Skip to main content

Ad Code

728
728

Pandangan Islam soal Fenomena S Line di Media Sosial - NU Online

 Internet 

Pandangan Islam soal Fenomena S Line di Media Sosial

Belakangan ini, media sosial ramai dengan trend viral bernama "S Line." Sebuah fenomena visual yang berasal dari drama Korea terbaru, di mana seseorang perempuan memiliki kemampuan aneh, yakni bisa melihat garis merah yang muncul di atas kepala orang lain. Garis merah ini  merupakan simbol pernah melakukan hubungan seksual.

 

Dari drama tersebut, tren ini menjalar ke media sosial mulai dari tiktok, instagram, hingga twitter (X), dan mirisnya banyak anak muda Indonesia mulai ikut-ikutan membuat konten serupa, menambahkan efek garis merah untuk menunjukkan seolah-olah "body count" mereka bisa dilihat publik.

 

Sekilas memang terlihat lucu atau kreatif. Tapi jika dilihat dari sudut pandang nilai-nilai Islam, tren ini menyimpan banyak persoalan yang tidak bisa dianggap remeh. Bukan hanya soal moral pribadi, tapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan aib, kesucian diri, dan kehormatan sebagai hamba Allah.

 

Islam sendiri merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi kehormatan dan menutup aib. Dalam sebuah hadits sahih, Rasulullah Saw bersabda:

 

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ، فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

 

Artinya, "Setiap umatku akan dimaafkan kecuali orang-orang yang terang-terangan (dalam berbuat dosa). Dan termasuk terang-terangan itu adalah seseorang berbuat dosa di malam hari, lalu di pagi harinya ia berkata, 'Wahai fulan, semalam aku melakukan ini dan itu,' padahal Allah telah menutupi dosanya semalaman, namun di pagi hari ia membuka penutup yang Allah berikan." (HR. Bukhari Muslim).

 

Terkait hadits di atas, Imam An-Nawawi menjelaskan maksud dari 'Al-Mujahirin' sebagaimana penjelasan berikut,

 

وَقَوْلُهُ: "إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ"، هُمُ الَّذِينَ جَاهَرُوا بِمَعَاصِيهِمْ، وَأَظْهَرُوهَا، وَكَشَفُوا مَا سَتَرَ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِمْ، فَيَتَحَدَّثُونَ بِهَا لِغَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلَا حَاجَةٍ

 

Artinya: “Adapun sabda Nabi SAW: ‘Kecuali orang-orang yang terang-terangan (berbuat dosa)’, maksudnya adalah mereka yang menyatakan secara terang-terangan dosa-dosa mereka, menampakannya, dan membuka apa yang telah Allah tutupi atas mereka. Mereka lalu membicarakannya tanpa ada kebutuhan atau alasan yang dibenarkan syara". (Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, [Beirut: Daar Ihya', 1392 H], juz 18, halaman 119).

 

Dalam konteks S-Line, meskipun hanya efek digital namun substansinya tetap sama yakni menyebarkan sesuatu yang seharusnya ditutupi, seolah bangga terhadap dosa dan menjadikannya bahan hiburan. Bahkan meskipun kontennya dibuat hanya sebagai lelucon, Islam tidak memandang enteng sikap mempermainkan nilai-nilai moral dan kesucian diri. Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur'an:

 

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

 

Artinya, "Sesungguhnya orang-orang yang suka agar perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat." (QS. An-Nur [24]: 19).

 

Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas sebagaimana berikut:

 

وَقَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا مَيْمُونُ بْنُ أَبِي مُحَمَّدٍ الْمَرْئِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِبَادٍ الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ ثَوْبَانَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: لَا تُؤْذُوا عِبَادَ اللهِ، وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ، وَلَا تَطْلُبُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ طَلَبَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ، طَلَبَ اللهُ عَوْرَتَهُ، حَتَّى يَفْضَحَهُ فِي بَيْتِهِ

 

Artinya, “Imam Ahmad meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Maimun bin Abī Muḥammad al-Mar’ī, dari Muḥammad bin ‘Abbād al-Makhzūmī, dari Tsaubān, dari Nabi Saw, Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyakiti hamba-hamba Allah, jangan mencela mereka, dan jangan mencari-cari aib mereka. Sesungguhnya siapa yang mencari aib saudaranya sesama Muslim, maka Allah akan mencari aibnya, hingga Dia akan membongkarnya meskipun ia berada dalam rumahnya sendiri.” (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wa Tauzi’: 1999 M/ 1420 H], juz 6, halaman 29-30).

 

Jadi, dalam ayat itu memberikan peringatan keras bagi siapa saja yang menormalisasi kemaksiatan, baik secara nyata maupun digital. Selain itu, menyebarkan aib seseorang atau pun diri sendiri bisa diancam azab yang pedih, apalagi memvisualisasikan dan mempopulerkannya sebagai hiburan.

 

Sementara itu, hukum menampilkan konten negatif, seperti halnya menampakkan aib atau konten yang menimbulkan syahwat ini adalah haram dan dilarang dalam Islam, seperti penjelasan dalam kitab Al-Fiqih alal Madzabil Arba'ah,

 

وَيَتَعَلَّقُ بِإِجَابَةِ الدَّعْوَةِ إِلَى الْوَلِيمَةِ مَسْأَلَةُ التَّصْوِيرِ، فَهَلْ تَسْقُطُ الْإِجَابَةُ إِذَا عَلِمَ الْمَدْعُوُّ أَنَّهَا مُشْتَمِلَةٌ عَلَى صُورَةٍ أَوْ لَا تَسْقُطُ؟ وَالْجَوَابُ: أَنَّهَا تَسْقُطُ إِلَّا إِذَا كَانَتِ الصُّورَةُ مُحَرَّمَةً لَا يُبَاحُ التَّفَرُّجُ عَلَيْهَا شَرْعًا، أَمَّا إِذَا كَانَتْ جَائِزَةً فَإِنَّ الْإِجَابَةَ لَا تَسْقُطُ بِوُجُودِهَا فِي مَحَلِّ الْوَلِيمَةِ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الصُّورَةَ إِمَّا أَنْ تَكُونَ صُورَةً لِغَيْرِ حَيَوَانٍ كَشَمْسٍ وَقَمَرٍ وَشَجَرٍ وَمَسْجِدٍ، أَوْ تَكُونَ صُورَةَ حَيَوَانٍ عَاقِلٍ أَوْ غَيْرِ عَاقِلٍ

 

فَالْقِسْمُ الْأَوَّلُ جَائِزٌ لَا كَلَامَ فِيهِ، وَأَمَّا الْقِسْمُ الثَّانِي فَإِنَّ فِيهِ تَفْصِيلَ الْمَذَاهِبِ، عَلَى أَنَّ الْمُحَرَّمَ مِنْهُ إِنَّمَا حُرِّمَ فِي نَظَرِ الشَّرْعِ إِذَا كَانَ لِغَرَضٍ فَاسِدٍ، كَالتَّمَاثِيلِ الَّتِي تُصْنَعُ لِتُعْبَدَ مِنْ دُونِ اللَّهِ، فَإِنَّ فَاعِلَ هَذَا لَهُ أَسْوَأُ الْجَزَاءِ، وَكَذَلِكَ إِذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهَا تَشَبُّهٌ بِالتَّمَاثِيلِ، أَوْ تَذَكُّرٌ لِشَهَوَاتٍ فَاسِدَةٍ، فَإِنَّهَا فِي هَذِهِ الْحَالَةِ تَكُونُ كَبِيرَةً مِنَ الْكَبَائِرِ، فَلَا يَحِلُّ عَمَلُهَا وَلَا بَقَاؤُهَا وَلَا التَّفَرُّجُ عَلَيْهَا. أَمَّا إِذَا كَانَتْ لِغَرَضٍ صَحِيحٍ كَتَعَلُّمٍ وَتَعْلِيمٍ، فَإِنَّهَا تَكُونُ مُبَاحَةً لَا إِثْمَ فِيهَا

 

Artinya, "Masalah tentang menjawab undangan walimah berkaitan dengan masalah gambar/foto, yaitu: Apakah kewajiban menjawab (menghadiri) undangan gugur jika orang yang diundang mengetahui bahwa di dalamnya terdapat gambar, ataukah tidak gugur? Jawabannya: Kewajiban menjawab undangan gugur, kecuali jika gambar tersebut termasuk gambar yang diharamkan, yang secara syariat tidak boleh dilihat. Adapun jika gambar tersebut diperbolehkan, maka kewajiban menjawab undangan tidak gugur hanya karena keberadaan gambar tersebut di tempat walimah. Hal ini karena gambar itu terbagi menjadi dua jenis: [1] Gambar yang bukan binatang, seperti gambar matahari, bulan, pepohonan, dan masjid. [2] Gambar binatang, baik yang berakal maupun tidak.

