Tiga Cara Ampuh Mengobati Penyakit Ghibah


Di tengah derasnya arus komunikasi digital dan dominasi media sosial, membicarakan keburukan orang lain seakan menjadi kebiasaan yang wajar, bahkan lumrah. Dari percakapan ringan hingga unggahan yang viral, lidah dan jari sering kali bergerak tanpa sadar, menyingkap aib orang lain dan menyebarkan dosa dalam bentuk yang tak kasat mata.
Fenomena ini menunjukkan lemahnya kontrol diri dalam menjaga lisan dan etika sosial. Padahal, perilaku seperti ini dikenal sebagai ghibah, yaitu menyebutkan sesuatu tentang orang lain yang, jika yang dibicarakan mendengarnya, akan merasa tersakiti, meskipun isi pembicaraannya merupakan fakta. Rasulullah SAW telah mengingatkan hal ini melalui hadits shahih riwayat Imam Muslim dari jalur Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى ٱللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: ٱللّٰهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Ada yang bertanya, “Bagaimana jika apa yang aku katakan benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Jika benar ada padanya, berarti engkau telah mengghibahinya. Namun jika tidak ada, maka engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)
Selain itu, ghibah juga bukan hanya sekadar kebiasaan buruk, tetapi termasuk perbuatan yang dilarang oleh Allah, dan tentu saja dapat mendatangkan dosa besar, yang setara dengan memakan daging saudara sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 12:
وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ
Artinya: “Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik.”
Dalam Islam, para ulama telah memberi perhatian besar terhadap bahaya ghibah dan cara menghindarinya. Salah satu tokoh yang membahasnya secara mendalam adalah Imam Ghazali.
Beliau tidak hanya menjelaskan akar dan bentuk-bentuk ghibah, tetapi juga menawarkan langkah-langkah penyembuhan bagi siapa pun yang ingin membersihkan perilaku dan lisannya. Lalu, bagaimana sebenarnya cara mengobati penyakit ghibah menurut Imam Ghazali? Berikut tiga metode ampuh yang beliau tawarkan.
Cara Ampuh Mengobati Penyakit Ghibah
Imam Ghazali menjelaskan tiga cara ampuh mengobati penyakit ghibah di dalam kitab Al-Arba’in fi Ushulid Din fil ‘Aqaid wa Asraril ‘Ibadat wal ‘Akhlaq (Damaskus: Darul Qalam, tt.) halaman 124:
1. Mengingat Dosa dan Ancaman
Imam Ghazali menyarankan langkah awal untuk menyembuhkan penyakit ghibah adalah membiasakan diri merenungi beratnya dosa dan ancaman yang menyertainya. Saat tergoda untuk membicarakan aib orang lain, seseorang harus segera menyadari bahwa perbuatan itu bukanlah perkara ringan di hadapan Allah.
Ghibah tidak hanya menyakiti hati sesama, tetapi juga menghancurkan amal kebaikan yang telah susah payah diraih. Dalam banyak riwayat, ghibah diibaratkan sebagai dosa yang melahap pahala, bagaikan api yang menghanguskan kayu kering. Imam Ghazali menegaskan, sebagaimana berikut:
علاج النفس في كفها عن الغيبة أن يتفكر في الوعيد الوارد فيها في قوله صلى الله عليه وسلم: (إِنَّ الغِيبَةَ أَسْرَعُ فِي حَسَنَاتِ العَبْدِ مِنَ النَّارِ فِي اليَبْسِ) وورد أن حسنات المغتاب تنقل إلى ديوان المظلوم بالغيبة، فينظر في قلّة حسناته وكثرة غيبته، و أنّه ينتهي إلى إفلاسه على القرب
Artinya: “Cara mengobati jiwa agar menahan diri dari ghibah adalah dengan merenungkan ancaman yang disebutkan mengenai hal itu dalam sabda Nabi SAW: ‘Sesungguhnya ghibah lebih cepat menghabiskan kebaikan seorang hamba daripada api yang membakar kayu kering.’ Disebutkan pula bahwa kebaikan orang yang mengghibah akan dipindahkan ke catatan amal orang yang dizalimi karena ghibah tersebut. Maka hendaknya seseorang memperhatikan sedikitnya amal kebaikannya dan banyaknya perbuatan ghibahnya, dan bahwa hal itu dapat berujung pada kebangkrutan (muflis) dalam waktu dekat.”
2. Mengoreksi Diri dan Sibuk dengan Aib Sendiri
Imam Ghazali mengajarkan langkah kedua untuk menyembuhkan penyakit kebiaaan ber-ghibah adalah mengalihkan perhatian pada diri sendiri. Alih-alih sibuk mencela orang lain, seseorang harus menengok ke dalam dirinya, mencari, mengenali, dan memperbaiki kekurangan pribadi.
Kesadaran akan aib sendiri membuat seseorang enggan mengumbar kelemahan orang lain. Bahkan, jika ia melakukan dosa kecil, ia harus menyadari bahwa dampak buruknya bisa jauh lebih besar daripada dosa orang lain yang dicelanya. Imam Ghazali menegaskan, sebagaimana berikut:
ثمّ يتفكّر في عيوب نفسه، فإن كان فيه عيب فيشتغل بنفسه عن غيره، وإن كان قد ارتكب صغيرة، فليعلم أنّ ضرره من صغيرة نفسه أكثر من ضرره من كبيرة غيره، وإن لم يكن فيه عيب، فليعلم أنّ جهله بعيوب نفسه أعظم عيب
Artinya: “Kemudian hendaknya seseorang merenungi aib dirinya sendiri. Jika ia memiliki aib, maka hendaknya ia menyibukkan diri dengannya daripada sibuk dengan aib orang lain. Jika ia pernah melakukan dosa kecil, maka hendaknya ia sadar bahwa mudarat dari dosa kecilnya sendiri lebih besar baginya daripada dosa besar orang lain. Dan jika ia tidak menemukan aib dalam dirinya, maka hendaknya ia menyadari bahwa ketidaktahuan terhadap aib diri sendiri merupakan aib yang paling besar.”
3. Istigfar dan Menebus Kesalahan
Imam Ghazali mengajarkan langkah ketiga untuk menyembuhkan penyakit ghibah adalah bertobat dengan memohon ampun kepada Allah. Jika memungkinkan, meminta maaf kepada orang yang menjadi bahan pembicaraaan. Permintaan maaf ini bukan sekadar formalitas, melainkan pengakuan tulus atas kezaliman yang harus ditebus dengan kerendahan hati.
Jika pelaku ghibah tidak dapat menemui orang yang dibicarakan, ia dianjurkan untuk menebus kesalahannya dengan memperbanyak pujian, doa, dan amal kebaikan atas nama orang tersebut. Imam Ghazali menegaskan, sebagaimana berikut:
ثم مهما سبق لسانه إلى الغيبة، فينبغي أن يستغفر الله تعالى، ويذهب إلى المغتاب ويقول: ظلمتك فاعفُ عني، فيستحله، فإن لم يصادفه فليكثر من الثناء عليه، ومن الدعاء له، ومن الحسنات، حتى إذا نقل بعضها إلى ديوان المظلوم يأتي له ما يكفيه، فهي كفارة الغيبة
Artinya: “Kemudian, apabila lisannya terlanjur melakukan ghibah, hendaknya ia segera memohon ampun kepada Allah Ta‘ala dan mendatangi orang yang dighibahi seraya berkata: “Aku telah menzalimimu, maka maafkanlah aku.” Lalu meminta keridhaannya. Jika tidak memungkinkan bertemu dengannya, maka hendaknya ia memperbanyak pujian kepadanya, mendoakannya, dan memperbanyak amal kebaikan. Hal ini dilakukan agar ketika sebagian amal kebaikannya dipindahkan ke catatan amal orang yang dizalimi, jumlahnya mencukupi. Inilah yang menjadi penebus (kafarat) atas perbuatan ghibah.”
Demikianlah. Di zaman ini, menghindari ghibah bukanlah perkara mudah, tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil jika kita benar-benar bertekad memperbaiki diri. Tiga langkah yang diajarkan Imam Ghazali, yaitu mengingat ancaman ghibah, sibuk dengan aib sendiri, dan menebus kesalahan dengan tobat serta amal kebaikan adalah cara ampuh untuk mengobati penyakit ghibah. Dengan kesadaran, kerendahan hati, dan keinginan untuk menjaga kebersihan jiwa, kita dapat terbebas dari kebiasaan buruk ini dan menjaga lisannya dari hal-hal yang merugikan, baik di dunia dan akhirat. Wallahua’lam.
Ustadz Muhaimin Yasin,Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar