Bertani sebagai Ibadah Sosial dan Jihad Ekologis

Di tengah krisis lingkungan dan ketimpangan akses pangan, masyarakat Indonesia dihadapkan pada situasi yang cukup memprihatinkan. Harga beras semakin melonjak, lahan pertanian semakin tergerus, dan air-air bersih menjadi sangat langka bagi warga pedalaman. Dalam waktu bersamaan, ekspansi tambang dan kemajuan lahan industri semakin menggilas tanah subur milik rakyat kecil.
Situasi semacam ini memanggil umat Islam untuk meninjau ulang posisi strategis pertanian dan persiapan bahan pangan dalam kacamata syariah. Pada titik inilah Islam tak bisa tinggal diam. Bertani bukan hanya pekerjaan untuk mengisi kekosongan perut, melainkan bentuk ibadah sosial yang dianjurkan oleh Allah dan termasuk bagian dari jihad ekologis. Syariat mengatur hubungan manusia dengan lingkungan, dan menempatkan pengelolaan tanah serta pemenuhan pangan sebagai bagian dari tanggung jawab khalifah di muka bumi.
Dilansir dari laman walhi.or.id, beberapa tahun yang lalu hutan di Kalimantan dan Papua mengalami eksploitasi dan penggundulan untuk membangun industri ekstraktif, seperti pertambangan. Akibatnya, Indonesia kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar setiap tahunnya. Selain itu, 101 dari 105 sungai, tercemar dengan kondisi yang amat parah. Situasi seperti ini menunjukan bahwa krisis ekologi tidak boleh dipandang sebelah mata.
Oleh karena itu, Islam memposisikan manusia bukan sebagai penguasa mutlak di muka bumi, tetapi sebagai khalifah yang diberi amanah oleh Allah untuk merawat dan menjaga muka bumi, bukan malah merusaknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 165:
وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلٰۤىِٕفَ الْاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْۗ اِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ الْعِقَابِۖ وَاِنَّهٗ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌࣖ
Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu beberapa derajat atas sebagian (yang lain) untuk menguji kamu atas apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat hukuman-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini menegaskan, Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi bukan hanya untuk mengatur kehidupan rakyat, melainkan mengatur pengelolaan tanah, air, dan pangan. Siapa pun yang merusak prosesnya, seperti meracuni tanah, mencemari air, atau mengeksploitasi hutan-hutan untuk kepentingan industri, merupakan pelaku kerusakan yang bertentangan dengan nilai-nilai syariah.
Dalam konteks fiqih, perilaku kerusakan lingkungan dikategorikan dalam perkara muharramat (sesuatu yang diharamkan), karena mengancam maslahah ammah (kemaslahatan umum). Ulama fiqih kontemporer seperti Syekh Wahbah Az-Zuhaili menegaskan, menjaga alam termasuk bagian dari fardhu kifayah. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, [Damaskus: Dar al-Fikr, 1985], Juz 8. Hal 5827)
Syariah Berbicara Ekologi
Realitas hari ini, menunjukkan banyak sekali wilayah subur yang kini menjadi lahan tambang. Di Halmahera dan Wawonii, tanah-tanah adat petani diambil alih oleh Perusahaan nikel. Di pesisir Papua, tambang pasir laut merusak ekosistem. Bahkan Pembangunan IKN yang kelak akan menjadi ibu kota, menggusur ladang-ladang produktif warga Kalimantan.
Di sisi lain, krisis air mulai mengancam pesantren dan pedesaan. Di Gunungkidul, Cianjur, sampai Karawang, air menjadi barang langka. Hal ini tentu mempengaruhi ketahanan pangan masyarakat kecil. Jika air dan tanah dirampas, maka pangan pun berada di ambang krisis. Allah sudah menjelaskan dalam firman-Nya, bahwa kerusakan seperti ini adalah ulah manusia. Allah berfirman dalam surat Ar-rum sebagai berikut:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Artinya: “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan tangan manusia. (melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-rum: 30/41)
Imam al-Thabari dalam Jami al-Bayan fi Ta'wil al-Quran menyebutkan bahwa "kerusakan" (الفساد) mencakup banyak bentuk: pembunuhan, kezaliman, kelaparan, harga melambung, dan bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Menurutnya, makna “kerusakan” tidak terbatas pada aspek ekologis, tapi juga kerusakan akhlak dan moral yang menyebar di masyarakat. (Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, [Beirut: Muassasah ar-Risalah], halaman 338-340)
Padahal dalam surat lain, Allah melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi ini. Allah berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya Rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 7/56)
Dalam menafsirkan ayat ini Imam al-Qurthubi mengutip ucapan al-Dahhak ibn Muzahim (w. 105 H):
مَعنَاهُ لَا تَغورو المَاءَ المُعَيَّنَ وَلَا تَقطَعُوا الشَجَرَ المُثَمَّرَ ضَرَرًا
Artinya: "Maknanya, janganlah kalian mengeringkan air yang mengalir dan janganlah kalian memotong pohon yang berbuah secara merugikan." (Imam al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Qur'an [Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah], Jilid 7, halaman 160)
Syariah tidak bisa diam saat tanah-tanah subur berubah menjadi kubangan tambang. Syariah juga tidak cukup hanya mengatur halal-haram makanan, tetapi harus mengatur keadilan dalam cara makanan itu diproduksi atau didistribusikan.
Bertani sebagai Ibadah dan Sedekah
Dalam pandangan syariat, Bertani bukanlah sekadar pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan finansial saja. Lebih dari itu, bertani merupakan bagian dari ibadah sosial dan sedekah ekologis yang sangat berdampak luas bagi keberlangsungan hidup, terlebih hidup di era krisis ekologis seperti saat ini. Aktivitas ini menyentuh dua dimensi penting dalam Islam, yaitu: [1] Pengabdian kepada Allah (ibadah) dan [2] Manfaat sosial antar sesama (sedekah).
Rasulullah SAW dengan tegas memuliakan aktivitas bercocok tanam. Hal ini sesuai dengan sabdanya dalam sebuah hadits:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا, أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَة ٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
Artinya: “Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia, hewan, atau burung, kecuali hal tersebut menjadi amal sedekah baginya.” (HR. Imam Bukhari, No. 2321)
Hadits ini menunjukkan bahwa hasil pertanian yang dinikmati makhluk hidup dapat bernilai pahala. Islam tidak membatasi sedekah pada pemberian secara langsung saja, tetapi pemberian tidak langsung namun bermanfaat, tetap dinamakan sedekah.
Bertani juga dapat dinilai sebagai ibadah, terutama ketika dilakukan dengan niat yang Ikhlas untuk memenuhi kebutuhan manusia, mengurangi ketergantungan pada sistem kapitalisasi bahan pangan, dan menjaga kelestarian bumi sebagai Amanah bagi kita selaku khalifahnya. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menyatakan, “Pertanian adalah pekerjaan paling mulia karena ia menjadi dasar kehidupan, penopang tubuh, kehidupan hewan, dan dengan itu dunia menjadi tegak.” (Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin [Dar al-Ma’rifah] Juz, II, halaman, 104)
Syariah tidak boleh hanya hidup di dalam rak lemari dan podium ceramah. Ia harus membumi di ladang-ladang tandus, di sungai yang kering, di pasar yang tidak adil, dan di perut petani yang kelaparan. Ketika santri mulai menanam cabai dan bawang di belakang pesantren, ketika para kiai mendukung pertanian organik, dan ketika lembaga pesantren menjadi pusat argoekologi, maka saat itu juga syariah hidup dan menumbuhkan kehidupan.
Ingatlah, Bertani bukan sekadar perkerjaan menanam dan memanen, ia adalah zikir sosial dan jihad ekologis yang diam-diam menyelamatkan umat dari ketergantungan dan kehancuran.
Alief Hafidzt Aulia, Mahasiswa STIT Al-Marhalah Al ‘Ulya Bekasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar