Kisah Khaidar, Rumah Terdampak Banjir Aceh tapi Berhasil Jadi Juara Olimpiade

KOMPAS.com - Banjir di Aceh menerpa tempat tinggal ternyaman bagi Khaidar Munarzi.
Khaidar berasal di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.
Sebelum hujan lebat karena Siklon Senyar mengguyur Aceh, Khaidar pulang ke rumah, mempersiapkan diri untuk berangkat ke Jakarta.
Rumah kayu dua lantai tempat ia tinggal miring dihantam air. Saat banjir menerjang, ketinggian air bahkan mencapai lehernya.
Khaidar dan keluarganya terpaksa mengungsi ketika situasi sudah sunyi dan tak ada lagi tetangga yang bertahan di sekitar mereka.
“Biasanya kalau hujan sangat lebatpun hanya sedikit air tergenang di halaman rumah. Tapi kali ini berbeda. Air sudah sampai di lantai 2 rumah kami,” ujar Khaidar sedih, dilansir dari laman Kemenag pada Kamis (4/12/2025).
Semangatnya sempat patah kala air bah mematahkan jembatan Kuta Blang dan beberapa jembatan lain sepanjang aliran Krueng (sungai) Peusangan. Banyak jembatan ambruk yang menghambatnya. Jalan menuju Banda Aceh terputus.
Menyeberang sungai dengan aliran deras
Namun ia tidak menyerah. Demi mengharumkan nama Aceh di ajang nasional, Grand Final PAI Fair 2025, di Jakarta, Selasa (2/12/2025).
Minggu, 30 November, Khaidar dan ibunya menyeberangi Krueng Tingkeum menggunakan perahu yang disediakan masyarakat sekitar.
“Walau takut karena air sungai deras, saya dan ibu tetap menyeberang. Bayar 5 ribu per orang. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh,” cerita Khaidar.
Tiba di Banda Aceh saat pagi, Khaidar menuju Jakarta menggunakan maskapai Batik Air. Ini menjadi perjalanan pertamanya ke Jakarta.
Sesampainya di Hotel Mercure Ancol pada Senin sore, hanya dua jam setelah check-in, ia langsung tampil di panggung perlombaan. Tanpa keluhan, tanpa istirahat cukup.
“Saya senang ada di Jakarta, saya sangat bahagia akhirnya bisa mengikuti ajang nasional untuk mewakili Aceh,” ucapnya dengan mata berbinar.
Banyak peserta lain juga korban banjir, ikut raih medali
Penyintas banjir dari asal Krueng Mane, Aceh Utara, juara PAI Fair 2025. Banjir besar yang melanda Aceh beberapa hari terakhir bukan hanya menenggelamkan rumah dan memutus jalur transportasi.
Musibah ini hampir mengubur asa anak-anak berprestasi Aceh untuk tampil di ajang nasional Grand Final Olimpiade Pendidikan Agama Islam (PAI) 2025.
Namun di tengah nestapa, tekad mereka justru makin menguat bahkan menorehkan prestasi gemilang.
Sebutlah Khaidar Munarzi, siswa kelas 2 SMP IT Muhammadiyah Bireuen dan M Al-Walid dari SMAN 1 Kuta Makmur, Aceh Utara.
Keduanya meraih juara 1 Olimpiade PAI 2025. Khaidar merebut juara lomba pidato tingkat SMP, sementara Alwalid juara pidato jenjang SMA.
Kabar gembira itu diumumkan pada penutupan Grand Final PAI Fair 2025, di Jakarta, Selasa (2/12/2025). Acara ini ditutup oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Kamaruddin Amin.
Olimpiade PAI berlangsung sejak 30 November 2025 di Mercure Convention Center Ancol, Jakarta Utar. Ajang kompetisi ini dibuka Wakil Menteri Agama, Romo Muhammad Syafi’i.
Di ajang tersebut, kontingen Aceh berhasil meraih satu juara 2 dan juara 1 di empat kategori lomba, termasuk Khaidar dan Al-Walid.
Kisah serupa juga dialami Al-Walid. Seperti Khaidar, ia pun harus menyeberangi sungai dan menembus jalur darat yang terputus akibat banjir.
Tiket pesawat mereka pada 30 November hangus karena tak bisa keluar dari daerah terdampak. Namun keduanya tetap tiba di Jakarta dan bergabung dengan peserta lain dari Aceh.
Kabid PAI Kanwil Kemenag Aceh, Aida Rina, mengatakan, kondisi peserta sangat memprihatinkan akibat bencana yang meluas di berbagai daerah.
Dari 15 finalis Aceh, 11 peserta berhasil tiba di Jakarta, dua peserta mengikuti lomba secara daring, satu peserta tertahan di perjalanan menuju Medan dan satu peserta masih hilang kontak akibat bencana.
Di antara peserta daring itu, ada Ayrakanz, finalis cover lagu asal Langsa. Rumahnya terendam, akses ke Banda Aceh maupun ke Medan putus. Ia mengikuti lomba melalui Zoom sambil menangis, namun panitia dengan penuh empati terus membantunya.
Berbagai cerita peserta lomba asal Aceh
Begitu pula Safwina Tinambunan dari Aceh Singkil. Ia telah melakukan perjalanan sejauh lima jam menuju Banda Aceh, tetapi terpaksa kembali karena banjir di Aceh Selatan.
Ia tetap ikut lomba secara online meskipun tiket keberangkatan dan kepulangannya hangus.
Sementara Niswatul Husna, finalis MTQ asal Aceh Timur, sempat hilang kontak selama dua hari. Ia akhirnya mengabarkan telah tiba di Medan, namun sudah tidak memungkinkan lagi melanjutkan perjalanan ke Jakarta.
Kata Aida Rina, yang paling mengkhawatirkan adalah Baihaqi, finalis Olimpiade PAI asal Bireuen, hingga kini belum dapat dihubungi karena rumahnya terdampak parah.
“Ada satu peserta lagi bernama Intan Mataul Hayati, meski keluarganya tak dapat dihubungi akibat jaringan terputus, dia tetap berangkat ke Jakarta, karena kebetulan ia tengah menjalani kuliah UT di Banda Aceh,” terang Aida.
Menurut Aida Rina, ajang PAI Fair tahun ini menghadirkan cerita tentang keberanian, ketabahan, dan kecintaan pada pendidikan. Anak-anak Aceh hadir bukan hanya untuk membawa prestasi, tetapi juga membawa harapan.
“Ketika kampung halaman mereka masih bergumul dengan air bah, Khaidar dan kawan-kawan berdiri gagah di panggung nasional. Mereka ingin menunjukkan bahwa Aceh kuat, Aceh mampu dan Aceh tak pernah menyerah,” kata Aida.