 

Jenis pertama diperbolehkan dan tidak ada perdebatan dalam hal itu. Adapun jenis kedua, terdapat perincian menurut mazhab-mazhab. Gambar yang diharamkan menurut syariat adalah jika dibuat untuk tujuan yang rusak, seperti patung yang dibuat untuk disembah selain Allah, maka pelakunya mendapat hukuman yang sangat berat. Demikian juga jika gambar tersebut menyerupai patung atau membangkitkan syahwat yang rusak, maka dalam kondisi seperti ini, termasuk dosa besar, sehingga tidak boleh dibuat, tidak boleh dibiarkan tetap ada, dan tidak boleh dilihat. Namun, jika gambar itu dibuat untuk tujuan yang benar, seperti untuk belajar dan mengajar, maka gambar tersebut diperbolehkan dan tidak mengandung dosa.” (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqih alal Madzabil Arba'ah, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2003 M/1424 H], juz 2, halaman 39-40).

 

Jadi, mengikuti tren S-Line selain melanggar norma dan etika dalam Islam juga haram karena dapat menarik syahwat dan menimbulkan orang lain melakukan kemaksiatan, seperti halnya ghibah dan menuduh orang lain. Maka dari itu berhati-hatilah jangan sampai tren mengalahkan iman atau rasa ingin viral menyingkirkan rasa malu. Dalam Islam, malu adalah sebagian dari iman, sebagaimana penjelasan hadits Nabi oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani berikut,

 

وَقَوْلُهُ: «الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ»، أَيْ: أَثَرٌ مِنْ آثَارِ الْإِيمَانِ. وَحُكِيَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ: رَأَيْتُ الْمَعَاصِيَ مَذَلَّةً، فَتَرَكْتُهَا مُرُوءَةً، فَصَارَتْ دِيَانَةً. وَقَدْ يَتَوَلَّدُ الْحَيَاءُ مِنَ اللهِ تَعَالَى مِنَ التَّقَلُّبِ فِي نِعَمِهِ، فَيَسْتَحْيِي الْعَاقِلُ أَنْ يَسْتَعِينَ بِهَا عَلَى مَعْصِيَتِهِ. وَقَدْ قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: خَفِ اللهَ عَلَى قَدْرِ قُدْرَتِهِ عَلَيْكَ، وَاسْتَحْيِ مِنْهُ عَلَى قَدْرِ قُرْبِهِ مِنْكَ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ

 

Artinya, “Sabda Nabi Saw: Malu adalah salah satu cabang dari iman, maksudnya: ia adalah salah satu dampak atau pengaruh dari beberapa pengaruh iman. Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, ‘Aku melihat maksiat itu menghinakan, maka aku meninggalkannya demi menjaga martabat, lalu menjadi (bagian dari) agamaku.’ Karena sesungguhnya rasa malu itu dari Allah Ta'ala dan muncul karena seseorang menyadari limpahan nikmat-Nya, hingga seorang yang berakal merasa malu menggunakan nikmat-nikmat itu untuk bermaksiat kepada-Nya. Sebagian ulama salaf berkata: “Takutlah kepada Allah sesuai dengan kekuasaan-Nya atasmu, dan malulah kepada-Nya sesuai dengan kedekatan-Nya kepadamu.” Dan Allah Maha Mengetahui.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, [Riyadh: Darus Salam, 2000 M/1421 H], juz 1, halaman 102).

 

Maka dari itu, bagi remaja dan mahasiswa yang sedang mencari jati diri, penting untuk menanamkan prinsip bahwa tidak semua yang viral itu layak untuk diikuti. Dunia digital memang cepat berubah, tapi nilai-nilai Islam tetap kekal dan menjadi cahaya di tengah gelombang zaman.

 

Mari kita menjadi generasi yang cerdas dalam bermedia sosial. Menyaring tren dengan iman, dan menjaga diri dengan ilmu serta akhlak. Karena di akhirat kelak, bukan jumlah likes atau views yang ditimbang, tapi amal dan dosa yang akan diperhitungkan. Wallahu a'lam

 

M Rufait Balya, Alumnus Ma'had Aly Mamba'ul Ma'arif Denanyar dan Alumnus Kelas Menulis Keislaman 2025

Posting Komentar

0 Komentar

Update

728