Hukum Shalat Ghaib untuk Korban Bencana yang Belum Ditemukan - NU Online

Central Informasi
By -
0

 

Hukum Shalat Ghaib untuk Korban Bencana yang Belum Ditemukan

NU Online  ·  Jumat, 12 Desember 2025 | 20:35 WIB


Hukum Shalat Ghaib (freepik)

Bushiri

Kolomnis

Musibah banjir besar yang melanda Sumatra beberapa waktu terakhir menyisakan duka mendalam bagi ribuan keluarga. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana, hingga kini 222 orang masih belum ditemukan. Di balik setiap angka itu ada seseorang yang ditunggu kepulangannya, seseorang yang ingin diberikan penghormatan terakhir oleh keluarga yang mencintainya.



Dalam suasana penuh harap dan ketidakpastian ini, wajar bila muncul pertanyaan di tengah masyarakat: Apakah diperbolehkan melakukan shalat ghaib untuk korban bencana yang hingga kini belum ditemukan?



Artikel ini membahas persoalan tersebut berdasarkan pandangan ulama dan ketentuan fikih, agar masyarakat mendapatkan pemahaman yang lebih jelas di tengah kondisi darurat seperti sekarang.



Hukum Shalat Ghaib



Dalam fikih Syafi’i, para ulama menjelaskan bahwa shalat ghaib hukumnya sah dan boleh dilakukan. Dasarnya adalah riwayat ketika Nabi Muhammad SAW menunaikan shalat ghaib untuk Raja Najasyi bersama para sahabat. Perbuatan Nabi ini menjadi landasan kuat bahwa shalat ghaib merupakan amalan yang dibolehkan.



Lebih jauh, Syekh Sulaiman al-Jamal mengatakan shalat ghaib dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan doa bagi seorang Muslim yang wafat di tempat jauh dan tidak dapat dishalatkan secara langsung. Ia berkata;

Baca Juga

Shalat Ghaib dan Jenazah




تَصِحُّ عَلَى غَائِبٍ عَنْ الْبَلَدِ وَلَوْ دُونَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ وَفِي غَيْرِ جِهَةِ الْقِبْلَةِ وَالْمُصَلِّي مُسْتَقْبِلُهَا «؛ لِأَنَّهُ - ﷺ - أَخْبَرَهُمْ بِمَوْتِ النَّجَاشِيِّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ ثُمَّ خَرَجَ بِهِمْ إلَى الْمُصَلَّى فَصَلَّى عَلَيْهِ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا.» رَوَاهُ الشَّيْخَانِ




Artinya, “Sah hukumnya menshalati jenazah yang ghaib (berada jauh) dari kota. Meskipun jaraknya tidak sampai jarak qashar. Dan sah meski jenazah berada di arah selain kiblat sementara orang yang salat menghadap kiblat.



Hal itu karena Nabi saw memberitahu para sahabat tentang wafatnya Raja Najasyi pada hari wafatnya. Lalu Nabi keluar bersama mereka menuju tempat salat dan menyalatinya. Nabi bertakbir empat kali (shalat ghaib) HR. Al-Bukhari dan Muslim”. (Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal, [Beirut, Darul Fikr: t.t.], jilid II, halaman 181)




Hukum Shalat Ghaib Korban Bencana Hilang




Terkait shalat ghaib untuk korban bencana yang masih belum ditemukan, para ulama memiliki pendapat berbeda. Mayoritas ulama tidak membolehkan praktik ini meskipun ada dugaan kuat bahwa korban sudah meninggal. Alasannya, shalat jenazah mensyaratkan jenazah harus dimandikan terlebih dahulu. Karena itu korban bencana yang belum ditemukan tidak boleh dishalati selama tidak ada kepastian bahwa jenazahnya sudah dimandikan.


 

Baca Juga

Tata Cara Mengafani Jenazah dalam Islam

Penjelasan ini sebagaimana disampaikan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Hadramy:




لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ عَلَى مَنْ أُسِرَ أَوْ فُقِدَ أَوْ انْكَسَرَتْ بِهِ سَفِينَةٌ، وَإِنْ تَحَقَّقَ مَوْتُهُ أَوْ حَكَمَ بِهِ حَاكِمٌ إِلَّا إِنْ عُلِمَ غُسْلُهُ أَوْ عَلَّقَ النِّيَّةَ عَلَى غُسْلِهِ




Artinya, “Tidak sah shalat atas (jenazah) orang yang ditawan, atau hilang, atau kapalnya pecah (tenggelam), meskipun sudah dipastikan mati atau atau hakim yang memutuskan, kecuali jika diketahui ia telah dimandikan, atau ia menggantungkan niat shalatnya pada pemandiannya. (Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Hadramy, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, t.t.] halaman 119).


 

Sementara itu, Syekh Khatib as-Syarbini, mengatakan ulama mutaakhirin dalam mazhab Syafi’i memberikan pandangan yang berbeda. Mereka menegaskan bahwa shalat jenazah tidak boleh ditinggalkan hanya karena jenazah sulit dimandikan atau belum ditemukan.

Baca Juga

Tafsir Mimpi Kematian (3): Saat Bermimpi Mengurus Jenazah




Alasannya, dalam kaidah fiqih, kewajiban yang mampu dilakukan tidak gugur hanya karena ada bagian lain yang sulit dilaksanakan. Artinya, jika memandikan jenazah sulit atau tidak mungkin dilakukan, kewajiban untuk menshalatkannya tetap ada selama masih memungkinkan.




Dalam konteks korban bencana yang hilang, memastikan bahwa jenazah sudah dimandikan memang sangat sulit. Namun kesulitan ini tidak menggugurkan kebolehan atau kewajiban shalat jenazah. Karena itu, menurut ulama mutaakhirin, shalat ghaib tetap boleh dilakukan untuk para korban yang belum ditemukan.




Simak keterangan Syekh Khatib as-Syarbini berikut:


فلو مات بهدم ونحوه) كأن وقع في بئر أو بحر عميق (وتعذر إخراجه وغسله) وتيممه (لم يصل عليه) لفوات الشرط ..... قال بعض المتأخرين: ولا وجه لترك الصلاة عليه؛ لأن الميسور لا يسقط بالمعسور، لما صح {واذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم}؛ ولأن المقصود من هذه الصلاة الدعاء والشفاعة للميت وجزم الدارمي وغيره أن من تعذر غسله صلي عليه.



Artinya, “Jika seseorang mati karena tertimpa (reruntuhan) atau semisalnya, seperti jatuh ke sumur atau laut yang dalam, lalu sulit untuk mengeluarkannya dan memandikan dan mentayammumnya, maka jenazah tersebut tidak boleh dishalati karena syaratnya tidak terpenuhi.



Sebagian ulama mutaakhirin berkata: ‘tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat atas jenazah tersebut. Karena sesuatu yang bisa dikerjakan tidak bisa gugur akibat sesuatu lain yang tidak bisa dikerjakan. Berdasarkan hadis sahih, (jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah darinya sesuai kemampuan kalian). Tujuan shalat ini adalah doa dan syafaat untuk mayit. Ad-Darimi dan yang lain memastikan bahwa orang yang sulit dimandikan tetap dishalati.” (Khatib as-Syarbini, Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1994], jilid II, halaman 50).




Pendapat ulama mutaakhirin ini memang menyalahi pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i. Meski begitu, Imam As-Syarwani menganjurkan untuk mengikuti pendapat mereka, terutama pada kasus jenazah yang sangat sulit ditemukan. Tujuannya memberi doa dan syafaat kepada jenazah. Juga untuk menghindari kesan meremehkan jenazah serta menjaga perasaan keluarga korban.



Simak penjelasan Asy Syarwani berikut ini :

 


 لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ) هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ خِلَافًا لِجَمْعٍ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ حَيْثُ زَعَمُوا أَنَّ الشَّرْطَ إنَّمَا يُعْتَبَرُ إلَخْ ..... وَيَنْبَغِي تَقْلِيدُ ذَلِكَ الْجَمْعِ لَا سِيَّمَا فِي الْغَرِيقِ عَلَى مُخْتَارِ الرَّافِعِيِّ فِيهِ تَحَرُّزًا عَنْ إزْرَاءِ الْمَيِّتِ وَجَبْرًا لِخَاطِرِ أَهْلِهِ





Artinya, “Jenazah tersebut tidak boleh dishalati. Ini adalah pendapat yang muktamad. Berbeda dengan sekelompok ulama mutaakhirin yang berpendapat bahwa syarat itu hanya dianggap berlaku... dan seterusnya.




Dan seyogyanya mengikuti pendapat sekelompok ulama (mutaakhirin) tersebut. Terutama pada kasus orang tenggelam menurut pendapat yang dipilih Imam ar-Rafi’i dalam masalah itu untuk menghindari merendahkan mayit dan untuk menjaga perasaan keluarganya.” (as-Syarwani, Hawasyi as-Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaj, [Mesir, Maktabah Tijariyah: 1983], jilid III, halaman 189)



Ragam pandangan ini memberi gambaran bahwa shalat ghaib untuk korban bencana yang belum ditemukan memiliki landasan berbeda dalam fiqih. Mayoritas ulama tidak membolehkannya karena syarat shalat jenazah menuntut jenazah sudah dimandikan. Syarat ini tidak terpenuhi selama jenazah belum ditemukan.




Sementara itu, ulama muta'akhirin memberikan jalan lain. Mereka menilai kesulitan menemukan jenazah tidak dapat menggugurkan kewajiban yang masih mungkin dilakukan. Tujuan shalat jenazah adalah doa dan permohonan ampunan. Unsur ini tetap bisa dijalankan meski jenazah belum ditemukan. Karena itu mereka membolehkan shalat ghaib untuk korban yang hilang.





Pendapat terakhir memberi ruang bagi mereka yang ingin memberi penghormatan terakhir bagi para korban. Keluarga korban juga mendapatkan ketenangan karena orang yang mereka cintai tetap bisa didoakan. Waallahu a’lam.



-----------
Bushiri, Pengajar di Zawiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan



============ 

Para dermawan bisa donasi lewat NU Online Super App dengan mengklik banner "Darurat Bencana" yang ada di halaman Beranda atau via web filantropi di tautan berikut: filantropi.nu.or.id.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default