Haji Dulu atau Nikah Dulu? - Lirboyo net - Opsiinfo9

Post Top Ad

demo-image

Haji Dulu atau Nikah Dulu? - Lirboyo net

Share This
Responsive Ads Here

 

Haji Dulu atau Nikah Dulu? - Lirboyo

Beribadah-haji-bagi-yang-sudah-menikah-e1747457422647

Pilihan yang sulit

Seseorang yang sudah terbilang sukses dalam masalah ekonominya kerap kali bingung ketika memutuskan untuk memilih antara menikah atau haji terlebih dahulu? Padahal hartanya tidak cukup untuk memenuhi keduanya dan ia harus memilih salah satunya.

Terlepas dari itu semua, bagi orang islam, menunaikan ibadah haji merupakan ibadah idaman, pasalnya, tidak semua muslim bisa menjalankan rukun islam yang terakhir itu.

Akhir-akhir ini pun, menikah menjadi tameng pribadi di tengah derasnya kemerosotan moral dan isu sosial yang mencemari kehidupan muda-mudi.

Lantas, ketika hal demikian dihadapkan bagi orang yang sudah “mampu” maka mana yang harus terlebih dahulu dilakukan? Haji dulu atau nikah dulu?

Baca juga: Menatap Masa Depan dengan Kecerdasan

Tergantung pribadi orangnya

Dalam kitab Kifayah al-Akhyar harus mempertimbangkan pribadi orang itu, dalam artian, apakah ia khawatir terjerumus dalam zina atau tidak?

وَلَوْ قَدَرَ عَلَى مُؤَنِ الْحَجِّ لَكِنَّهُ مُحْتَاجٌ إِلَى النِّكَاحِ لِخَوْفِ الْعَنَتِ، وَهُوَ الزِّنَا، فَصَرْفُهُ إِلَى النِّكَاحِ أَهَمُّ مِنْ صَرْفِهِ إِلَى الْحَجِّ، لِأَنَّ حَاجَةَ النِّكَاحِ نَاجِزَةٌ، وَالْحَجُّ عَلَى التَّرَاخِي، وَإِنْ لَمْ يَخَفِ الْعَنَتَ، فَتَقْدِيمُ الْحَجِّ أَفْضَلُ، وَإِلَّا فَالنِّكَاحُ أَفْضَلُ.

“Apabila seseorang mampu membiayai ibadah haji, namun ia juga membutuhkan pernikahan karena khawatir terjerumus dalam al-‘anat, yaitu zina, maka membelanjakan hartanya untuk menikah lebih utama daripada menggunakannya untuk haji.

Sebab, kebutuhan akan pernikahan bersifat mendesak (langsung), sedangkan kewajiban haji boleh tertunda (tidak harus segera dilakukan).

Namun, jika ia tidak khawatir terjerumus dalam zina, maka mendahulukan haji lebih utama. Sebaliknya, jika khawatir (terjerumus zina), maka pernikahan lebih utama.” [Baca: Syaikh Abu Bakr bin Muhammad al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, (Damaskus: Dar al-Khir) hal. 212.]

Mendahulukan nikah tapi ada konsekuensinya

Syaikh Ibnu Qasim al-‘Ubadi menjelaskan dalam kitabnya bahwa orang tersebut harus mendahulukan menikah, namun kewajiban haji tetap menjadi tanggungannya.

لَكِنْ يَسْتَقِرُّ الْحَجُّ فِي ذِمَّتِهِ أَخْذًا مِمَّا قَالُوهُ فِيمَنْ لَيْسَ مَعَهُ إِلَّا مَا يَصْرِفُهُ لِلْحَجِّ أَوِ النِّكَاحِ، وَاحْتَاجَ إِلَيْهِ، أَنَّهُ يُقَدِّمُهُ وَيَسْتَقِرُّ الْحَجُّ فِي ذِمَّتِهِ.

“Namun, kewajiban haji tetap menetap dalam tanggungannya (dzimmah), berdasarkan apa yang telah oleh para ulama katakan tentang seseorang yang tidak memiliki kecuali harta yang bisa ia gunakan untuk haji atau untuk menikah, dan ia membutuhkannya, bahwa ia boleh mendahulukan pernikahan, tetapi kewajiban haji tetap melekat dalam tanggungannya” [Baca Hasyiyah Ibnu Qasim al-‘Ubadi, (Beirut: Dar Ihya Turats) hal. 18 vol. 4]

Maksud kalimat “Tidak sempurna ibadah hajinya seseorang hingga ia menikah”

Namun, di sisi lain Sahabat Ibnu ‘Abbas pernah berkata:

لَا يَتِمُّ نُسُكُ النَّاسِكِ حَتَّى يَتَزَوَّجَ.

“Tidak sempurna ibadahnya orang yang berhaji sehingga ia menikah”

Dalam kitab Ihya Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa:

“Secara realitas, memang ungkapan Ibnu Abbas ini menegaskan bahwasanya orang yang belum mempunyai pendamping sulit untuk menjaga hatinya ketika berhaji, karena syahwatnya masih terdominasi, dan satu-satunya cara adalah dengan menikah.

Oleh karena itu, tidaklah sempurna ibadah haji seseorang kecuali dalam keadaan hati yang kosong (tidak terdominasi oleh syahwat), dan hati yang kosong bisa diperoleh dengan menikah.” [Baca: Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Ma’rifat) Hal. 23 vol. 2]

Dalam kesempatan lain, Sahabat Ibnu Mas’ud pun mengungkapkan:

لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنْ عُمُرِي إِلَّا عَشَرَةُ أَيَّامٍ، لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَتَزَوَّجَ لِكَيْلَا أَلْقَى اللهَ عَزَبًا.

“Seandainya tidak tersisa dari umurku kecuali sepuluh hari saja, sungguh aku ingin menikah agar tidak menghadap Allah dalam keadaan lajang.” [Baca: Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Ma’rifat) Hal. 23 vol. 2]

Dari penjelasan demikian, kita bisa mengambil benang merah bahwa orang yang mempunyai pasangan itu ada sisi keistimewaan di sisi Allah, karena setiap birahi yang muncul dari orang yang sudah mempunyai pasangan itu mempunyai tempat untuk melampiaskannya.

Baca juga: Salah Paham Tentang Tawasul dan Macam-Macam Lafadz Tawasul

Apakah harta untuk menikah menghalangi kewajiban haji?

Lantas, apakah harta yang akan digunakan untuk menikah bisa menghalangi kewajiban haji?

Ibnu Qasim al-‘Ubadi dalam kitabnya menjelaskan:

وَهَذَا بِخِلَافِ الْحَاجَةِ إِلَى النِّكَاحِ، فَإِنَّهُمْ لَمْ يَجْعَلُوهَا مَانِعَةً مِنَ الْوُجُوبِ كَمَا سَيَأْتِي، وَلَعَلَّ الْفَرْقَ مَا أَشَارُوا إِلَيْهِ بِتَعْلِيلِ عَدَمِ كَوْنِهَا مَانِعَةً مِنَ الْوُجُوبِ بِأَنَّهَا مِنَ الْمَلَاذِّ. لِأَنَّهُ ضَرُورِيٌّ فَيَمْنَعُ الْوُجُوبَ.

Hal ini berbeda dengan kebutuhan terhadap pernikahan, karena para ulama tidak menjadikannya sebagai penghalang bagi kewajiban (haji). Mungkin perbedaannya sebagaimana telah mereka isyaratkan, yaitu bahwa pernikahan tidak dianggap sebagai penghalang haji karena termasuk kebutuhan yang bersifat kenikmatan (bukan kebutuhan pokok). Karena yang tergolong kebutuhan pokoklah yang dapat menghalangi kewajiban (haji).” [Baca Hasyiyah Ibnu Qasim al-‘Ubadi, (Beirut: Dar Ihya Turats) hal. 18 vol. 4]

Baca juga: Polemik Metode Penetepan Awal Bulan Hijriyyah

Kesimpulan

  1. Mendahulukan antara menikah dan haji adalah tergantung orangnya, jika dia khawatir terjerumus dalam zina maka mendahulukan menikah, jika tidak, maka mendahulukan haji.
  2. Jika dia memilih mendahulukan menikah, maka kewajiban menjalankan ibadah haji masih menjadi tanggungannya.
  3. Maksud kalimat ucapan Ibnu Abbas yang berupa “tidak sempurna ibadah hajinya seseorang hingga ia menikah” adalah ada keunggulan tersendiri bagi orang yang sudah menikah dalam hal menahan dan melampiaskan syahwatnya.
  4. Adapun harta yang digunakan untuk menikah—menurut mayoritas ulama—tidak bisa menghalangi kewajiban haji.

Wallahu a’lam.

Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo

Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages