Al-Khawarizmi dan Algoritma Digital, Jejak Islam di Silicon Valley | Tebuireng Online

Dunia Berita
By -
0

 

Al-Khawarizmi dan Algoritma Digital, Jejak Islam di Silicon Valley | Tebuireng Online

Pada abad ke-9, di tepi Sungai Tigris yang kala itu menjadi pusat peradaban, seorang ilmuwan Persia bernama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi menulis sebuah kitab yang kelak mengguncang dunia ilmu pengetahuan. Bukunya, Al-Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabala, bukan sekadar teks matematika; ia adalah tonggak lahirnya aljabar. Dari kata al-jabr inilah lahir istilah “algebra” dalam bahasa Inggris, dan dari namanya sendiri, “al-Khawarizmi”, lahir kata “algorithm”, algoritma, yang hari ini menjadi jantung dari semua teknologi digital.

Al-Khawarizmi hidup di masa keemasan Bait al-Hikmah, rumah kebijaksanaan yang didirikan Khalifah al-Ma’mun. Di sana, ia mempelajari dan menerjemahkan karya-karya Yunani, India, dan Babilonia, lalu menyintesisnya dengan gagasan orisinalnya sendiri. Salah satu kontribusinya yang paling revolusioner adalah metode sistematis untuk menyelesaikan persoalan aritmetika dan aljabar.

Baca Juga: Menghidupkan Kembali Golden Age Islam dalam Ilmu Pengetahuan

Bagi dunia modern, yang paling berkesan adalah konsep algoritma. Pada masanya, algoritma berarti seperangkat langkah yang jelas dan berurutan untuk menyelesaikan suatu masalah. Dalam buku aritmetikanya, Kitab al-Jam’ wa al-Tafriq bi Hisab al-Hind, ia menjelaskan sistem bilangan Hindu-Arab dan cara menghitung dengan metode posisi desimal. Karya ini memudahkan perhitungan jauh sebelum komputer ditemukan.

Hari ini, prinsip itu tetap sama. Perbedaan utamanya, algoritma kini dijalankan bukan oleh tangan manusia di atas kertas, melainkan oleh prosesor komputer yang mampu melakukan miliaran langkah per detik. Namun, inti idenya adalah langkah logis yang diulang secara sistematis untuk mencapai hasil, tetap setia pada warisan Al-Khawarizmi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Algoritma: Bahasa Rahasia Mesin Digital

Setiap kali kita mengetik di mesin pencari, menonton rekomendasi film, atau membayar belanja online, di balik layar ada algoritma yang bekerja. Ia memutuskan urutan hasil pencarian, memilih film yang mungkin kita sukai, dan memproses transaksi dengan aman. Algoritma juga mengatur lalu lintas data di jaringan, mengelola keamanan siber, hingga mengoptimalkan rute pengiriman barang.

Baca Juga: Mengenal Ilmuan Ibnu al-Haytham

Semua itu pada dasarnya adalah terjemahan modern dari prinsip Al-Khawarizmi untuk memecahkan masalah kompleks menjadi langkah-langkah kecil yang dapat dijalankan secara berurutan. Dalam pemrograman komputer, langkah-langkah ini ditulis dalam bahasa seperti Python, Java, atau C++, tetapi secara konseptual ia adalah keturunan langsung dari metode yang Al-Khawarizmi gunakan seribu tahun lalu.

Perjalanan ide Al-Khawarizmi dari Baghdad menuju pusat teknologi dunia tidak terjadi seketika. Karyanya diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard of Cremona dan Robert of Chester pada abad ke-12, lalu menyebar ke universitas-universitas di Eropa. Metode perhitungannya menjadi dasar pengajaran matematika di Barat selama berabad-abad.

Ketika revolusi industri mendorong kemajuan teknologi, prinsip algoritmik digunakan dalam mekanisme otomatisasi, seperti mesin tenun Jacquard yang memanfaatkan kartu berlubang untuk mengatur pola kain. Abad ke-20 membawa lompatan baru. Alan Turing dan John von Neumann mengembangkan kerangka komputasi yang berbasis algoritma, meletakkan fondasi bagi komputer modern. Dalam setiap lompatan ini, jejak pemikiran Al-Khawarizmi dapat ditemukan: dari bilangan desimal, metode aritmetika, hingga konsep algoritmik yang terstruktur.

Dampak Algoritma di Era Digital

Di era digital, algoritma tidak hanya menjadi alat pemrosesan data, tetapi juga pengendali interaksi sosial dan ekonomi. Media sosial menggunakan algoritma untuk menyaring konten, yang pada satu sisi memudahkan pengguna menemukan informasi relevan, namun di sisi lain dapat menciptakan “gelembung informasi”. Algoritma periklanan menargetkan konsumen dengan presisi, sementara algoritma kecerdasan buatan (AI) mengajarkan mesin untuk mengenali wajah, menerjemahkan bahasa, bahkan menulis teks dan membuat karya seni.

Di dunia keuangan, algoritma perdagangan berkecepatan tinggi dapat membeli dan menjual saham dalam milidetik. Di bidang kesehatan, algoritma analisis citra membantu dokter mendeteksi penyakit lebih cepat daripada pemeriksaan manual. Semua ini adalah contoh bagaimana prinsip lama Al-Khawarizmi kini menjadi tulang punggung dunia yang saling terhubung.

Baca Juga: Mewarisi Semangat Keilmuan Ibnu Rusyd

Namun, keberhasilan algoritma juga membawa tantangan. Algoritma bukan entitas netral; ia mencerminkan bias dan nilai dari pembuatnya. Jika data yang digunakan mengandung prasangka, hasilnya pun akan bias. Karena itu, perkembangan teknologi digital membutuhkan bukan hanya kecanggihan teknis, tetapi juga kebijaksanaan etis; sesuatu yang sesungguhnya tidak asing bagi tradisi ilmiah yang Al-Khawarizmi warisi, di mana sains dipandang selaras dengan nilai-nilai moral dan kemaslahatan umat.

Al-Khawarizmi mungkin tidak pernah membayangkan bahwa gagasan-gagasannya akan mengendalikan miliaran perangkat pintar, menghubungkan benua, atau bahkan mengatur kehidupan sehari-hari manusia modern. Namun, prinsip yang ia wariskan bahwa setiap masalah dapat dipecah menjadi langkah-langkah logis tetap menjadi fondasi dunia teknologi.

Dari meja kayu di Baghdad abad ke-9 hingga pusat data raksasa di Silicon Valley, perjalanan ide ini adalah bukti bahwa pengetahuan, sekali lahir, dapat melampaui ruang dan waktu. Dalam setiap baris kode, setiap pencarian internet, dan setiap transaksi digital, nama Al-Khawarizmi masih bergema, bukan hanya sebagai bapak aljabar, tetapi juga sebagai arsitek tak langsung dunia digital.P 

enulis: Muhammad Aswar

Editor: Rara Zarary

Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default