Lezatnya Leumang Hafsah Aceh, Perjuangan dan Kehangatan Keluarga di Balik Usaha Tradisional - NU Online - Opsiinfo9

Post Top Ad

demo-image

Lezatnya Leumang Hafsah Aceh, Perjuangan dan Kehangatan Keluarga di Balik Usaha Tradisional - NU Online

Share This
Responsive Ads Here

 Romadhon 

Lezatnya Leumang Hafsah Aceh, Perjuangan dan Kehangatan Keluarga di Balik Usaha Tradisional

Banda Aceh, NU Online

Di tengah hiruk-pikuk kota, ada sebuah usaha tradisional yang telah bertahan hampir 30 tahun. Usaha leumang milik Hafsah, seorang perempuan tangguh yang telah mengabdikan hidupnya untuk menjaga warisan kuliner Aceh. Di balik setiap batang leumang yang dijual, tersimpan cerita perjuangan, kehangatan keluarga, dan harapan untuk terus bertahan di tengah tantangan yang semakin berat.


Jauh sebelum Tsunami melanda Aceh, Hafsah telah menggeluti usaha ini. Usaha Leumang milik Hafsah diberi nama "Mak Leumang" di Gampong Lamdingin, Jalan Lambaro Skep Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.  Leumang bambu milik Hafsah ini selalu menjadi primadona masyarakat Banda Aceh.


Setiap pagi, Hafsah dan keluarganya sudah sibuk mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat leumang. Hafsah bertugas mengaduk beras ketan dengan santan dan bahan lainnya.


Tangan Hafsah yang mulai rentan itu tampak dengan lihai mengolah Leumang, satu persatu bambu dibersihkan kemudian di beri lapisan daun pisang agar tak lengket dengan bambu. Kemudian diisi beras ketan yang sudah di beri santan dan gula.


Kemudian, tugas berpindah kepada Yakob, sang anak yang telah lama ikut membantu Hafsah mengelola usaha Leumang. Dengan telaten memanggang leumang di atas api besar. Tak ketinggalan, menantunya sibuk memasak srikaya, selai khas yang menjadi pelengkap leumang. Suasana mereka terasa hangat, meski panas api dan uap masakan membuat keringat bercucuran.


“Kami mulai memasak jam 9 pagi dan biasanya selesai sekitar jam 12 siang. Kalau bulan Ramadan, permintaan meningkat drastis. Kami bisa membuat hingga 70 kg beras ketan dan 20 kg ubi setiap harinya,” cerita Hafsah dengan bangga.


Tahun ini, di awal Ramadhan, mereka bahkan mampu menjual 120 batang leumang per hari, dengan harga mulai dari Rp5.000 hingga Rp20.000 per batang. Namun, di hari biasa, mereka hanya membuat sekitar 8 bambu leumang.


Sementara, harga per potong bervariatif, mulai dari Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu per porsi. Paling tinggi dijual harga Rp 50 ribu tergantung besar ukuran leumangnya.

 

Leumang Menjadi Takjil Pilihan

Hafsah mengungkapkan, kegemaran masyarakat Aceh memilih Leumang di antara takjil lainnya karena rasa yang dihasilkan dari pembakaran selama 4 jam itu adalah tekstur kenyal dan cenderung padat. Sehingga mampu membuat kenyang dengan cepat.


Juga, leumang bambu ini biasanya disajikan dengan berbagai macam sajian pendamping. Sehingga masyarakat bisa memadupadankan leumang dengan berbagai makanan kesukaan mereka.


Usaha leumang Hafsah bukan sekadar sumber penghasilan, tetapi juga menjadi tulang punggung bagi 10 orang pekerja yang menggantungkan hidupnya di sana. Namun, belakangan ini, tantangan semakin berat.


Namun, di balik kelezatan leumang Hafsah, tersimpan kekhawatiran yang mendalam. Harga bahan baku yang terus merangkak naik dan ancaman penggusuran menghantui mereka.


“Kalau tidak diberi tempat, kami terpaksa pindah. Tapi bagaimana kami bisa jualan jika terus dikejar-kejar?” keluh Hafsah dengan suara lirih, dan air matanya mulai menetes, menggambarkan betapa berat beban yang ia pikul.


Dengan berlinang air mata, Hafsah bercerita bahwa tempat jualannya sekarang telah digusur oleh pemerintah karena dianggap mengganggu akses jalan di area Lamdingin, Banda Aceh. Padahal, ia telah berjualan di sana selama hampir 30 tahun.


"Jika memang kami mengganggu, kami akan pindah. Tapi kami berharap diberi lahan lain," pinta Hafsah dengan penuh harap. Ia khawatir asap dari pembakaran leumang dapat mengganggu warga lain jika tempat jualannya terlalu dekat dengan perumahan.

 

Harapan yang Tak Pernah Padam

Sebelum Ramadan, banyak lapak penjualan tradisional telah digusur,  termasuk milik Hafsah. Ia pun memohon kepada pemerintah setempat untuk memberikan lahan yang layak bagi pedagang seperti dirinya.


“Saya minta lahan untuk berjualan, jangan diusir seperti ini. Jika tidak ada tempat jualan, 10 orang karyawan saya bisa kehilangan pekerjaan. Angka pengangguran akan bertambah lagi,” ujarnya dengan nada prihatin.


Di balik tantangan yang dihadapi, Hafsah tetap bersemangat. Ia yakin, leumang bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol ketahanan dan kebersamaan. “Selama masih ada yang mau membeli, saya akan terus berusaha. Ini bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk keluarga dan para pekerja yang bergantung pada usaha ini,” tegasnya.

Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages