POLEMIK METODE PENETAPAN AWAL BULAN HIJRIYAH - Lirboyo

Pendahuluan
Dewasa kini, masyarakat kerap kebingungan tatkala memasuki akhir bulan Sya’ban ataupun akhir bulan Syawal. Di kepala mereka selalu bercokol pertanyaan hari apa puasanya? Atau kapan lebarannya? juga masalah tersebut sering menuai perbedaan antara ormas islam terbesar di Indonesia; NU dan Muhammadiyah. Lantas, sebenarnya apa perbedaan kompleks yang menyebabkan hal itu terjadi?
Secara garis besar, Nahdlatul Ulama atau NU selalu memakai metode rukyat al-hilal (melihat hilal) namun tanpa mengesampingkan metode hisab. Terbukti, banyak sekali karangan ulama NU tentang metode hisab seperti kitab Tashil al-Amtsilah karangan Syaikh Yunus al-Kadiri yang termasuk salah satu kurikulum di Pondok Pesantren Lirboyo bagi santri yang sudah berada di jenjang akhir. Lalu, mengapa NU tetap memakai metode rukyat? Karena hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:
صُومُوا لِرُؤيَتِه (رواه بخاري ومسلم)
“Berpuasalah karena telah melihatnya (hilal)” (HR. Bukhari Muslim) [Qurrat al-‘Ain bi fatawa ‘ulama al-Haramain hal. 79 Maktabah ‘Arafat.]
Sedangkan dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin dijelaskan dengan tegas bahwa metode penetapan awal bulan hijriyah yang paling relevan digunakan adalah dengan metode rukyat, hal itu tidak hanya berlaku pada awal bulan Ramadhan saja, melainkan penetapan seluruh awal bulan hijriyah harus menggunakan metode rukyat.
لا يثبت رمضان كغيره من الشهور إلا برؤية الهلال أو إكمال العدة ثلاثين بلا فارق ، إلا في كون دخوله بعدل واحد ، وأما ما يعتمدونه في بعض البلدان من أنهم يجعلون ما عدا رمضان من الشهور بالحساب ، ويبنون على ذلك حل الديون والتعاليق ، ويقولون اعتماد الرؤية خاص برمضان فخطأ ظاهر ، وليس الأمر كما زعموا وما أدري ما مستندهم في ذلك.
“Tidak terjadi bulan Ramadhan—seperti halnya bulan-bulan lain—kecuali dengan melihat hilal atau menyempurnakan jumlah 30 hari tanpa pemisah, kecuali masuknya bulan Ramadhan dengan khabar-nya satu orang yang adil. Adapun pendapat yang menjadi landasan oleh ulama di sebagian daerah, bahwa mereka menetapkan awal bulan selain Ramadhan itu dengan metode hisab, dengan berlandaskan catatan-catatan lampau akan metode itu. Dan mereka mengatakan bahwa metode rukyat hanya berlaku untuk penetapan awal bulan Ramadhan saja (tidak untuk bulan-bulan lain), dan pernyataan itu jelas keliru. Sementara kebenaran itu tidak seperti halnya yang mereka asumsikan, namun aku tidak tahu apa tendensi mereka dalam menyatakan statement itu.” [Bughyat al-Mustarsyidin, hal. 232 Dar al-Fikr.]
Cara Rukyat Ketika Awan Mendung
Namun, ketika hanya terpaku dengan metode rukyat saja, justru akan menimbulkan pertanyaan lain, seperti: Bagaimana jika waktu itu awan mendung? Malah justru tidak akan bisa melihat apakah rukyat itu sudah muncul atau belum? Jawabannya ada di redaksi hadist setelahnya yang berupa:
فَإِن غُمَّ عَلَيْكُم فَأكْمَلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ (رواه بخاري)
“Ketika mendung menghampiri kalian, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban (dengan) tiga puluh hari” (HR. Bukhari).
Rukyat Menggunakan Teleskop
Pertanyaan itu tidak hanya selesai di situ. Jika dahulu kala sebelum alat-alat canggih muncul, orang-orang islam ketika ingin melakukan rukyatul hilal itu dengan menggunakan mata telanjang mereka sendiri. Sedangkan pada zaman sekarang—yang penuh dengan benda-benda canggih salah satunya teleskop. Pertanyaannya adalah: masih relevankah praktek rukyat jika prakteknya dengan teleskop? Menurut keterangan dalam kitab Irsyadu Ahlu al-Millah, bahwa melihat hilal dengan teleskop dapat menjadi dasar masuknya awal bulan hijriyah, karena bentuk yang terlihat oleh teleskop adalah bentuk asli dari hilal. [Irsyadu Ahlu al-Millah, hal. 204]
Adapun metode penetapan awal bulan hijriyah yang menjadi landasan oleh Muhammadiyah adalah metode hisab (perhitungan). Karena Menurut mereka, ada dua ayat yang mengandung isyarat yang jelas kepada hisab, QS. Ar-Rahman ayat 5. Ayat ini tidak sekadar memberi informasi, tetapi juga mendorong untuk melakukan perhitungan terhadap gerak matahari dan bulan. Sedangkan dalam QS. Yunus ayat 5 menyebutkan bahwa menghitung gerak matahari dan bulan sangat berguna untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.[1]
Mana Yang Didahulukan Ketika kedua Metode Itu Bertolak Belakang?
Jika kita sudah mengetahui metode rukyat dan hisab, pastinya juga bercokol pertanyaan: Bagaimana Ketika antara rukyat dan hisab saling bertolak belakang? Mana yang didahulukan?
Di dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin hal. 227 mengungkapkan:
إن عارض الحساب الرؤية فالعمل عليها لا عليه على كل قول.[2]
“Tatkala metode hisab bertentangan dengan metode rukyat, maka yang terpakai adalah metode rukyat, bukan hisab—menurut seluruh pendapat.”
Sedangkan ketika kita melihat Keputusan fatwa MUI No 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah. Fatwa itu salah satunya memutuskan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawwal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI cq. Menteri Agama dan berlaku secara nasional.[3] Jadi, pemerintah menetapkan kedua metode tersebut saling menguatkan, dan mereka menamakan metode itu dengan nama Imkan ar-Ru’yat. Dalam artian, metode hisab hanya menjadi perantara untuk melakukan metode rukyat agar tepat sasaran, baik waktu maupun harinya.
Penutup
Terakhir, sebagai warga negara Indonesia, sudah sebaiknya apa-apa yang menjadi keputusan pemerintah wajib dipatuhi—tak terkecuali perihal penentuan awal bulan Hijriyah. Sebagaimana firman Allah swt. di dalam Q.S An-Nisa ayat: 49 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ (النساء:49)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.
Karena menurut KH. Maimoen Zubair di dalam kitab beliau yang berupa Nushush al-Akhyar fi as-Shaumi wa al-Iftar bahwa yang paling penting adalah menjunjung tinggi persatuan islam dalam penentuan puasa dan hari raya dan segala hal yang berhubungan dengan syiar islam. Kiai Maimoen juga menekankan dalam epilognya bahwa keputusan hakim dalam hal ini adalah Kementerian Agama adalah sebuah keputusan yang bisa menetalisir perbedaan antara kelompok yang berbeda dalam hal penetapan hari raya. Kiai Maimoen juga merespon bahwa keputusan Kementerian Agama tentang penetapan hilal di negara ini bersifat mengikat dan wajib untuk ditaati, karena sikap taat tersebut merupakan sikap yang paling bijaksana meskipun berbeda dengan yang ditetapkan di negara lain. Wallahu a’lam bisshawab.
[1] https://www.umko.ac.id/2023/03/01/alasan-muhammadiyah-tidak-menggunakan-rukyat-dalam-penentuan-awal-bulan/
[2] Bughyat al-Mustarsyidin, hal. 227 Dar al-Fikr.
[3] https://kemenag.go.id/nasional/mui-terus-cari-titik-temu-metode-penetapan-awal-bulan-hijriyah-7l1dvw
Baca juga: Niat dan Tata Cara Puasa Sunnah Bulan Sya’ban
Subscribe: Pondok Lirboyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar