Talak dalam Keadaan Mabuk: Apakah Otomatis Suami-Istri Bercerai?


Dalam kehidupan rumah tangga, perceraian atau talak merupakan suatu hal yang seringkali terjadi. Ia bisa menjadi jalan keluar terakhir dari konflik yang berkepanjangan, namun juga bisa menjadi keputusan gegabah disebabkan luapan amarah sesaat. Benar memang, talak dalam Islam memang diperbolehkan, hanya saja menjadi perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah.
Karenanya, tidak heran jika para ulama dari generasi ke generasi membahasnya dengan sangat serius, tidak hanya perihal hukum dan waktu dibolehkannya talak, tetapi juga membahas tentang kondisi dan situasi seseorang ketika mengucapkan talak. Misalnya, talak dalam keadaan dipaksa, talak dalam keadaan gila, atau juga dibahas oleh para ulama talak dalam keadaan tidur.
Selain beberapa keadaan dan kondisi di atas, terdapat salah satu situasi yang menimbulkan banyak perdebatan dalam fikih, yaitu ketika seorang suami menjatuhkan talak dalam keadaan mabuk. Di mana dalam kondisi ini, seseorang dalam keadaan hilang akal dan kesadarannya.
Dan masalahnya adalah bahwa mabuk tidak selalu dilakukan dengan sengaja, meski tentu saja kejadian seperti ini sangat jarang adanya, salah satu contohnya adalah orang yang meminum miras karena tidak tahu bahwa itu memabukkan. Dan yang lumrah, mabuk dengan disengaja. Lantas, apakah ucapan talak orang mabuk ini dianggap sah? Atau justru dinyatakan batal karena cacat kesadaran?
Tulisan ini akan membahas dan menelusuri lebih dalam perihal perbedaan pandangan para ulama seputar sah atau tidaknya talak yang diucapkan dalam kondisi mabuk.
Talak dalam Keadaan Mabuk
Para ulama berbeda pendapat perihal keabsahan talak yang dijatuhkan dalam keadaan mabuk. Sebagian berpendapat bahwa talak tersebut tetap sah karena mabuk dianggap sebagai akibat dari perbuatan yang disengaja. Sementara yang lain berpendapat bahwa talak dalam kondisi mabuk tidak sah, karena orang yang kehilangan kesadaran tidak sepenuhnya memahami apa yang ia ucapkan, sehingga kedudukannya disamakan dengan orang gila atau dipaksa.
Beberapa perbedaan pendapat di atas sebagaimana dicatat oleh Imam Abul Husain Yahya bin Abil Khair al-Umrani (wafat 558 H), dalam salah satu kitabnya ia menjelaskan bahwa orang yang meminum khamar atau minuman keras hingga mabuk, maka menurut pendapat masyhur dalam mazhab Syafi’i, ucapan tersebut sah dan terjadi talak.
Hanya saja menurutnya, Imam Syafi’i dalam pendapat lamanya (qaul qadim) berpendapat bahwa dalam persoalan ucapan dzihar suami kepada istrinya yang disampaikan dalam keadaan mabuk terjadi dua pendapat, ada yang mengatakan terjadi sehingga wajib membayar kafarat, dan ada yang mengatakan tidak terjadi. Jika ucapan suami mabuk dalam bab dzihar saja terdapat dua pendapat, maka demikian juga ucapan talak seorang suami dalam keadaan mabuk. Dalam kitabnya, Abul Husain al-Umrani mencatat:
وَحَكَى الْمُزَنِيُّ أَنَّهُ قَالَ فِي الْقَدِيْمِ: فِي ظِهَارِ السَّكْرَانِ قَوْلاَنِ. فَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: إِذَا ثَبَتَ هَذَا، كَانَ فِي طَلاَقِهِ أَيْضًا قَوْلَانِ، أَحَدُهُمَا: لاَ يَقَعُ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ رَبِيْعَةُ وَاللَّيْثُ وَدَاوُدُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَالْمُزَنِيُّ، لِأَنَّهُ زَالَ عَقْلُهُ فَأَشْبَهَ الْمَجْنُوْنَ. وَالثَّانِي: يَقَعُ طَلاَقُهُ
Artinya, “Al-Muzani meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata dalam qaul qadimnya: ‘Dalam kasus dzihar yang diucapkan oleh orang mabuk terdapat dua pendapat.’ Maka sebagian ulama dari kalangan kami mengatakan, jika dua pendapat ini sudah menjadi ketetapan, maka dalam masalah talak orang mabuk juga terdapat dua pendapat: pertama, talaknya tidak terjadi. Ini merupakan pendapat Rabi’ah, al-Laits, Dawud, Abu Tsaur, dan al-Muzani, karena orang yang mabuk telah kehilangan akalnya, sehingga disamakan dengan orang gila. Kedua, talaknya terjadi (sah).” (al-Bayan fi Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Jeddah: Darul Minhaj, 2000 M], jilid X, halaman 69-70).
Dari dua pendapat berbeda di atas, pendapat yang masyhur dan lebih diunggulkan dalam mazhab Syafi’i adalah pendapat kedua, yang mengatakan bahwa talak dalam keadaan mabuk hukumnya sah. Kemudian lebih lanjut, Imam Abul Husain al-Umrani menjelaskan perihal ‘illat (sebab hukum) dari terjadinya talak orang yang mabuk.
Sebagian berpendapat bahwa talaknya dianggap sah sebagai bentuk pemberatan atau sanksi tegas (taghlidz) atas perbuatannya. Maka berdasarkan illat ini, segala tindakan yang berdampak memberatkan hukum tetap dinilai sah darinya, seperti talak, riddah (murtad), memerdekakan budak, serta ucapan yang menyebabkan dijatuhkannya hukum had.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa karena mabuknya berasal dari maksiat, maka tidak diberi keringanan hukum, dan keadaannya diperlakukan seperti orang sadar sepenuhnya. Dan, alasan ini merupakan pendapat yang shahih, sehingga semua perbuatannya, baik yang berdampak berat maupun ringan, tetap dianggap sah dan berlaku secara hukum.
Dan, jika seseorang mabuk karena meminum obat atau minuman selain khamar, maka hukumnya berbeda tergantung tujuannya. Jika meminum karena ada keperluan (hajah), maka ia dianggap seperti orang gila. Tapi jika sengaja meminumnya untuk menghilangkan akal, maka hukumnya seperti orang mabuk karena maksiat, sebagaimana orang yang minum khamar atau nabidz. (Abul Husain al-Umrani, X/70).
Pendapat bahwa talak dalam keadaan mabuk dianggap sah sebagai bentuk taghlidz atau sanksi berat juga disampaikan oleh Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Baghdadi, atau yang lebih masyhur dengan nama Imam al-Mawardi (wafat 450 H), dalam kitabnya dijelaskan,
طَلَاق الْمَجْنُونِ لَا يَقَعُ تَخْفِيفًا وَطَلَاق السَّكْرَانِ يَقَعُ تَغْلِيظًا، لِأَنَّ الْمَجْنُونَ لَيْسَ بِعَاصٍ وَالسَّكْرَانَ عَاصٍ
Artinya, “Talak orang gila tidak terjadi (tidak sah) sebagai bentuk keringanan, sedangkan talak orang mabuk tetap terjadi sebagai bentuk pemberatan, karena orang gila tidak berdosa, sedangkan orang mabuk adalah pelaku maksiat.” (al-Hawi al-Kabir fi Fiqhi Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Beirut: Darul Fikr, 1999 M], jilid X, halaman 268).
Sementara itu, Imam Jalaluddin al-Mahalli (wafat 864 H) dalam salah satu kitabnya mengutip pendapat Imam asy-Syafi’i bahwa orang mabuk terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: (1) munculnya rasa semangat dan gairah yang tinggi, yaitu ketika khamar mulai masuk ke dalam tubuhnya namun belum sepenuhnya menguasai dirinya; (2) kondisi mabuk berat, yaitu ketika ia benar-benar teler hingga terjatuh seperti orang pingsan, tidak bisa berbicara dan nyaris tidak mampu bergerak.
Dan (3) kondisi pertengahan antara keduanya, yaitu ketika keadaan dirinya mulai kacau, ucapan dan tindakannya tidak lagi teratur namun masih tersisa kemampuan untuk membedakan, berbicara, dan memahami apa yang disampaikan orang lain dan apa yang disampaikan dirinya sendiri.
Dalam tiga kondisi tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam masalah sah tidaknya talak orang mabuk sesuai dengan kondisi dan keadaan mabuknya. Perbedaan itu sebagaimana dicatat oleh Imam al-Mahalli, dalam kitabnya disebutkan:
فَهَذِهِ الثَّالِثَةُ مَحلُّ الْخِلَافِ فِي طَلَاقِ السَّكْرَانِ، وَأَمَّا الْأُولَى فَيَنْفُذُ الطَّلَاقُ فِيهَا قَطْعًا لِبَقَاءِ الْعَقْلِ. وَأَمَّا الثَّانِيَةُ فَلَا يَنْفُذُ فِيهَا إذْ لَا قَصْدَ لَهُ كَالْمُغْمَى عَلَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ جَعَلَهُ عَلَى الْخِلَافِ لِتَعَدِّيهِ بِالتَّسَبُّبِ إلَى هَذِهِ الْحَالَةِ
Artinya, “Maka kondisi ketiga inilah yang menjadi titik perbedaan pendapat dalam masalah talak orang mabuk. Adapun kondisi pertama, talaknya dinyatakan sah secara pasti karena akalnya masih ada. Sementara kondisi kedua, talaknya tidak dianggap sah karena ia tidak memiliki niat atau kesadaran, seperti orang yang pingsan. Namun sebagian ulama tetap menganggapnya sebagai persoalan yang diperselisihkan, karena orang tersebut telah sengaja membawa dirinya ke dalam keadaan itu (mabuk berat)." (Kanzur Raghibin Syarh Minhajit Thalibin, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], jilid III, halaman 864).
Terlepas dari ragam pendapat para ulama di atas, penting untuk memperhatikan bagaimana persoalan ini diposisikan dalam hukum Islam di Indonesia. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), meskipun tidak secara eksplisit menyebut istilah “mabuk”, ditegaskan bahwa talak hanya dianggap sah jika dijatuhkan dalam keadaan sadar dan penuh kesadaran di hadapan sidang Pengadilan Agama.
Hal ini sebagaimana tercermin dalam Pasal 117 KHI, yang menyatakan bahwa, “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.”
Dengan demikian, maka talak harus melalui proses hukum yang formal, sehingga jika suami dalam keadaan mabuk berat (tidak sadar) disebabkan alkohol dan zat memabukkan lainnya, Pengadilan Agama tidak akan mengabulkan permohonan talak karena dianggap tidak memenuhi kesadaran hukum. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar