Kisah Petualangan Kyai Zainal Abidin Tegalsari ke Selangor dan Perjuangan Kyai Muhammad bin Umar Banjarsari - Jaringan Santri

Dunia Berita
By -
0

 

Kisah Petualangan Kyai Zainal Abidin Tegalsari ke Selangor dan Perjuangan Kyai Muhammad bin Umar Banjarsari - Jaringan Santri


Kisah Bagus Harun dari Tegalsari menuju Sewulan, sebuah tanah perdikan bebas pajak pemberian Sinuwun Pakubuwana ll atas jasanya mengembalikan kembali tahta Kertasura menjadi buah bibir orang-orang di timur Gunung Lawu sampai ke Cangkring Pacitan. Tidak ketinggalan putri bungsu Tumenggung Cangkringan Pacitan turut membicarakan kehebatan putra-putra Tegalsari.

Pada waktu itu, Putri bungsu Tumenggung Cangkring Pacitan matur kepada ayahandanya bahwa ia ingin dijodohkan dengan putra Kyai Ageng Tegalsari. Mendengar permintaan putrinya tersebut Tumenggung Cangkringan Pacitan kemudian berangkat menuju Tegalsari untuk menemui Kyai Ageng Tegalsari dan menyampaikan maksud kedatangannya.

Kyai Ageng Tegalsari pun menyambut kedatangan Tumenggung Cangkring dan apa yang dikehendaki oleh putri Tumenggung Cangkring tersebut dengan penjelasan bahwa Kyai punya putra bungsu (putra ke-9) yang bernama Zainal Abidin tapi buruk rupa dan berperawakan cebol, apa sekiranya putri tumenggung mau dengan putra saya tersebut ?

Sebagaimana diketahui Kyai Ageng Muhammad Besari mempunyai 9 putra-putri yaitu:

    Tanpa pertimbangan apapun Tumenggung Cangkring menyetujui, kemudian pulang ke Pacitan sambil berpesan kepada Putra Kyai untuk datang melamar ke Cangkring Pacitan. Selang kemudian Kyai Ageng Tegalsari memanggil putra bungsunya yang bernama Zainal ‘Abidin dan memberitahukan tentang maksud pernikahannya dengan Putri Tumenggung Cangkring Pacitan. 

    Singkat kata Kyai Ageng Tegalsari mengutus kakak Zainal ‘Abidin yaitu Ilyas (putra ke-7) untuk mewakili Sang Ayah pergi ke Cangkring Pacitan disertai beberapa santri untuk keperluan meminang Putri Sang Tumenggung bagi adiknya Zainal ‘Abidin dan pinangan pun diterima dengan baik oleh Sanng Putri tanpa perlu melihat wajah calon suaminya. 

    Namum ketika rencana pernikahan diatur sedemikian rupa terjadi permasalahan antara kedua mempelai. Ketika acara pertemuan kedua calon pengantin dilangsungkan ternyata Sang Putri menolak setelah melihat calon syaminya buruk rupa dan cebol. Sang Putri nanya mau dinikahkan dengan Ilyas kakak Zainal ‘Abidin yang mewakili sang ayah pada waktu lamaran. 

    Singkat kata untuk menyelesaikan permasalahan pelik tersebut, maka akhrinya Iljas yang dikawinkan dengan putri Tumenggung Cangkring dari Pacitan, sedangkan Zainal ‘Abidin sangat malu atas nasib yang menimpa dirinya. Dan atas pertimbangan  tertentu, akhirnya kakak sulungnya Kyai Iskak Coper meminta izin kepada ayahnya untuk membawa serta adiknya Zainal ‘Abidin menunaikan ibadah haji ke Mekah. 

    Tetapi karena tidak ada biaya untuk memberangkatkan kedua putranya ke tanah suci, Kyai Ageng Tegalsari kemudian melakukan shalat dan bermunajat kepada Allah SWT. Setelah selesai bermunajat maka dipanggilah kedua putranya. “Nak, lihatlah dibawah pasujudan apabila ada emasnya ambillah untuk berangkat kalau tidak ada mungkin Allah SWT masih memberikan kita ujian untuk bersabar.”

    Maka kedua putra Kyai Ageng Tegalsari pergi menuju tempat pasujudan dan membuka tempat pasujudan. Ternyata di bawahnya ada banyak sekali emas dan mereka mengambil emas secukupnya untuk biaya menunaikan ibadah haji. Setelah memohon restu dan barokah pada kedua orang tuanya keduanya pun berangkat ke Baitullah guna menunaikan ibadah haji dengan menggunakan kapal laut. 

    Dikisahkan setelah menunaikan ibadah haji, dalam perjalanan pulang, kapal yang dinaiki keduanya berlabuh di Selangor selama 7 hari dan keduanya meluangkan waktu untuk berjalan-jalan melihat keadaan kota. Ketika kapal sudah mau berangkat Kyai Iskhak Coper memanggil adiknya Zainal ‘Abidin untuk segera naik ke kapal, akan tetapi Kyai Zainal ‘Abidin tidak mau pulang ke Tegalsari karena teringat masa lalunya yang gagal menikah dengan Putri Tumenggung Cangkring Pacitan dan akhirnya dinikahi oleh kakaknya Ilyas. 

    Zainal Abidin memilih tinggal di Selangor.daripada pulang ke Tegalsari dengan menanggung rasa malu. Selama tinggal di Selangor Zainal ‘Abidin mengisi hari-harinya dengan melakukan i’tikaf terus-menerus di dalam Masjid Jami’ kota Selangor dan menjalani kehidupan sebagai orang musafir.

    Pada suatu ketika Putri Paduka Sultan Selangor menderita suatu penyakit yang semakin lama semakin parah dan tidak ada seorangpun yang bisa menyembuhkan. Karena putus asa akhirnya Sang Sultan membuat sayembara : “Barang siapa yang bisa menyembuhkan Sang Putri, kalau laki-laki maka akan diambil sebagai menantu kalau wanita akan dijadikan anak putri  Paduka Sultan Selangor. Sayembara pun bergema sampai pelosok penjuru negeri namun tak satupun yang dapat menyembuhkan penyakit Sang Putri.

    Syahdan diceritakan, Zainal Abidin yang sudah dua bulan melakukan i’tikaf di masjid kota bermaksud keluar dari masjid untuk melihat lihat sejenak, dan sesampainya di luar gapura masjid mendengar berita tentang sayembara tersebut. Tergerak hatinya begitu mendengarkan penderitaan Sang Putri yang semakin lama semakin lemah badannya dan semakin menghawarirkan keadaanya. 

    Maka diputuskanlah untuk menghadap Sang Sultan disampaikan maksud kedatangannya untuk membantu menyembuhkan Sang Putri. Sang Sultan pun berkenan dan Zainal Abidin dibawa masuk ke ruang Sang Putri untuk mengusahakan penyembuhannya. Atas izin Allah SWT maka Zainal Abidin bisa menyembuhkan penyakit Sang Putri dan alangkah bahagianya sang Sultan melihat kejadian tersebut, maka sesuai dengan janji Sultan Kyai Zainal ‘Abidin diambil menantu dan dinikahkan dengan Putri Sultan Selangor. 

    Ayahanda Kyai Ageng Muhammad Besari yang berada di Tegalsari Ponorogo diundang dan disampaikan kepada beliau sebuah pesan bahagia yang di kirim oleh utusan Kesultanan Selangor, Kyai Muhammad Besari beserta keluarga pun turut berbahagia dengan menghadiri pernikahan putra bungsunya Zainal Abidin dengan putri Sultan Selangor. 

    Sultan Selangor pun terperanjat kaget, tidak disangka ternyata menantunya adalah seorang putera dari ulama yang termasyhur ke pelosok negeri. Pernikahan Zainal Abidin dengan Putri Sultan Selangor di meriahkan dengan persembahan Kompang dengan sangat meriah, yaitu sejenis musik rebana Islam dari Tegalsari Ponorogo.

    Di masa itu, Kompang masih populer di Selangor Malaysia, bahkan kerajaan rumpun melayu sangat menyukai musik ini. Penyebaran kompang pun sampai di Melayu Riau dan Melayu Sumatra. Adapun Kompang di tempat asalnya di Ponorogo, masih diwariskan turun-temurun khususnya ketika ada acara pada majlis pengajian, meskipun popularitas Kompang terkalahkan oleh kesenian Reyog Ponorogo. 

    Sekitar tahun 1980-1981-an keluarga Mbah Zainal Abidin Selangor Malaysia masih sempat berziarah ke makam Mbah Kyai Ishak Coper Jetis Ponorogo (kakak sulung Mbah Kyai Zainal Abidin Selagor) dan makam Mbah Kyai Ageng Muhammad Besari Tegalsari Jetis Ponorogo. (Diceritakan langsung oleh Pak Damanhuri, mantan kepala desa Coper Jetis Ponorogo, salah satu keturunan langsung dari Mbah Kyai Ishak Coper Jetis Ponorogo).

    ~~~~~~~~~~~~~~~~~

    Sesudah Kyai Ageng Tegalsari mengangkat semua putra-putrinya kejenjang rumah tangga, tinggal seorang putrinya yang terakhir (kakak Zainal Abidin) yang belum mendapatkan jodoh sehingga menjadi keprihatinan Kyai Ageng Tegalsari. Beliau memohon kehadirat Allah SWT agar putri bungsunya segera mendapatkan jodoh.

    Diceritakan bahwa Kyai Ageng Pugeru (Kyai Umar) mempunyai putra lelaki yang bernama Muhammad bin Umar dilamarkan ke Tegalsari oleh ayahnya. Setelah diterima oleh Kyai Ageng Tegalsari, Muhammad bun Umar kemudian dinikahkan dengan putrinya yang ke delapan. 

    Bersamaan dengan itu di Mataram, perang tahta Jawa ketiga berakhir dengan disepakatinya perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang membagi Mataram menjadi dua Kasunanan Surakarta untuk Pakubuwana lll dan Kasultanan Ngayogjakarta untuk Hamengku Buwana 1 serta perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 dimana Raden Mas Said mendapat bagiannya sendiri seluas 2800 hektar dengan 4.000 jiwa yakni Kadipaten Mangkunegaran.

    Pada saat trah Mataram masih sibuk berebut klaim atas tahta, RM Sunaka (Pangeran Singosari/Pangeran Arya Prabujaka) salah satu putra Amangkurat 1V (adik sepupu Pangeran Mangkubumi terus melanjutkan perlawanan terhadap VOC. Ia memutuskan pergi ke Malang bersama anak kandungnya yang bernama Raden Mas.

    Keberadaan sang pengeran di Malang sangat ditakuti oleh Pangeran Mangkubumi, Pakubuwana lll maupun Pangeran Arya Mangkunegara l. Pasalnya, Pangeran Singasari masih memiliki pengaruh yang sangat kuat di kalangan bangsawan maupun rakyat dengan statusnya sebagai keturunan Raja.

    Perlawanan Pangeran Singosari di Malang mendapat dukungan dari keturunan Untung Surapati yaitu Bupati Malang Malayakusuma dan adiknya Tirtanegara, Tumenggung Antang, Wangsanegara, Mas Penghulu dan Jayakysuma. Malayakasuma adalah kakak ipar Pangeran Singosari setelah menikahi salah satu adiknya. Melayakusuma sendiri adalah putra Kartanegara Bupati Lumajang, cucu dari Untung Surapati. 

    Pangeran Mangkubumi sempat mengundang Pangeran Singasari 1757-1762 untuk tunduk padanya. Namun ditolaknya. Pakubuwana III pun tak mampu membujuknya untuk tinggal di Surakarta. Dalam babad Mangkubumi disebutkan bahwa Pangeran Singasari menunjukkan gelagat ingin mendirikan kerajaan dengan gelar Pangeran Prabujaya Adi Senapati Ingalaga dan memberi putranya gelar Putra Mahkota Mataram, Kanjeng Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara. 

    Saat itu Pangeran Mangkubumi dengan orang kepercayaannya yaitu Tumenggung Ronggo Prawiro Sentiko dari Madiun yang bercerita bahwa Pengeran Singosari tidak mau kembali ke ke Mataram. Daripada perang saudara terus berkobar lebih baik dicarikan solusi damai yang tidak menelan lebih banyak korban nyawa. 

    Tumenggung Ronggo Prawiro Sentiko memberi saran kepada Pangeran Mangkubumi agar meminta nasehat dan bantuan kepada Kyai Ageng Muhammad Besari dari Tefalsari untuk mengakhiri konflik berkepanjangan dengan saydaranya Pangeran Singosari. Pangeran Mangkubumi pun menyetujuinya dan mengirim Tumenggung Ronggo Prawiro Sentiko untuk menghadap Kyai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari. 

    Sesampainya di Tegalsari dan mengatakan maksud dan tujuannya menghadap Kyai Ageng memohon bantuan untuk mengembalikan Pangeran Singosari ke Mataram dengan imbalan akan diberikan sebuah tanah perdikan yang bebas dari pajak selama-lamanya. 

    Kyai Ageng Tegalsari kemudian memanggil putra menantunya Kyai Muhammad bin Umar yang baru sebulan menikah dan memerintahkan dengan satu perinrmtah : “Hari ini engkau saya utus ke Malang untuk membujuk Pangeran Singosari yang sedang babad alas agar mau kembali ke pangkuan Mataram. 

    Kyai Muhammad bin Umar melakukan pendekatan dan strategi yang ganjil dalam melakukan peperangan. Ia memerintahkan pasukan berhenti di dekat sungai Brantas, dan mendirikan kemah di sana. Beberapa prajurit diperintahkan menanak nasi, sementara beliau sendiri memilih menunaikan shalat.

    Kyai Muhammad Bin Umar memerintahkan 40 orang prajurit dan santri untuk berangkat menuju Malang. Perang diselesaikan tanpa berdarah-darah. Kyai Muhammad bin Umar masuk ke istana Singosari dengan didampingi Tumenggung Ronggo Prawiro Sentiko. Mengetahui kedatangan Tumenggung Ronggo Prawiro Sentiko, Pangeran Singosari memerintah senopati untuk menangkap Tumenggung Ronggo Prawiro Sentiko. 

    Tetapi Kyai Muhammad bin Umar menerangkan segala maksud tujuannya menemui Pangeran Singosari dan Tumenggung hanyalah mengantarkan dirinya yang diutus oleh Kyai Ageng Muhammad Besari dari Tegalsari. 

    Setelah keduanya berbicara panjang lebar akhirnya ada kesepakatan bahwa Pangeran Singosari mau pulang ke Mataram dengan Kyai Muhammad bin Umar sebagai jaminanan atas keamanan Pangeran Singosari. Adapun Tumenggung Ronggo Prawiro Sentiko diutus berangkat dahulu guna memberitahu Pangeran Mangkubumi. 

    Pangeran Singosari sebenarnya heran bukan kepalang. Kemana pasukannya yang hebat dan pernah mengempaskan pasukan Mataram itu? Ia tak bisa menjawab. Tak ada yang bisa menjawab. Misteri baru terkuak, saat rombongan pergi meninggalkan Singosari. Prabu Joko melihat banyak anak kecil yang membawa galah bambu dan panah kecil. Mereka mirip betul dengan tentara Mataram.

    Rombongan berlalu melewati anak-anak kecil itu. Pangeran Prabujaka dengan masih menyisakan keheranan, menoleh ke belakang, dan alangkah kagetnya dia: anak-anak kecil itu hilang dan yang terlihat adalah para prajurit Singosari prajuritnya sendiri. Jelaslah semuanya: ia kalah wibawa di hadapan Kyai Muhammad Bin Umar.

    Keberhasilan Kyai Muhammad bin Umar membawa Pangeran Prabujaka ke Mataram tanpa pertumpahan darah membuat Pangeran Mangkubumi gembira dan terkesan. Sebagai hadiah, Kyai Muhammad Bin Umar dipersilakan memilih wilayah hutan di mana pun juga di bawah kekuasaan Mataram untuk dijadikan desa perdikan. 

    Kyai Muhammad bin Umar memilih sebuah tanah di dekat Desa Sewulan yang ditinggali Kyai Ageng Basyariyah, putra murid Kiai Muhammad Besari. Di utara sungai Catur, ia memberi nama desa itu Desa Banjarsari. Kyai Muhammad Bin Umar memimpin Perdikan Banjasari selama 44 tahun. Ia meninggal pada 1807 atau 1227 hijriah. Ia mewariskan sebuah masjid, Al-Muttaqin, yang didirikannya pada 29 September 1763.

    Dari sinilah beliau mulai meretas keberadaan desa perdikan Banjarsari yang kelak oleh anak keturunan Kyai Muhammad Bin Umar yakni Kiai Ali Imron memecah desa itu menjadi dua bagian Banjarsari Wetan seluas 500 hektare dan Banjasari Kulon 700 hektare

    Sumber:

    Bayt al Hikmah Institute Kiai Ageng Muhammad Besari Sosok Mahaguru Para Maharaja

    Sejarah Kyai Ageng Muhammad Bin Umar

    http://masjidbinumar.blogspot.com/2017/01/sejarah-kyai-ageng-muhammad-bin-umar.html?m=1

    Posting Komentar

    0 Komentar

    Posting Komentar (0)
    6/related/default