Belajar Menjaga Diri di Bulan Rajab - Tebuireng
Belajar Menjaga Diri di Bulan Rajab

Pernahkah kita merasa bahwa hidup terasa begitu cepat, namun jiwa seolah tertinggal dalam tumpukan kekhilafan yang sama berulang? Saat kalender memasuki bulan Rajab, alam semesta seakan memberikan sinyal bagi kita untuk menekan tombol jeda. Rajab bukan sekadar bulan untuk menambah ritual, melainkan waktu yang disucikan untuk belajar menjaga diri. Menjaga diri dari apa? Dari segala bentuk kezaliman, baik terhadap orang lain maupun terhadap diri kita sendiri. Di bulan yang tenang ini, kita diundang untuk melakukan audit batin, sejauh mana kita telah membiarkan ego merusak kedamaian yang seharusnya kita miliki?
Menjaga diri di bulan Rajab bukan hanya soal menahan rasa lapar saat berpuasa, tetapi puasa dari segala hal yang tidak bermanfaat. Imam Al-Ghazali mengingatkan dalam Ihya’ Ulumiddin bahwa menjaga anggota tubuh seperti lisan, mata, dan telinga di bulan Rajab adalah bentuk penghormatan tertinggi kepada Sang Pencipta yang telah memuliakan waktu-waktu tersebut di atas waktu yang lain.
Dalam kitab Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjuluki Rajab sebagai bulan “Al-Ashabb” atau yang mengucur deras rahmat-Nya. Namun beliau mengingatkan bahwa rahmat itu hanya akan meresap ke dalam hati yang terjaga. Menjaga diri di bulan Rajab bagi beliau diibaratkan seperti gencatan senjata. Jika di masa lalu masyarakat Arab dilarang berperang secara fisik di bulan ini, maka bagi seorang pencari Tuhan, Rajab adalah waktu untuk melakukan gencatan senjata batin, yaitu berhenti bertengkar dengan takdir, berhenti membenci sesama, dan mulai menjaga hati agar tetap bersih dari kotoran dengki.
Ajaran untuk menjaga diri ini berakar kuat pada ketetapan Allah SWT dalam Al-Qur’an mengenai bulan-bulan haram:
فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ
“Maka janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu (termasuk Rajab).” (QS. At-Tawbah: 36).
Mengenai ayat tersebut, Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’anil ‘Adhim memberikan penjelasan yang sangat serius. Beliau mengutip pendapat Qatadah yang menyatakan bahwa meskipun kezaliman dilarang di setiap waktu, namun kezaliman di bulan-bulan haram (seperti Rajab) dosanya jauh lebih besar dan lebih berat konsekuensinya. Mengapa? Karena Allah telah memilih waktu tersebut sebagai waktu yang suci. Menjaga diri di bulan Rajab, menurut Ibnu Katsir, adalah bentuk kesadaran bahwa setiap tindakan kita di bulan ini memiliki “berat” yang berbeda dalam timbangan Ilahi.
Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an menekankan bahwa perintah “jangan menganiaya dirimu” mencakup segala bentuk kemaksiatan, baik kecil maupun besar. Beliau berpendapat bahwa bulan Rajab adalah momen di mana seorang hamba harus ekstra waspada terhadap godaan syahwat. Menjaga diri berarti menjaga kesucian amal agar tidak ternoda oleh riya atau kesombongan. Al-Qurthubi mengajak kita untuk melihat Rajab sebagai benteng pertahanan terakhir sebelum kita memasuki medan perjuangan yang lebih besar di bulan Sya’ban dan Ramadan.
Relevansi menjaga diri di bulan Rajab bagi kita saat ini sangat erat kaitannya dengan aktivitas di media sosial. Menjaga diri berarti menahan jempol dari mengetik komentar yang menyakitkan, menjauhkan hati dari rasa iri melihat kesuksesan orang lain, dan berhenti menyebarkan informasi yang belum tentu benar. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam beberapa risalahnya sering mengingatkan bahwa lisan (dan juga tulisan) adalah jendela hati. Jika kita gagal menjaga lisan di bulan Allah ini, maka keberkahan bulan ini akan menguap begitu saja tanpa bekas.
Seringkali cara terbaik untuk menjaga diri adalah dengan mempraktikkan seni ridha, yaitu dengan menerima apa yang Allah tetapkan tanpa mengeluh. Dalam Nashaihul Ibad diajarkan bahwa kegelisahan hati seringkali muncul karena kita terlalu keras memaksakan rencana kita sendiri. Menjaga diri di bulan Rajab berarti menjaga hati agar tetap tenang di tengah badai kehidupan, meyakini bahwa rencana Allah selalu lebih baik. Dengan bersikap ridha, kita sedang melindungi diri kita dari penyakit stres dan kekecewaan yang tidak perlu.
Bagaimana kita memulai belajar menjaga diri secara konkret? Kita bisa mulai dengan menetapkan larangan pribadi di bulan rajab ini. Misalnya, berkomitmen untuk tidak beradu argumen di dunia maya selama sebulan penuh, atau berhenti membandingkan hidup kita dengan orang lain. Jadikan setiap tarikan napas istighfar sebagai pengingat bahwa kita sedang berada di zona suci. Dengan menetapkan batasan-batasan ini, kita sedang melatih otot spiritual kita agar menjadi lebih kuat dan disiplin dalam menghadapi bulan-bulan suci berikutnya.
Alhasil, belajar menjaga diri di bulan Rajab adalah cara kita mencintai jiwa kita sendiri. Allah tidak butuh penjagaan kita, namun kitalah yang sangat butuh untuk dijaga dari dampak buruk perbuatan kita. Mari kita jadikan Rajab tahun ini sebagai ruang privat untuk berdialog dengan hati kecil kita. Tak perlu terburu-buru melakukan lompatan besar, cukup dengan satu langkah kecil menjaga lisan atau satu niat tulus menjaga hati, kita sudah mulai melangkah menuju cahaya.
Penulis: Silmi Adawiya, Mahasiswa S3 UIN Malang
- TAG