Bukan Klenik, Ini Asal Muasal Bubur Asyura yang Jadi Tradisi Peringatan 10 Muharam
HARI Asyura diperingati setiap tanggal 10 Muharam dalam kalender Hijriah (H) yang jatuh pada hari ini, Selasa, (16/7).
Beberapa tradisi di daerah dalam peringatan 10 Muharam ialah melaksanakan ibadah sunah seperti puasa, sedekah, menyantuni anak yatim, memakai celak, bahkan ada yang tradisi sedekah dengan bubur Asyura atau bubur Suro.
Dikutip dari NU Online, bubur Suro diambil dari kata Asyuro, yaitu bubur yang komposisinya dari berbagai macam biji-bijian, mulai dari beras putih, beras merah, kacang hijau dan beberapa lagi jenis biji-bijian yang kemudian semuanya dimasak menjadi bubur.
Bubur itu kemudian dimakan bersama keluarga, juga dibagikan kepada anak-anak yatim dan orang tak mampu, serta mereka yang sedang tidak melaksanakan puasa, atau dimakan saat berbuka puasa.
Tradisi membuat bubur Asyura ini bila ditelusuri dalam sejumlah kitab klasik memiliki kemiripan dengan yang pernah dilakukan Nabi Nuh dan kaumnya. Keterangan ini bisa dilihat dalam kitab I’anah Thalibin karya Abu Bakr Syata al-Dimyati juz 2/267 disebutkan:
Allah mengeluarkan Nabi Nuh dari perahu. Kisahnya sebagai berikut: sesungguhnya Nabi Nuh ketika berlabuh dan turun dari kapal, beliau bersama orang-orang yang menyertainya, mereka merasa lapar sedangkan perbekalan mereka sudah habis. Lalu Nabi Nuh memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan mereka. Maka, secara serentak mereka mengumpulkan sisa-sisa perbekalannya; ada yang membawa dua genggam biji gandum, ada yang membawa biji adas, ada yang membawa biji kacang ful,ada yang membawa biji himmash (kacang putih), sehingga terkumpul 7 (tujuh) macam biji-bijian. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Asyura. Selanjutnya Nabi Nuh membaca basmalah pada biji-bijian yang sudah terkumpul itu, lalu beliau memasaknya, setelah matang mereka menyantapnya bersama-sama sehingga semuanya kenyang dengan lantaran berkah Nabi Nuh.
Baca juga : Mengintip Tradisi Sesaji Kepala Kerbau Malam Satu Suro di Gunung Merapi
Sedangkan keterangan dalam kitab Badai’ al-Zuhur karya Shaikh Muhammad bin Ahmad bin Iyas al-Hanafy , halaman 64 disebutkan
Imam Tsa'laby berkata, perahu Nabi Nuh mendarat sempurna di sebuah gunung tepat pada tanggal 10 muharam atau hari Asyuro, maka Nabi Nuh melakukan puasa pada hari itu dan memerintahkan kepada kaumnya yang ikut dalam perahunya untuk melakukan puasa pada hari asyuro sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Dan dikisahkan bahwa seluruh binatang dan hewan yang ikut dalam perahu Nabi Nuh juga melaksanakan puasa. Kemudian Nabi Nuh mengeluarkan sisa perbekalan selama terapung dalam kapal, memang tidak banyak sisa yang didapat, kemudian Nabi Nuh mengumpulkan sisa biji-bijian itu, ada tujuh macam jenis biji-bijian dan jumlahnya tidak banyak, kemudian disatukan dan dijadikan makanan. Selanjutnya biji-bijian yang dimakan pada hari itu, yakni 10 Muharam, menjadi kebiasaan Nabi Nuh dan disukai.
Pembahasan soal bubur Asyura juga dijelaskan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Damai Al-Muhibbin Tambakberas Jombang, KH Idris Jamaluddin Ahmad. Gus Idris, sapaan akrabnya menjelaskan tradisi membuat bubur Asyura adalah untuk memperingati mendaratnya kapal Nabi Nuh.
Baca juga : 6 Juli Hari Apa Sih? Simak Penjelasannya
Nabi Nuh dan umatnya diberi bencana oleh Allah berupa banjir bandang. Kapal Nabi Nuh terapung di atas air selama 150 hari. Kemudian mendarat di Bukit Judi tepat pada tanggal 10 Muharam atau hari Asyuro.
"Begitu mendarat, Nabi Nuh berkata kepada umatnya yang ada di kapal. Disampaikan untuk mengumpulkan sisa-sisa makanan," kata Gus Idris dikutip NU Online
Sisa-sisa makanan itu tadi kemudian dikumpulkan dan dimasak menjadi satu menjadi bubur. Sebab itulah kemudian saat ini dikenal yang namanya bubur suro atau bubur Asyura.
Baca juga : Tradisi Ruwat Agung Samin Klopoduwur Blora Resmi Diakui Negara
"Inilah ceritanya, bukan klenik. Jadi begitu mendarat, supaya cukup, sisa makanan dijadikan satu diaduk, dicampur terus dibagikan kepada orang yang tersisa di dunia saat itu. Lalu akhirnya untuk mengenangnya, diadakanlah tradisi bubur Asyura itu dari Nabi Nuh as," pungkasnya.
Berdasarkan keterangan itu, maka tradisi yang berkembang di tengah masyarakat berkaitan dengan membuat bubur Asyura atau bubur Suro itu ada landasannya. Tidak sembarangan melakukan. Sebab kisah yang berkaitan dengan Nabi Nuh ini juga disebutkan dalam kitab Nihayatuz Zain 196.
Dalam membuatnya, ada perbedaan di beberapa daerah. Di Cirebon, Jawa Barat, misalnya, KH Mukti Ali Qusyairi menceritakan, bubur Asyura menggunakan bahan beras, santan kelapa, dan gula aren sebagai pewarna alami. Ini membuatnya identik dengan warna merah dan putih, yang sarat akan nilai keagamaan dan kebangsaan. Melambangkan ketekadan dan budi luhur umat Islam sejak dulu.
Menurutnya, bubur Asyura juga menjadi simbol dari persatuan yang terkandung dalam Pancasila. Bahan yang digunakan di tiap daerah boleh saja berbeda, namun sikap gotong royong saat prosesi pembuatannya menjadikan semua itu sama, yaitu sebagai sarana mempererat silaturrahim antar-warga. Tak heran jika tradisi itu hingga kini tetap lestari. (Nu Online/P-5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar