Sawah Tercampur Air Bekas Basuhan Babi, Najiskah? - Lirboyo net - Opsiinfo9

Post Top Ad

demo-image

Sawah Tercampur Air Bekas Basuhan Babi, Najiskah? - Lirboyo net

Share This
Responsive Ads Here

 

Sawah Tercampur Air Bekas Basuhan Babi, Najiskah? - Lirboyo

Memandikan-babi

Belakangan ini ramai di dunia maya sebuah video yang memperlihatkan seseorang memarahi pengemudi truk pengangkut babi. Dalam video tersebut, terlihat pengemudi sedang memandikan babi dan membuang air bekas cucian ke area persawahan. Lantas, timbul pertanyaan: apakah sawah yang terkena aliran air bekas cucian babi tersebut menjadi najis?

Keterangan najis mughaladzah pada Babi

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa babi merupakan hewan yang termasuk najis mughaladzah. Hal ini sebagaimana keterangan dalam sebuah penganalogian hadits nabi yang oleh Syaikh Zakariya al-Anshari kutip dari kitab Shahih Muslim:

وَنُدِبَ إرَاقَةُ سُؤْرِ الْكَلْبِ أَيْ بَاقِي مَا وَلَغَ فِيهِ (فَوْرًا) لِخَبَرِ مُسْلِمٍ إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ، وَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

“(Dan sunah untuk segera membuang sisa air liur anjing), yaitu sisa air yang terjilat olehnya (dengan segera), berdasarkan hadis riwayat Muslim: ‘Apabila anjing menjilat pada wadah salah seorang dari kalian, maka hendaklah ia membuangnya, lalu mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah.’”

وَيُقَاسُ بِالْكَلْبِ الْخِنْزِيرُ

“Dan babi dianalogikan (dikiaskan) dengan anjing.” (Baca: Syaikh Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib [Beirut: DKI] hal. 22 vol. 1)

Air yang tidak bisa mensucikan

Dalam permasalahan najis, menurut madzhab Syafi’i, air yang tidak bisa mensucikan perkara lain itu ada dua jenis: air musta’mal (air bekas menghilangkan najis atau hadats—yang hukumnya suci tapi tidak mensucikan) atau juga bisa masuk dalam kategori air yang terkontaminasi najis (mutanajjis).

Baca juga: Mengambil Berkah (Tabarruk), Bolehkah?

Air musta’mal bisa suci

Ketika volume air bekas basuhan itu tidak sampai dua qullah (kurang lebih 270 liter) tapi tercampur dengan air lain sampai volume air mencapai dua qullah atau lebih, maka air tersebut termasuk air yang suci.

Hal ini seperti keterangan Syaikh al-Juwaini dalam kitab Nihayah al-Mathlab yang berupa:

إِذَا جُمِعَ مِنَ الْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ فِي مَقَرٍّ مَاءٌ بَلَغَ قُلَّتَيْنِ، فَفِي الْمَسْأَلَةِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا – وَهُوَ الْأَصَحُّ – أَنَّهُ يَعُودُ طَهُورًا؛ فَإِنَّ الْمَاءَ الْقَلِيلَ النَّجِسَ إِذَا جُمِعَ إِلَيْهِ مَاءٌ نَجِسٌ، فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ، وَلَمْ يَتَغَيَّرِ الْمَاءُ، فَالْكُلُّ طَهُورٌ.

“Jika air musta’mal terkumpul dengan air lainnya di suatu tempat hingga mencapai dua qullah, maka dalam masalah ini terdapat dua pendapat.

Pendapat pertama—dan ini yang paling sahih— adalah bahwa air tersebut kembali menjadi suci dan mensucikan (ṭahūr); karena air sedikit yang najis apabila ditambahkan air najis lainnya hingga jumlahnya mencapai dua qullah dan air tersebut tidak berubah (sifatnya), maka keseluruhannya menjadi suci dan mensucikan.”(Baca: Al-Juwaini, Nihayah al-Mathlab, [Dar al-Minhaj] vol. 1 hal. 235).

Konsep air yang terkena najis

Dalam teori fiqih, ada sedikit perbedaan hukum antara air yang mengalir dan air yang menggenang—yang keduanya sama-sama terkena najis.

Baca juga: Tata Cara Mencuci Pakaian Najis Dengan Mesin Cuci

Air menggenang

Ketika menghukumi air menggenang yang terkena najis ada beberapa ketentuan, yakni:

  • Jika airnya kurang dari dua qullah—baik sifat airnya berubah (rasa, warna dan bau) maupun tidak—maka terkena hukum najis;
  • Jika airnya dua qullah atau lebih, maka dipilah; jika sifat airnya berubah maka najis, jika tidak berubah maka tidak najis.

Air mengalir

Dalam konsep air mengalir yang terkena najis ini terbagi menjadi dua ketentuan:

1.      Air mengalir yang terhanyut dengan najis

Sementara dalam menghukumi air mengalir yang terhanyut dengan najis, Syaikh al-Juwaini menjelaskan:

فَأَمَّا إِذَا وَقَعَتْ نَجَاسَةٌ مَّائِعَةٌ فِي الْمَاءِ الْجَارِي، فَإِن لَمْ تُغَيِّرِ الْمَاءَ، وَامْحَاقَتْ فِي الْمَاءِ، فَلَا حُكْمَ لَهَا، وَالْمَاءُ طَاهِرٌ كُلُّهُ؛ فَإِنَّ جَمِيعَ الْمَاءِ فِي النَّهْرِ يَزِيدُ عَلَى قُلَلِ، وَقَدْ دَرَسَتْ آثَارُ النَّجَاسَةِ. وَمَا زَالَ الْمَاضُونَ يَسْتَنْجُونَ مِنْ شُطُوطِ الْأَنْهَارِ، وَلَا يَرَوْنَ ذَٰلِكَ مُنَجِّسًا لِلْمَاءِ.

“Adapun jika najis cair jatuh ke dalam air yang mengalir, jika najis tersebut tidak mengubah air dan hilang dalam air, maka tidak ada hukum atasnya, dan seluruh air tetap suci. Karena seluruh air di sungai lebih banyak dari dua qullah, dan jejak-jejak najis telah hilang. Para ulama terdahulu selalu membersihkan diri di tepi sungai dan tidak menganggap itu menjadikan air tersebut najis.” .”(Baca: Al-Juwaini, Nihayah al-Mathlab, [Dar al-Minhaj] vol. 1 hal. 269).

2.      Air mengalir yang tidak terhanyut dengan najis

Sedangkan jika najis tidak hanyut dengan air, maka air yang belum melewati najis dipastikan suci sedangkan air yang sudah melewati najis bisa dipilah ke dalam dua hukum: 

  • Najis jika airnya sedikit atau airnya banyak dan berubah;
  • Suci jika banyak dan tidak berubah.

فَأَمَّا إِذَا كَانَتِ النَّجَاسَةُ وَاقِفَةً رَاسِيَةً فِي أَسْفَلِ الْوَادِي الْعَظِيمِ، فَلَا خِلَافَ أَنَّا لَا نَحْكُمُ بِنَجَاسَةِ مَا يَنْحَدِرُ، وَهَذَا مَحَالٌ تَخَيُّلُهُ، وَلْيَكُنْ مَا يَنْحَدِرُ عَنِ النَّجَاسَةِ كَمَا عَنِ الْيَمِينِ وَالْيَسَارِ فِي أَمْرِ التَّبَاعُدِ.

“Adapun jika najis itu berhenti dan menetap di bagian bawah lembah yang besar, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa kami tidak menganggap air yang mengalir setelahnya menjadi najis, karena hal tersebut mustahil untuk membayangkannya. Oleh karena itu, air yang mengalir setelah najis dianggap seperti air yang berada di kanan dan kiri dalam hal menjauhkan diri dari najis.” (Baca: Al-Juwaini, Nihayah al-Mathlab, [Jeddah: Dar al-Minhaj] vol. 1 hal. 269).

Bagaimana jika air yang terkena najis malah mencapai 2 qullah ketika tercampur dengan air lain?

Meskipun dalam realitanya air tersebut najis, namun ketika tercampur dengan genangan air lain dan mencapai dua qullah, maka keseluruhan air tersebut suci. Hal ini sebagaimana keterangan Syaikh Ibnu Suraij:

قَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ: فَإِن مَرَّتْ هَذِهِ الْجَرِيَّةُ عَلَى مَاءٍ رَاكِدٍ، وَكَانَتِ الْجَرِيَّةُ كَدِرَةً، وَالْرَاكِدُ صَافِيًا، فَبَلَغَا قُلَّتَيْنِ، كَانَ الْجَمِيعُ طَاهِرًا؛ لِأَنَّ الْاعْتِبَارَ بِاجْتِمَاعِ الْمَاءِ الْكَثِيرِ فِي مَوْضِعٍ وَاحِدٍ، وَلَا اعْتِبَارَ بِاخْتِلَاطِهِ حَتَّى لَا يَتَمَيَّزُ.

“Ibnu Surayj berkata: Jika arus air tersebut mengalir melewati air yang menggenang, dan arus itu keruh sedangkan air yang menggenang jernih, lalu keduanya menyatu dan mencapai dua qullah, maka semuanya menuai hukum suci. Sebab, yang menjadi ukuran adalah berkumpulnya air dalam satu tempat dengan volume besar, bukan semata karena tercampurnya dua air yang sifatnya tidak dapat membedakannya.” (Baca: Abu Husein al-Umrani al-Yamani, al-Bayan fi madzhab asy-Syafi’I, [Jeddah: Dar al-Minhaj] vol. 1 hal. 40)

Hukum mengonsumsi hasil panen tanaman yang terkena najis

Terlepas dari hukum najis atau tidaknya status air, hukum tanaman yang tanahnya terkena najis tetap halal untuk mengonsumsi hasil panennya. Hal ini sebagaimana keterangan Imam an-Nawawi yang berupa:

مَسْأَلَةٌ: إِذَا سَقَى الزَّرْعَ، وَالْبَقْلَ، وَالثَّمَرَ، مَاءً نَجِسًا أَوْ زَبَلَتْ أَرْضُهُ هَلْ يَحِلُّ أَكْلُهُ؟  الْجَوَابُ: يَحِلُّ أَكْلُهُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

“Masalah: Jika tanaman, sayuran, dan buah disiram dengan air najis atau tanahnya diberi pupuk kotoran, apakah boleh dimakan?
Jawaban: Boleh dimakan, dan Allah lebih mengetahui.” (Baca: An-Nawawi, Fatawa An-Nawawi, [Dar al-Basyair al-Islamiyah], hal. 21). 

Kesimpulan

Dari seluruh penjelasan di atas menuai kesimpulan bahwa:

  • Air yang terkontaminasi dengan najis itu masih berpotensi suci ketika tercampur dengan air lain hingga mencapai volume air dua qullah;
  • Halal mengonsumsi hasil panen tanaman meskipun sebelumnya pernah teraliri oleh air/benda najis.

Wallahu a’lam.

Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo

Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages