tidak membatalkan wudu dengan sentuhan. Dan tidak ditetapkan baginya hukum-hukum selain keduanya, maka tidak ada saling mewarisi di antara keduanya, tidak ada nafkah dengannya, tidak ada pembebasan budak dengan kepemilikannya, tidak ada li'an untuk menafikannya, tidak ada gugurnya qisas, dan tidak ada penolakan persaksian.” (Hasyiyata Al-Qulyubi wa ‘Umairah [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2015] juz IV, halaman 97)
Sebagai solusi syar’i, Islam membuka jalan lain agar anak angkat tetap bisa memperoleh bagian dari harta orang tua angkatnya. yaitu:
Pertama, dengan wasiat. Orang tua angkat boleh mewasiatkan sebagian hartanya (maksimal sepertiga) untuk anak angkat, karena anak angkat bukan ahli waris, maka ia boleh menjadi penerima wasiat.
Kedua, dengan hibah. Semasa hidup, orang tua angkat bisa memberikan hibah atau hadiah kepada anak angkat tanpa batas tertentu, asal adil dan tidak merugikan ahli waris lainnya.
Jadi, dalam pandangan Islam, anak adopsi tidak memiliki hak waris dari orang tua angkatnya, bahkan meskipun sudah menjadi mahram dengan susuan (radha’). Sebagai solusi, syariat tetap membuka ruang untuk memberinya hak melalui cara yang sah, yaitu hibah dan wasiat.
Masyarakat Muslim yang mengadopsi anak sebaiknya memahami hal ini agar dapat mengatur hartanya secara bijak dan sesuai dengan ketentuan agama. Demikian, Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Muhammad Zainul Millah, Wakil Katib PCNU Kab. Blitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar