Biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Wafatnya Sang Quthb al-Ghauts - Lirboyo net

Berbagi Informasi
By -
0

 

Biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Wafatnya Sang Quthb al-Ghauts - Lirboyo



Siapa yang tak mengenal Syaikh Abdul Qadir al-Jailani? Di kalangan warga Nahdliyin, nama beliau begitu akrab di telinga—sering terdengar dalam hadlarah tahlil dan majelis manaqib di berbagai pelosok kampung. Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa Sang Quthb al-Ghauts itu wafat pada bulan Rabiul Akhir, tepatnya Sabtu malam, selepas Maghrib, tanggal 9 Rabi‘ul Akhir 561 H, bertepatan dengan 15 Januari 1166 M, dalam usia 89 tahun, di kota Baghdad yang menjadi pusat ilmu dan spiritualitas Islam pada masanya.

Baca juga: Rabi‘ul Akhir: Bulan yang Mengusir Bani Nadhir

Nama dan tempat tinggal

Beliau adalah al-Imam al-Faqih al-‘Arif Billah al-Quthb ar-Rabbani, satu-satunya tokoh pada masanya, Sayyiduna ‘Abdul Qadir bin Musa bin ‘Abdillah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa al-Hawzi bin ‘Abdillah al-Mahdh bin al-Hasan al-Mutsanna bin al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, terkenal dengan beberapa nisbah: al-Kilanial-Jailanial-Jaili, dan Muhyi al-Din al-Hanbali.
Nama “Kailan” (atau “Jilan”) adalah sebuah daerah di Irak yang terletak di belakang wilayah Thabaristan; dalam bahasa Arab mempunyai nama Jilan.

Baca juga: 4 Peristiwa Penting di Bulan Rabiul Awwal

Jilan: Saksi bisu kealiman beliau

Beliau lahir di wilayah Jilan pada tanggal 20 Dzulhijjah tahun 470 H, dan ada pula yang mengatakan pada bulan Rabi‘ul Akhir tahun 471 H. Pada usia muda, sekitar tahun 488 H, beliau berpindah ke Baghdad, di mana beliau berguru kepada para ulama besar dalam bidang ilmu syariat dan tasawuf. Di kota itu pula beliau menonjol sebagai da‘i, ahli fikih, ahli hadis, dan orator yang masyhur karena gaya penyampaiannya yang menggugah. Beliau terkenal dengan hidup sederhana dan memperoleh nafkah dari hasil kerja tangannya sendiri. Pada tahun 528 H, beliau mulai mengajar dan memberikan fatwa di Baghdad.

Baca juga: Momentum Kelahiran Nabi: Menumbuhkan Spirit Keteladanan

Komentar para ulama terhadap beliau

Syaikh Al-‘Izz bin ‘Abd as-Salam berkata:

مَا نُقِلَتْ إِلَيْنَا كَرَامَاتُ أَحَدٍ بِالتَّوَاتُرِ إِلَّا الشَّيْخُ عَبْدُ القَادِرِ.

“Belum pernah diriwayatkan kepada kami karamah seseorang secara mutawatir kecuali karamah Syaikh ‘Abdul Qadir.”

Syaikh Ibnu as-Sam‘ani juga menuturkan:

هُوَ إِمَامُ الحَنَابِلَةِ وَشَيْخُهُمْ فِي عَصْرِهِ، فَقِيهٌ صَالِحٌ دَيِّنٌ خَيِّرٌ، كَثِيرُ الذِّكْرِ دَائِمُ الفِكْرِ. كَتَبْتُ عَنْهُ، وَكَانَ يَسْكُنُ بِبَابِ الأَزَجِ فِي المَدْرَسَةِ الَّتِي بُنِيَتْ لَهُ.

“Beliau adalah imam mazhab Hanbali dan syaikh mereka pada masanya, seorang faqih yang saleh, banyak berdzikir, tekun berpikir, dan penuh kebajikan. Aku pernah menulis darinya, dan beliau tinggal di Bab al-Azj, di madrasah yang dibangun khusus untuknya.”

Syaikh Ibnu Rajab al-Hanbali mencatat:

ظَهَرَ الشَّيْخُ عَبْدُ القَادِرِ لِلنَّاسِ، وَجَلَسَ لِلوَعْظِ بَعْدَ العِشْرِينَ وَخَمْسِمِائَةٍ، وَحَصَلَ لَهُ القَبُولُ التَّامُّ مِنَ النَّاسِ، وَاعْتَقَدُوا دِيَانَتَهُ وَصَلَاحَهُ، وَانْتَفَعُوا بِكَلَامِهِ، وَانْتَصَرَ أَهْلُ السُّنَّةِ بِظُهُورِهِ، وَاشْتُهِرَتْ أَحْوَالُهُ وَأَقْوَالُهُ وَكَرَامَاتُهُ وَمُكَاشَفَاتُهُ، وَهَابَهُ المُلُوكُ فَمَنْ دُونَهُمْ.

“Syaikh Abdul Qadir mulai menampakkan diri kepada masyarakat dan duduk untuk memberi nasihat sekitar tahun 520-an H. Beliau mendapatkan penerimaan yang luar biasa dari khalayak, mereka meyakini kesalehan dan ketakwaannya, mengambil manfaat dari perkataannya, dan dengan kemunculannya, akidah Ahlus Sunnah semakin kuat. Karamah, maqam, dan pengaruhnya tersebar luas; bahkan para raja sekalipun segan kepadanya.”

Baca juga: Rahasia Keistimewaan Kemerdekaan Indonesia Tanggal 17 Agustus

Murid-murid beliau

Beliau memiliki banyak murid, di antaranya Ibnu Taimiyah al-Harrani, dan semua muridnya memuji keilmuan serta kemuliaannya — sesuatu yang jarang diperoleh seorang ulama sekaligus wali.

Baca juga: Muharram: Bulan Allah dan Tujuh Peristiwa Agung dalam Sejarah Para Nabi

Kisah menjelang wafatnya

Menjelang wafatnya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani meninggalkan sejumlah nasihat agung bagi putra-putranya dan para pengikutnya. Saat itu, kondisi kesehatannya semakin menurun, tubuhnya lemah, namun cahaya ketenangan terpancar dari wajahnya. Putra-putranya pun berkumpul di sekeliling beliau, memohon wasiat terakhir dari sang ayah yang penuh kebijaksanaan.

Putra sulungnya, Abdul Wahhab, dengan suara bergetar berkata,

“Wahai ayahku, berilah aku wasiat. Apa yang harus aku lakukan setelah kepergianmu nanti?”

Dengan lembut, sang Syaikh menjawab,

“Anakku, bertakwalah kepada Allah. Janganlah takut kepada siapa pun selain Dia. Dalam setiap kebutuhan, mintalah hanya kepada-Nya. Jangan bergantung kecuali pada tali-Nya, dan carilah segala sesuatu semata-mata dari Allah.”

Lalu beliau menambahkan,

“Aku kini ibarat batang kayu yang telah terkelupas kulitnya. Menjauhlah kalian dariku, karena yang tersisa bersama kalian hanyalah jasad lahirku, sementara batinku telah bersama Tuhanku.”

Putranya yang lain, Abdul Aziz, bertanya dengan penuh harap,

“Bagaimana keadaan ayahanda saat ini?”

Beliau menjawab,

“Jangan tanyakan kepadaku tentang siapa pun atau apa pun. Aku sedang kembali dalam lautan ilmu Allah.”

Kemudian Abdul Jabbar, putra lainnya, bertanya,

“Apakah yang ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?”

Syaikh Abdul Qadir menjawab,

“Seluruh tubuhku terasa sakit, kecuali hatiku. Bagaimana mungkin ia sakit, sedangkan ia sedang bersama Allah?”

Pada saat-saat terakhir itu, beliau berpesan,

“Mintalah pertolongan kepada Tuhan yang tiada tuhan selain Dia — Yang Hidup, Yang tidak akan mati, Yang tidak gentar oleh kehilangan apa pun.”

Tak lama setelah kalimat itu terucapSyaikh Abdul Qadir al-Jailani pun berpulang ke hadirat Allah dengan tenang, meninggalkan warisan ilmu, keteladanan, dan cinta kepada Allah yang tak lekang oleh zaman.

Baca juga: Hijrah Rasulullah SAW: Perjalanan Penuh Strategi dan Pengorbanan

Wafat dan Makam

Beliau wafat pada tahun 561 H (bukan 713 H — kemungkinan salah tulis dalam sumber tertentu), dan dimakamkan di madrasahnya di Bab al-Azj, Baghdad. Menurut Dalīl Khārithah Baghdād (hlm. 178), maqam beliau termasuk situs penting yang berada di dalam kawasan tembok timur Baghdad kuno. Hingga kini, tempat tersebut masih berdiri di lokasi aslinya. Di atas makamnya dibangun masjid jami‘ besar dengan kubah indah berhiaskan batu kashani berwarna-warni, dikelilingi menara dan serambi luas yang berdiri di atas tiang-tiang marmer putih.

Baca juga: Tahun Baru Hijriah: Sejarah, Penetapan, dan Makna Hijrah

Referensi:

Dari berbagai sumber, salah satunya yang ditulis oleh Syaikh Abū al-Ḥasan al-Mazīdī Aḥmad Farīd Aḥmad Mazīd asy-Syāfi‘ī al-Atsarī, Universitas al-Azhar – Kulliyyah Uṣūl ad-Dīn, Kairo – pada bulan Ramadan 1420 H. dalam mukadimah karangan Nūr al-Dīn Abū al-Ḥasan ‘Alī al-Syaṭṭanūfī, Bahjat al-Asrār wa Ma‘din al-Anwār fī Ba‘ḍ Manāqib al-Quthb ar-Rabbānī, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 7–8.

Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default