Dasar Larangan Merusak Makam dalam Islam
Sabtu, 4 Oktober 2025 | 07:00 WIB
Ilustrasi makam atau kuburan. (Foto: NOJ/ Ist)

Penulis
Akhir-akhir ini viral di media sosial, aksi perusakan makam yang dilakukan oleh sejumlah oknum. Entah apa tujuan dari aksi tersebut, yang terpenting apa yang mereka lakukan jelas melanggar aturan dan norma yang berlaku di masyarakat.
Lantas, bagaimana Islam memandang fenomena ini? Dan bagaimana pula hukum merusak atau membongkar makam, apakah diperbolehkan secara syariat? Mari kita bahas.
Sejatinya, Islam menempatkan manusia sebagai makhluk mulia yang dikaruniai kehormatan oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah berikut:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا
Baca Juga
Makam Vanessa Angel akan Dipindah, Bagaimana Hukumnya?
Artinya: "Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna". (QS. Al-Isra [17]: 36).

Di antara bentuk penghormatan itu ialah larangan menggali atau membongkar makam dan merusaknya, karena hal itu termasuk menodai kehormatan jenazah. Selain itu, Allah SWT telah memuliakan manusia, termasuk kesuciannya setelah kematian, sebagaimana penjelasan Syekh Wahbah Az-Zuhaili berikut ini:
كَرَّمْنَا فَضَّلْنَا. {بَنِي آدَمَ} بِحُسْنِ الصُّورَةِ وَالْمِزَاجِ الْأَعْدَلِ، وَاعْتِدَالِ الْقَامَةِ، وَالتَّمْيِيزِ بِالْعَقْلِ وَالْعِلْمِ، وَالإِفْهَامِ بِالنُّطْقِ وَالإِشَارَةِ، وَالِاهْتِدَاءِ إِلَى أَسْبَابِ الْمَعَاشِ وَالْمَعَادِ، وَالتَّسَلُّطِ عَلَى مَا فِي الْأَرْضِ، وَالتَّمَكُّنِ مِنَ الصِّنَاعَاتِ، وَالطَّهَارَةِ بَعْدَ الْمَوْتِ، أَيْ أَنَّ التَّكْرِيمَ بِالْخَلْقِ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ، وَبِالْعَقْلِ أَدَاةِ الْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ وَالتَّقَدُّمِ وَالتَّمَدُّنِ.
Artinya: "(Kami mengagungkan), artinya kami karuniakan. (Keturunan Adam), maksudnya manusia dengan keindahan bentuk, kepribadian yang adil, postur tubuh yang seimbang, dan pengetahuan dengan akal dan ilmu, serta kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi, serta mengetahui cara hidup dan tujuan hidup, serta menguasai apa yang ada di bumi, dan keahlian dalam industri, dan kesucian setelah kematian, artinya penghargaan atas penciptaan dalam bentuk yang terbaik, dan dengan akal sebagai alat untuk ilmu pengetahuan, kemajuan, dan peradaban." (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikri Al-Mu'ashir: 1991], jilid XV, halaman 121).
Baca Juga
Gus Dur Sang Arkeolog Kuburan
Dengan dasar itulah, banyak ulama menyatakan bahwa merusak, membongkar makam, atau memindahkan jenazah yang sudah dikuburkan adalah perbuatan haram, kecuali ada alasan syar’i yang membenarkannya.
Terkait hal ini, Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Naja menyebutkan 4 (empat) hal yang bisa menjadi alasan syar'i sebuah makam boleh dibongkar. Sebagaimana keterangan berikut:
يُنْبَشُ المَيِّتُ لِأَرْبَعِ خِصَالٍ: لِلغُسْلِ إِذَا لَمْ يَتَغَيَّرْ، وَلِتَوْجِيهِ إِلَى الْقِبْلَةِ، وَلِلْمَالِ إِذَا دُفِنَ مَعَهُ، وَلِلْمَرْأَةِ إِذَا دُفِنَ جَنِينُهَا مَعَهَا وَأُمِكَنَتْ حَيَاتُهُ.
Artinya: “Mayit (jenazah) yang telah dikubur boleh digali kembali dengan empat alasan: 1) untuk memandikannya bila kondisinya masih belum berubah dan berbau, 2) untuk menghadapkannya ke arah kiblat (ketika kondisinya masih belum berubah dan berbau), 3) karena adanya harta yang ikut terkubur bersamanya (meskipun kondisi si mayat telah berubah, baik pemilik harta tersebut memintanya ataupun tidak), 4) dan bila si mayat seorang perempuan yang di dalam perutnya terdapat janin yang dimungkinkan hidup.” (Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safinatun Naja, [Beirut: Darul Minhaj: 2009 M], halaman 53).
Lebih jauh, Imam Al-Mawardi juga menjelaskan bahwa sebidang tanah makam yang sudah ditempati merupakan hak jenazah yang mengisi di dalamnya. Oleh karena itu, meski pemilik tanah awalnya hanya meminjamkan sebidang tanah untuk pemakaman, hak penempatan atas tanah tersebut menjadi milik jenazah yang menempati sebidang tanah tersebut.
وَإِذَا أَعَارَ أَرْضًا لِدَفْنِ مَيِّتٍ فَلَيْسَ لَهُ بَعْدَ الدَّفْنِ الرُّجُوعُ فِيهَا؛ لِأَنَّ دَفْنَ الْمَوْتَى لِلِاسْتِدَامَةِ، وَالْبَقَاءِ شَرْعًا وَعُرْفًا وَلَوْ أَوْصَى أَوْلِيَاؤَهُ بِنَقْلِهِ مُنِعُوا مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ لِلْمَيِّتِ وَلِمَا فِيهِ مِنِ انْتِهَاكِ حُرْمَتِهِ بِالنَّقْلِ
Artinya: “Bila seseorang meminjamkan sebidang tanah untuk pemakamam jenazah, maka ia tidak berhak menarik kembali tanahnya karena pemakaman jenazah itu bersifat langgeng dan kekal menurut syariat dan adat. Kalau seseorang mewasiatkan para walinya untuk memindahkan makam tersebut, maka mereka harus dilarang karena tanah itu merupakan hak jenazah dan pemindahannya dapat mencederai kehormatannya,” (Lihat Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir lil Fiqhil Imamis Syafi‘i, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1994 M-1414 H], juz VII, halaman 130).
Perspektif Hukum Positif
Larangan merusak makam ini juga telah diatur dalam undang-undang hukum positif negara. Sebagaimana tertera pada pasal 179 KUHP mengenai pidana terhadap tindakan menodai dan/atau merusak kuburan:
Sedangkan isi pasal 179, berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja menodai kuburan atau dengan sengaja dan dengan melawan hukum menghancurkan atau merusak tanda peringatan yang didirikan di atas kuburan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa membongkar atau memindah makam hanya diperbolehkan (dapat dilakukan) dalam kondisi darurat dan sesuai aturan syariat yang mengharuskan pembongkaran. Apalagi jika hanya merusak makam tanpa adanya alasan syar'i yang membenarkan, jelas tindakan semacam ini tidak dapat dibenarkan.
Kita sebagai umat Islam harus memiliki kesadaran bahwa percaya kepada ajaran syariat dan menghormati nilai-nilai etika dalam menjaga makam dan kemuliaan jenazah itu jauh lebih penting daripada memaksakan kehendak duniawi. Wallahu a'lam.