Hukum Menarik Kembali Bantuan untuk Masjid - NU Online
Hukum Menarik Kembali Bantuan untuk Masjid
NU Online · Sabtu, 27 Desember 2025 | 04:00 WIB
Hukum Menarik Kembali Bantuan untuk Masjid (freepik)
Kolomnis
Belakangan ini, publik dihebohkan oleh sebuah peristiwa di Kendari, Sulawesi Tenggara. Seorang warga diketahui mengambil kembali mimbar masjid yang sebelumnya ia hibahkan. Pengambilan itu dilakukan tanpa sepengetahuan pengurus masjid.
Tindakan tersebut diduga dipicu oleh kekecewaan karena yang bersangkutan tidak terpilih sebagai ketua RT di wilayah tersebut. Aksi pengambilan mimbar itu terekam kamera CCTV dan videonya pun viral di media sosial, sehingga menuai berbagai tanggapan dari masyarakat.
Peristiwa ini kemudian memunculkan pertanyaan penting: bagaimana pandangan fikih Islam terhadap tindakan mengambil kembali barang yang sudah dihibahkan kepada masjid?
Kedudukan Pemberian kepada Masjid dalam Fiqih
Merujuk penjelasan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, setiap harta yang dikumpulkan dan diberikan kepada masjid, baik melalui nazar, hibah, maupun sedekah, apabila sudah diterima oleh nazir atau wakilnya, maka harta tersebut sah menjadi milik masjid.
Setelah itu, harta tersebut tidak lagi menjadi milik pemberi. Nazir sebagai pengelola masjid memiliki kewenangan untuk mengatur dan memanfaatkannya demi kepentingan masjid, seperti pembangunan, perbaikan, serta penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Baca Juga
Hukum Mengganggu Orang Lain dengan Pengeras Suara Masjid (Polusi Suara)
Simak penjelasan berikut;
فَمَا يَجْمَعُهُ النَّاسُ وَيُبَذُلُوْنَهُ لِعِمَارَتِهَا بِنَحْوِ نَذْرٍ أَوْ هِبَةٍ وَصَدَقَةٍ مَقْبُوْضَيْنَ بِيَدِ النَّاظِرِ أَوْ وَكِيْلِهِ كَالسَّاعِيْ فيِ اْلعِمَارَةِ بِإِذْنِ الناَّظِرِ يَمْلِكُهُ اْلمَسْجِدُ وَيَتَوَلَّى الناَّظِرُ اْلعِمَارَةَ بِاْلهَدْمِ وَاْلبِنَاءِ وَشِرَاءِ اْلآلَةِ وَاْلاسْتِئْجَارِ
Artinya “Segala sesuatu yang dikumpulkan oleh manusia dan mereka serahkan untuk pembangunan masjid (seperti) melalui nazar, hibah, atau sedekah, yang telah diterima (dipegang) oleh nazir (pengurus/wali) atau wakilnya, seperti seorang pelaksana (pengurus) pembangunan atas izin nazir, maka masjid tersebut memilikinya (menjadi milik masjid). Dan nazir yang mengambil alih tugas pembangunan dengan cara pembongkaran, pembangunan, pembelian alat-alat, dan penyewaan.” (Sayyid Abdurrahman, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2016] halaman 84).
Penegasan yang sama juga disampaikan oleh Al-Bujairmi dengan mengutip pendapat Syekh Ibnu Qasim al-‘Abbadi. Ia menjelaskan bahwa masjid dapat memiliki harta secara hukum.
Artinya, setiap barang yang telah dihibahkan kepada masjid dengan cara yang sah, otomatis menjadi milik masjid. Sejak saat itu, barang tersebut tidak lagi berada dalam hak kepemilikan orang yang memberikannya, sehingga tidak boleh diambil kembali sesuka hati.
