Menutup Mata agar Lebih Khusyuk Saat Salat, Bolehkah? - NU Online

Berbagi Informasi
By -
0

 

Menutup Mata agar Lebih Khusyuk Saat Salat, Bolehkah?



Salat bukan sekadar rangkaian gerak yang sah secara fikih, tetapi juga ruang perjumpaan batin antara hamba dan Tuhannya. Di ruang inilah kualitas salat kita patut kita pertanyakan: apakah kita menjalankan salat hanya sekadar menggugurkan kewajiban, atau benar-benar menghadirkan kesadaran spiritual secara totalitas. Karena itu, pembahasan tentang khusyuk selalu menjadi topik menarik—sekaligus sensitif—dalam masalah fikih dan tasawuf.

Termasuk kesunahan salat

Khusyuk dalam salat sejatinya termasuk perkara sunah, tidak sampai pada derajat wajib. Khusyuk mempunya arti sebagai keadaan ketika seseorang menampilkan ketenangan lahir dan batin. Dengan khusuk, kita menghadirkan kesadaran penuh bahwa kita sedang berdiri di hadapan Raja segala raja, bermunajat kepada-Nya, serta menyadari bahwa salat yang kita kerjakan sedang diperlihatkan kepada Allah. Bahkan, khusyuk menyadarkan kita akan adanya kemungkinan bahwa salat tersebut dikembalikan kepada kita dan tidak diterima.

Dalil-dalil yang menunjukkan khusuk

Dasar anjuran untuk menghadirkan khusyuk dalam salat adalah firman Allah Swt.:

{قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ۝ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ}

Artinya: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya.” (QS. al-Mu’minūn: 1–2)

Sayyidina ‘Alī ra. menafsirkan ayat ini bahwa khusyuk adalah lembutnya hati dan tenangnya anggota badan.

Hadits Nabi terkait khusuk

Anjuran tersebut juga semakin tegas dengan adanya sebuah hadis dalam riwayat Imam Muslim:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ، فَيُحْسِنُ وُضُوءَهُ، ثُمَّ يَقُومُ، فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يُقْبِلُ عَلَيْهِمَا بِوَجْهِهِ وَقَلْبِهِ، إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ.

Artinya: “Tidaklah seorang hamba Muslim berwudu lalu memperbagus wudunya, kemudian berdiri menunaikan dua rakaat salat dengan menghadapkan wajah dan hatinya (kepada Allah), melainkan surga wajib baginya.”

Selain itu, at-Tirmiżī meriwayatkan dari Abū Hurairah ra. bahwa:

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى رَجُلًا يَعْبَثُ بِلِحْيَتِهِ فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ: لَوْ خَشَعَ قَلْبُ هَذَا لَخَشَعَتْ جَوَارِحُهُ.

Artinya: “Sesungguhnya Nabi ﷺ melihat seorang laki-laki memainkan janggutnya dalam salat, lalu beliau bersabda: ‘Seandainya hati orang ini khusyuk, niscaya anggota tubuhnya pun ikut khusyuk.’”

Penjelasan menurut Imam al-Ghazali

Hadis dan atsar tentang khusyuk dalam salat sangat banyak. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa khusyuk merupakan syarat sahnya salat. Konsekuensinya, apabila selendang seseorang jatuh atau ujung sorbannya terlepas saat salat, maka makruh baginya untuk membenarkannya, kecuali dalam kondisi darurat, sebagaimana Imam as-Ghazali sebutkan dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn.

Hukum memejamkan mata saat salat

Namun dalam praktiknya, sebagian orang merasa lebih mudah menghadirkan khusyuk dengan cara memejamkan mata ketika salat. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan: bagaimana hukum menutup mata saat salat jika hal itu justru membantu seseorang lebih khusyuk?

Hukum awal makruh, namun…

Pada dasarnya, menutup mata saat salat menuai hukum makruh, karena ibadah dengan mata terpejam dianggap menyerupai praktik ibadah kaum Yahudi. Akan tetapi, pandangan ini tidak bersifat mutlak.

Dalam kitab Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma‘rifat Ma‘ānī Alfāẓ al-Minhāj, Syaikh al-Khaṭīb al-Sharbīnī menjelaskan bahwa:

وَقِيلَ: يُكْرَهُ تَغْمِيضُ عَيْنَيْهِ قَالَهُ الْعَبْدَرِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا تَبَعًا لِبَعْضِ التَّابِعِينَ؛ لِأَنَّ الْيَهُودَ تَفْعَلُهُ…
وَعِنْدِي لَا يُكْرَهُ عَبَّرَ فِي الرَّوْضَةِ بِالْمُخْتَارِ إِنْ لَمْ يَخَفْ (مِنْهُ )ضَرَرًا عَلَى نَفْسِهِ أَوْ غَيْرِهِ لِعَدَمِ وُرُودِ نَهْيٍ فِيهِ كَمَا مَرَّ، فَإِنْ خَافَ مِنْهُ ضَرَرًا كُرِهَ. قَالَ ابْنُ النَّقِيبِ: وَيَنْبَغِي أَنْ يَحْرُمَ فِي بَعْضِ صُوَرِهِ، وَأَفْتَى ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ بِأَنَّهُ إِذَا كَانَ عَدَمُ ذَلِكَ يُشَوِّشُ عَلَيْهِ خُشُوعَهُ أَوْ حُضُورَ قَلْبِهِ مَعَ رَبِّهِ، فَالتَّغْمِيضُ أَوْلَى مِنَ الْفَتْحِ

(Dimakruhkan memejamkan kedua mata dalam salat). Pendapat ini oleh al-‘Abdarī kemukakan dari kalangan ulama mazhab kami, mengikuti sebagian tabi‘in, karena orang-orang Yahudi melakukan perbuatan tersebut.

(Namun menurutku, tidak makruh). Dalam kitab ar-Raudhah terdapat sebuah redaksi al-mukhtār (pendapat yang dipilih): apabila tidak dikhawatirkan dari memejamkan mata itu menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, maka tidak dimakruhkan, karena tidak terdapat larangan tentang hal tersebut, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, jika dikhawatirkan menimbulkan bahaya, maka hukumnya menjadi makruh.

Ibnu an-Naqīb berkata: bahkan seharusnya bisa sampai pada hukum haram dalam sebagian bentuknya.
Dan Ibnu ‘Abd as-Salām berfatwa bahwa apabila membuka mata justru mengganggu kekhusyukan atau kehadiran hati seseorang bersama Rabb-nya, maka memejamkan mata lebih utama daripada membukanya.

Dengan demikian, hukum menutup mata saat salat sangat bergantung pada dampaknya terhadap kekhusyukan dan keselamatan pelakunya, bukan semata-mata pada bentuk lahiriahnya.

Referensi

Shams al-Dīn Muḥammad ibn Aḥmad al-Khaṭīb al-Sharbīnī al-Shāfi‘ī, Mughnī al-Muḥtāj ilā Ma‘rifat Ma‘ānī Alfāẓ al-Minhāj, Jilid 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1415 H/1994 M).

Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default