0
News
    Home Featured Rojan Spesial

    Mengapa Rajab Disebut Bulan Allah? - Tebuireng

    4 min read

     

    Mengapa Rajab Disebut Bulan Allah? 

    22 Desember 2025
    316
    Ilustrasi rajab (sumber: istimewa)

    Pernahkah kita merasakan suasana batin yang tiba-tiba melunak dan merasa butuh “pulang” kepada Sang Pencipta saat kalender memasuki bulan Rajab? Fenomena spiritual ini bukanlah kebetulan. Rajab hadir seperti embun pagi yang menyejukkan hati sebelum kita diterjang teriknya perjuangan di bulan Sya’ban dan puncaknya di bulan Ramadan. Sebagai salah satu dari empat bulan haram, Rajab bukan sekadar penanda waktu, melainkan momentum transisi di mana langit seolah membukakan pintu ampunan seluas-luasnya bagi kita yang ingin membersihkan diri dari debu-debu dosa.

    Istilah bulan Allah (Syahrullah) yang disematkan pada bulan Rajab memiliki akar filosofis yang sangat dalam. Secara bahasa, Rajab berasal dari kata Tarjib yang berarti mengagungkan atau memuliakan. Para ulama menyebutnya sebagai bulan Allah karena pada bulan ini, kemurahan Allah dalam mengampuni hamba-Nya sangat dominan. Sebagaimana disebutkan dalam tradisi lisan para salaf, jika Ramadan adalah bulan umat Muhammad dan Sya’ban adalah bulan Nabi, maka Rajab adalah milik Allah seutuhnya.

    Ulama besar Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menjelaskan bahwa Rajab disebut sebagai bulan Allah karena keistimewaan ibadah di dalamnya yang bersifat rahasia dan murni antara hamba dengan Tuhannya. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa pada bulan Rajab, Allah melipatgandakan pahala bagi mereka yang berpuasa dan beristighfar. Beliau mengutip bahwa kesucian Rajab berasal dari ketetapan azali yang tidak bisa diubah, menjadikannya waktu yang paling tepat untuk menanam benih ketaatan sebelum disirami di bulan Sya’ban.

    Dalam kitab Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memberikan penjelasan menarik bahwa salah satu alasan Rajab disebut bulan Allah adalah karena ia dijuluki Al-Ashabb (yang mengucur). Artinya rahmat Allah mengucur deras kepada hamba-hamba-Nya yang bertaubat di bulan Rajab. Beliau menekankan bahwa julukan “Bulan Allah” mengisyaratkan bahwa tidak ada campur tangan makhluk dalam menentukan kemuliaannya; Allah sendiri yang memilih Rajab sebagai waktu di mana peperangan dilarang dan kedamaian harus ditegakkan.

    Landasan utama kemuliaan Rajab berakar langsung pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

    إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

     “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi; di antaranya empat bulan haram.” (QS. At-Taubah: 36).

    Mengenai ayat di atas, Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’anil ‘Adhim menjelaskan bahwa dari empat bulan haram tersebut, Rajab adalah salah satunya yang berdiri sendiri (tidak berurutan dengan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram). Ibnu Katsir menekankan perintah Allah: “Janganlah kamu menganiaya dirimu dalam bulan yang empat itu.” Menurut beliau, meski maksiat dilarang di setiap waktu, namun melakukannya di bulan Allah seperti Rajab dosanya akan jauh lebih berat, sebagaimana ketaatan di dalamnya pahalanya jauh lebih besar.

    Senada dengan Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an menyebutkan bahwa penyebutan Rajab sebagai bulan Allah juga berkaitan dengan sebutan Rajab Al-Fard (Rajab yang menyendiri). Imam Al-Qurthubi berpendapat bahwa kesendirian Rajab dari bulan haram lainnya menunjukkan keagungan khusus di mana Allah ingin hamba-Nya fokus pada penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) di tengah hiruk pikuk tahun berjalan. Ini adalah saat di mana “gencatan senjata” batin harus dilakukan terhadap hawa nafsu.

    Salah satu petuah klasik yang paling populer mengenai Rajab adalah perumpamaan dari Syekh Abu Bakr Al-Balkhi yang sering dikutip dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif karya Ibnu Rajab Al-Hanbali. Beliau mengatakan: “Bulan Rajab adalah bulan menanam benih, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman, dan bulan Ramadan adalah bulan memanen hasilnya.” Penyebutan bulan Allah mengisyaratkan bahwa benih yang ditanam haruslah murni karena Allah, tanpa ada campuran riya atau kepentingan duniawi.

    Setelah memahami mengapa Rajab disebut bulan Allah, kita  mengajak untuk sedikit melambat dari hiruk pikuk dunia. Ini bukan tentang seberapa banyak ritual yang mampu kita borong, melainkan tentang seberapa tulus hati kita mencoba mengetuk pintu ampunan-Nya. Mungkin selama ini kita terlalu sibuk merencanakan hidup hingga lupa pada Sang Pemilik Hidup. Rajab adalah undangan lembut bagi kita untuk berhenti sejenak, menanam benih kebaikan sekecil apa pun, dan meyakini bahwa di bulan Rajab ini tidak ada usaha kembali yang akan disia-siakan. Mari kita jadikan Rajab sebagai awal perjalanan pulang menuju pelukan rahmat-Nya yang tak bertepi.

    Penulis: Silmi Adawiya, Mahasiswa S3 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    • TAG
    Komentar
    Additional JS