أَنَّ الْجَمَادَ قَدْ يَمْلِكُ كَالْمَسَاجِدِ فَإِنَّهَا تَمْلِكُ مَا إذَا وُهِبَ لَهَا عَقَارٌ أَوْ نَحْوُهُ سم
Baca Juga
Hukum Masuk Masjid Oleh Perempuan Haid dalam Pandangan Mazhab Syafi'i
Artinya, “Bahwa benda mati terkadang bisa memiliki kepemilikan, seperti masjid. Sesungguhnya masjid memiliki apa yang dihibahkan kepadanya, apabila dihibahkan kepadanya tanah atau semisalnya. Keterangan dari سم (ibnu Qasim al-‘Abbadi)” (Hasyiah al-Bujairim, [Beirut, Darul Fikr: 1995], jilid III, halaman 317)
Dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa mimbar yang dihibahkan kepada masjid sepenuhnya menjadi milik masjid. Oleh karena itu, penggunaannya wajib diarahkan untuk kemaslahatan masjid dan tidak lagi berada dalam kewenangan pihak yang menghibahkannya.
Lalu bagaimana hukum mengambilnya kembali?
Berdasarkan penjelasan para ulama tersebut, tindakan mengambil kembali mimbar yang sudah dihibahkan kepada masjid, seperti dalam kasus di atas, jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Hibah yang telah diberikan dan diterima secara sah tidak boleh ditarik kembali.
Larangan menarik kembali hibah ini memiliki dasar yang sangat kuat dalam hadis Nabi Muhammad. Rasulullah menegaskan bahwa tidak halal bagi seseorang memberikan hibah, lalu mengambilnya kembali. Satu-satunya pengecualian adalah pemberian seorang ayah kepada anaknya.
Bahkan, Nabi Muhammad memberikan perumpamaan yang sangat keras untuk perbuatan ini. Orang yang menarik kembali hibahnya diibaratkan seperti seekor anjing yang memakan kembali muntahnya sendiri. Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: لَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً، أَوْ يَهَبَ هِبَةً، فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلَّا الْوَالِدُ، فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ، وَمَثَلُ الَّذِي يُعْطِي الْعَطِيَّةَ، ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا، كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ، فَإِذَا شَبِعَ، قَاءَ، ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ
Artinya, "Sungguh Nabi saw bersabda: 'Tidak halal bagi seseorang memberikan hadiah atau hibah lalu menariknya kembali, kecuali seorang ayah terhadap apa yang ia berikan kepada anaknya. Perumpamaan orang yang menarik kembali hibahnya adalah seperti anjing yang muntah setelah kenyang, lalu ia kembali memakan muntahnya'”. (HR. Tirmidzi)
Merujuk penjelasan Dr Musthafa al-Khin dkk, Penyebutan anjing dalam hadits tersebut sebagai penegasan pencegahan dan larangan yang kuat. Ini menunjukkan adanya larangan keras untuk mengambil kembali barang yang sudah dihibahkan, termasuk kepada masjid.
وجه الاستدلال بالحديث: أن الرجوع في القيء حرام، فكذلك ما شبه به وهو الرجوع بالهبة. وذكر الكلب في الرواية الأخرى مبالغة في الزجر والمنع.
Artinya, “Sisi pengambilan dalil dari hadits ini adalah bahwa mengambil kembali muntahan itu haram. Maka demikian pula hal yang diserupakan dengannya, yaitu mengambil kembali hibah. Dan penyebutan anjing dalam riwayat yang lain adalah sebagai bentuk penegasan dalam pencegahan dan larangan.” (Dr. Musthafa al-Khin dkk, Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], jilid VI, halaman 129)
Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketentuan larangan penarikan hibah dijelaskan pada pasal Pasal 212, yang menyatakan bahwa Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya.
Dengan demikian, tindakan mengambil kembali mimbar masjid yang telah dihibahkan tanpa izin pengurus masjid merupakan perbuatan yang bertentangan dengan fiqih dan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Wallahu a’lam.
---------------
Bushiri, Pengajar di Zawiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan