Sudah di Tanah Suci, Namun Tak Menunaikan Haji? Ini Peringatannya - NU Online - Opsiinfo9

Post Top Ad

demo-image

Sudah di Tanah Suci, Namun Tak Menunaikan Haji? Ini Peringatannya - NU Online

Share This
Responsive Ads Here

 

Sudah di Tanah Suci, Namun Tak Menunaikan Haji? Ini Peringatannya

haji-faizin_1747327651

Sungguh ironis, jika ada sebagian umat Islam yang telah sampai di Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, namun sesampainya di sana malas melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya. Alih-alih memanfaatkan kesempatan emas di tempat yang penuh berkah, mereka justru bersantai-santai di hotel, menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, padahal tidak ada uzur syar’i yang menghalangi. 

 

Sikap ini tidak hanya menyia-nyiakan nikmat besar dan kesempatan yang tidak semua Muslim mendapatkannya, tetapi juga menunjukkan kurangnya kesungguhan dalam menjalankan perintah Allah SWT. Pasalnya, haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

 

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًاۗ 

 

Artinya, “Dan bagi Allah atas manusia (kewajiban) melaksanakan haji ke Baitullah, bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (QS. Ali Imran: 97). 

 

Dalam memahami makna “kemampuan menuju ke sana” (istathā‘a ilayhi sabīlan) sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, para sahabat seperti Ibnu Umar dan lainnya menjelaskan bahwa kemampuan ini merujuk pada ketersediaan bekal (zād) dan sarana transportasi (rāḥilah), sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsirul Munir (Beirut, Damaskus: Darul Fikr al-Mu‘asir, 1418 H, jilid IV, hal. 15). 

 

Di sisi lain, mayoritas ulama memahami ayat ini sebagai teguran keras bagi mereka yang sengaja meninggalkan ibadah haji dengan sikap acuh tak acuh, padahal mereka memiliki kemampuan. Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, meskipun hadits tersebut memiliki kelemahan dalam sanadnya: 

 

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ، فَلْيَمُتْ إِنْ شَاءَ يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا

 

Artinya, “Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak melaksanakan haji, maka silakan ia mati sebagai Yahudi atau Nasrani.” (HR At-Tirmidzi).

 

Hadits ini, walaupun lemah, digunakan sebagai penguat untuk menunjukkan betapa seriusnya dosa meninggalkan haji bagi yang mampu. Ungkapan “mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani” dalam hadits di atas bukan berarti orang tersebut benar-benar menjadi kafir, melainkan sebagai peringatan keras (taghlīzh) agar umat Islam tidak meremehkan kewajiban ini (Tafsiru Munir, jilid IV, hal. 15).

 

Tentu saja, lebih parah dari sekadar mampu namun tidak mendaftar haji ke Baitullah adalah ketika seseorang telah berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, dalam kondisi fisik yang sehat dan mampu melaksanakan rukun-rukunnya, tetapi tanpa uzur syar’i justru bermalas-malasan di sana.

 

Kondisi di atas dapat dijustifikasi dengan hadits yang lebih spesifik dari Ali bin Abi Thalib RA:

 

مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ اللهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلاَ عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ يَهُودِيًّا ، أَوْ نَصْرَانِيًّا

 

Artinya, “Barang siapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang dapat mengantarkannya ke Baitullah, namun ia tidak berhaji, maka tidak ada bedanya baginya apakah ia mati sebagai Yahudi atau Nasrani.” (HR At-Tirmidzi)

 

Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, meskipun terdapat perbincangan mengenai kelemahan sanadnya, seperti yang disebutkan bahwa Hilal bin Abdullah dalam sanad hadits tersebut tidak dikenal (majhūl) dan Harits dianggap lemah dalam periwayatan. Namun, hadits ini memiliki penguat dari riwayat lain yang menunjukkan betapa besar dosa meninggalkan haji bagi yang mampu. (Sunan Tirmidzi, [Beirut: Darul Gharb al-Islami, 1998], jilid II, hlm. 168). 

 

Menurut Al-Mubarakfuri, hadits ini adalah peringatan keras bagi mereka yang menganggap remeh kewajiban haji meski telah mampu. Jika seseorang menolak wajibnya haji, ia bisa terjerumus ke dalam kekufuran. Namun, jika ia mengakui wajibnya haji tetapi malas melaksanakannya, maka ia berdosa besar dan disamakan dengan Yahudi atau Nasrani dalam hal kelalaiannya terhadap perintah Allah (Tuhfatul Ahwazi, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1984], jilid VII, hlm. 80).

 

Ad-Dihlawi dalam Lam’atut Tanqih menjelaskan bahwa perbandingan dengan Yahudi dan Nasrani dalam hadits tersebut adalah untuk menegaskan bahwa meninggalkan haji sama dengan menyia-nyiakan syiar Islam yang agung. (Damaskus: Darun Nawadir, 2014, jilid V, hal. 286). 

 

Ibadah haji adalah panggilan suci yang harus disambut dengan penuh kesungguhan. Bagi mereka yang telah sampai di Tanah Suci, tidak ada alasan untuk malas beribadah kecuali uzur syar’i. Kesempatan berada di tempat yang penuh keberkahan ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta

Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages