Adab dalam Menuntut Ilmu, Harmoni Tradisi Pesantren dan Neurosains Modern - Tebuireng
Adab dalam Menuntut Ilmu, Harmoni Tradisi Pesantren dan Neurosains Modern

Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara, telah menghasilkan ribuan ulama dan intelektual muslim selama berabad-abad. Keistimewaannya terletak pada penekanan kuat terhadap pembentukan akhlak dan karakter sebelum penyampaian materi keilmuan. Tradisi ini berakar pada pemahaman para ulama salaf tentang fitrah manusia dan hakikat ilmu yang benar-benar membawa manfaat. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng, menjadi salah satu figur penting yang merumuskan konsep tersebut secara sistematis melalui karyanya Adabul ‘Alim wal Muta’allim, yang hingga kini menjadi pedoman utama etika menuntut ilmu di berbagai pesantren.
Di tengah perkembangan teknologi dan arus informasi yang cepat, muncul pertanyaan penting mengenai relevansi pendekatan pesantren yang menekankan adab sebagai fondasi belajar. Namun, temuan baru dalam neurosains, psikologi pendidikan, dan ilmu pembelajaran justru menunjukkan bahwa faktor emosional, sosial, dan karakter memiliki peran besar dalam meningkatkan efektivitas belajar dan perkembangan kognitif. Hal ini membuka ruang diskusi baru tentang kesesuaian dan dasar ilmiah dari praktik pesantren yang selama ini dianggap sebatas tradisi keagamaan.
Artikel ini berupaya menelaah titik temu antara kearifan pendidikan pesantren khususnya konsep adab menuntut ilmu dan temuan ilmiah modern dalam neurosains serta psikologi kognitif. Melalui perbandingan antara ajaran Islam dalam Al-Quran, hadits, dan Adabul ‘Alim wal Muta’allim dengan hasil penelitian empiris dari berbagai lembaga akademik terkemuka, artikel ini menunjukkan bahwa orientasi pesantren pada adab merupakan pendekatan pembelajaran yang selaras dengan mekanisme kerja otak dan terbukti efektif secara ilmiah. Integrasi ini diharapkan dapat memperkuat posisi pesantren sebagai lembaga yang tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga tetap relevan dengan perkembangan sains kontemporer.
Adab Perspektif Al-Qur’an, Hadits, dan Tradisi Pesantren
Adab dapat dipahami sebagai tata cara berperilaku yang mencakup tutur kata, tindakan, dan sikap yang baik. Secara bahasa, adab bermakna kesopanan, kehalusan budi, atau etika pergaulan. Dalam khazanah bahasa Arab, kata adab berasal dari akar kata adaba–ya’dubu yang pada mulanya berarti mengundang atau mengajak.[1] Secara terminologis, adab merujuk pada seperangkat norma atau pedoman kesopanan yang berlandaskan ajaran agama, khususnya dalam tradisi Islam. Adab memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam proses menuntut ilmu. Menjaga adab saat belajar diyakini dapat membuat ilmu yang diperoleh menjadi lebih bermanfaat dan membawa keberkahan.
Dalam tradisi Islam, adab dalam mencari ilmu bahkan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dibanding sekadar penguasaan materi. Adab menjadi faktor yang sangat memengaruhi keberhasilan proses belajar itu sendiri. Dengan menerapkan adab yang baik, pemahaman dan penerapan ilmu akan menjadi lebih mudah dan efektif. Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan tata cara dan adab dalam belajar, karena kegiatan yang ia lakukan merupakan bagian dari ibadah.
Surah Al-Mujadalah ayat 11 menjadi salah satu ayat yang menegaskan keutamaan orang berilmu serta pentingnya bersikap rendah hati dan menjaga adab selama proses menuntut ilmu. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا ۚ يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah; niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini menekankan bahwa ilmu yang sesungguhnya bermanfaat adalah ilmu yang disertai iman dan diterapkan dengan adab. Selain itu, ayat tersebut menjadi landasan penting dalam mengaitkan etika atau adab dengan proses belajar, sekaligus menyoroti pentingnya sikap yang benar saat seseorang menuntut pengetahuan.[2]
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Al-Bukhari:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan menegaskan bahwa pembentukan akhlak yang baik merupakan tujuan utama dari misi kenabian serta pendidikan dalam Islam. Dalam tradisi pesantren, adab dalam menuntut ilmu mencakup beberapa hal penting. Pertama, niat yang tulus, yakni menuntut ilmu semata-mata karena Allah, bukan untuk kesombongan atau kepentingan duniawi. Kedua, ta’dhim atau penghormatan terhadap guru, di mana KH. Hasyim Asy’ari menekankan bahwa guru harus dimuliakan sebagaimana kita memuliakan ilmu itu sendiri. Ketiga, sabar dan konsistensi dalam belajar. Keempat, menjaga akhlak dalam pergaulan sehari-hari. Kelima, mengamalkan ilmu yang diperoleh agar bermanfaat. Imam Syafi’i dalam salah satu syairnya berkata:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ فَأَرْشَدَنِيْ إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِيْ
Artinya: “Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, maka ia menasihati agar aku meninggalkan maksiat.” Syair ini menekankan kaitan yang kuat antara adab, akhlak, dan mutu pembelajaran. Tingkat keberhasilan dalam menuntut ilmu sangat dipengaruhi oleh perilaku dan etika seseorang. Hambatan dalam belajar atau menghafal dapat diatasi dengan memperbaiki sikap dan menjauhi perbuatan dosa, karena ilmu yang bermanfaat hanya dapat diraih oleh mereka yang beradab dan berakhlak mulia.
Penemuan Neurosains dan Psikologi Kognitif
Penelitian neurosains modern menunjukkan bahwa karakter dan adab sangat memengaruhi kemampuan belajar. Dr. Mary Helen Immordino-Yang dari University of Southern California menemukan bahwa perkembangan emosional dan sosial, yang dalam Islam disebut adab, berkaitan erat dengan fungsi kognitif dan prestasi akademik. Otak tidak memisahkan aspek emosional-sosial dari aspek intelektual.[3] Penelitian tentang neuroplastisitas menunjukkan bahwa latihan mindfulness dan pengendalian diri yang dalam pesantren diwujudkan melalui disiplin, tawadhu, dan mujahadah dapat mengubah struktur otak. Studi Harvard Medical School menemukan bahwa meditasi dan refleksi rutin menebalkan korteks prefrontal, area otak yang mengatur fokus, pengambilan keputusan, dan kontrol diri.[4]
Konsep growth mindset dari Carol Dweck juga sejalan dengan nilai sabar dan istiqomah di pesantren. Penelitiannya membuktikan bahwa siswa yang percaya kemampuan, bisa berkembang melalui usaha konsisten cenderung meraih prestasi akademik lebih tinggi, dibanding mereka yang menganggap kemampuan bersifat tetap. Penelitian Robert Emmons menunjukkan bahwa rasa syukur dapat meningkatkan motivasi belajar dan kesejahteraan mental. Di pesantren, santri diajarkan bersyukur atas ilmu dan menghormati guru sebagai perantara ilmu dari Allah.
Sementara itu, Neuroscientist Antonio Damasio menekankan pentingnya emosi dalam belajar dan pengambilan keputusan. Belajar dalam kondisi emosional positif seperti rasa hormat, cinta ilmu, dan ketenangan hati membuat memori tersimpan lebih efektif, sehingga santri yang beradab dan dekat dengan guru lebih mudah menyerap pelajaran. Strategi pembelajaran yang efektif sangat dipengaruhi oleh prinsip psikologi pendidikan, yang membantu guru memahami cara siswa belajar dan berkembang. Dengan mempertimbangkan faktor psikologis seperti motivasi, emosi, dan kecerdasan sosial, guru dapat menciptakan suasana kelas yang mendukung pembelajaran aktif dan interaktif.[5]
Pendapat Penulis
Menggabungkan tradisi pesantren dengan temuan neurosains modern menunjukkan bahwa para ulama salaf memiliki pemahaman mendalam tentang fitrah manusia. Ajaran KH. Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim merupakan metode pembelajaran yang sesuai dengan cara kerja otak. Penghormatan kepada guru, latihan ikhlas, rendah hati, dan kebiasaan bangun pagi untuk shalat subuh dan belajar menciptakan kondisi emosional dan fisiologis yang optimal untuk belajar.
Pandangan saya sebagai santri, membuktikan efektivitas pendekatan ini. Belajar kitab dengan penuh adab datang tepat waktu, duduk sopan, mendengarkan khusyuk, mencatat teliti, dan bertanya hormat memberikan pemahaman yang lebih baik dibanding belajar dengan sikap acuh. Tradisi ngaji yang menuntut fokus, duduk bersila, dan menjauhi ponsel melatih mindfulness, sementara praktik istighfar dan muhasabah sebelum belajar menenangkan pikiran dan meningkatkan konsentrasi, atau yang dalam neurosains disebut self-regulation.
Meski begitu, pemahaman sains tidak menggantikan esensi spiritual. Sains menjelaskan bagaimana adab memengaruhi pembelajaran, sedangkan Al-Quran dan Sunnah menjelaskan mengapa kita harus beradab karena perintah Allah dan untuk meraih ridha-Nya. Kedua perspektif ini saling melengkapi, bukan bersaing, sehingga tradisi pesantren dan ilmu modern dapat berjalan seiring untuk mendukung perkembangan intelektual dan spiritual santri.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Yohana, Febrian Theresia Oley, Lembang Yana Situmeang, and Helena Turnip. “Strategi Pembelajaran Efektif Berdasarkan Psikologi Pendidikan.” Jurnal Pendidikan Sosial Dan Humaniora 4, no. 1 (2025): 779–90.
Karyanto, Umum B. “Makna Dasar Pendidikan Islam (Kajian Semantik).” Edukasia Islamika 9, no. 2 (2011): 70310.
NURAENI, DEWI, WASEHUDIN WASEHUDIN, HABUDIN HABUDIN, and FANDY ADPEN LAZZAVIETAMSI. “IMPLEMENTASI NEUROFISIOLOGIS DAN NEUROSAINS DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BAGI PESERTA DIDIK DI ASRAMA.” SCIENCE: Jurnal Inovasi Pendidikan Matematika Dan IPA 4, no. 2 (2024): 136–46.
Syafii, Hisyam, and Halim Purnomo. “Analisis Komparatif Pendekatan Behavioristik Dan Konstruktivisme Sosial Dalam Pembentukan Akhlak: Perspektif Neurosains Kognitif Islam: Comparative Analysis of Behavioristic Approaches and Social Constructivism in the Formation of Morals: Islamic Cognitive Neuroscience Perspective.” TARBIYAH: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran 1, no. 2 (2024): 155–67.
Triani, Ade Rahma, Najwa Hafizhah Nasution, Norahma Azahra, Jihan Khairina, and Mhd Rafi’i Ma’arif Tarigan. “Konsep Adab Dalam Menuntut Ilmu Pada Surah Al-Mujadalah Ayat 11 (Studi Komparatif Tafsir Ulama Nusantara).” Al-Anshor: Jurnal Pendidikan 1, no. 1 (2024).
[1] Umum B Karyanto, “Makna Dasar Pendidikan Islam (Kajian Semantik),” Edukasia Islamika 9, no. 2 (2011): 70310.
[2] Ade Rahma Triani et al., “Konsep Adab Dalam Menuntut Ilmu Pada Surah Al-Mujadalah Ayat 11 (Studi Komparatif Tafsir Ulama Nusantara),” Al-Anshor: Jurnal Pendidikan 1, no. 1 (2024).
[3] Hisyam Syafii and Halim Purnomo, “Analisis Komparatif Pendekatan Behavioristik Dan Konstruktivisme Sosial Dalam Pembentukan Akhlak: Perspektif Neurosains Kognitif Islam: Comparative Analysis of Behavioristic Approaches and Social Constructivism in the Formation of Morals: Islamic Cognitive Neuroscience Perspective,” TARBIYAH: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran 1, no. 2 (2024): 155–67.
[4] DEWI NURAENI et al., “IMPLEMENTASI NEUROFISIOLOGIS DAN NEUROSAINS DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BAGI PESERTA DIDIK DI ASRAMA,” SCIENCE: Jurnal Inovasi Pendidikan Matematika Dan IPA 4, no. 2 (2024): 136–46.
[5] Yohana Aritonang et al., “Strategi Pembelajaran Efektif Berdasarkan Psikologi Pendidikan,” Jurnal Pendidikan Sosial Dan Humaniora 4, no. 1 (2025): 779–90.
Penulis: Nadiyatun Najah
Editor: Muh. Sutan