Kuliner, Romadhon
Muloh Teupeh Khas Aceh, Menu Buruan Masyarakat Jelang Berbuka Puasa yang Mendunia
Pidie, NU Online
Setiap sore di bulan Ramadhan, aroma daun pisang yang terbakar ringan bercampur harum bumbu rempah menguar dari sudut-sudut pasar tradisional di Pidie. Itu tanda bahwa muloh teupeh, kuliner khas Aceh yang legendaris, siap menjadi primadona menu berbuka puasa.
Muloh teupeh terbuat dari ikan bandeng yang dibumbui rempah-rempah dan dibungkus daun pisang. Makanan ini berasal dari Pidie dan sudah ada sejak tahun 90-an.
Lebih dari sekadar makanan, muloh teupeh adalah simbol ketekunan, kebersamaan, dan cinta pada tradisi yang terus hidup dari generasi ke generasi.
Tgk Edy Kurniawan, tokoh muda Pidie yang juga mantan Ketua MWCNU Kembang Tanjong, menyebut muloh teupeh sebagai “ikon Ramadhan” yang tak tergantikan. “Ini lebih dari sekadar kuliner. Muloh teupeh itu cerita panjang tentang budaya dan perjuangan masyarakat. Setiap gigitan menyimpan nilai-nilai yang harus kita jaga,” ujar Edy sambil menyusuri lapak-lapak penjual di Pasar Kembang Tanjong, Kamis lalu.
Pria yang pernah menjadi ajudan ulama kharismatik Aceh Abu Ishak Lamkawe ini menjelaskan bahwa muloh teupeh adalah olahan ikan bandeng yang dipisahkan dari tulangnya, dicampur dengan bumbu khas Aceh, lalu dimasukkan kembali ke dalam kulit ikan dan dibungkus daun pisang sebelum dipanggang perlahan di atas bara api. Prosesnya rumit, butuh ketelatenan, tapi hasilnya luar biasa.
“Prosesnya panjang, tapi di situlah seninya. Harus sabar saat memisahkan tulang, mengaduk bumbu, dan memanggang dengan api kecil. Ini mengajarkan bahwa sesuatu yang bernilai lahir dari kesabaran dan ketekunan,” ucap Edy.
Alumni STIS Ummul Ayman Pidie Jaya kampus yang didirikan Waled NU Rais Syuriyah PWNU Aceh ini menambahkan, dulu muloh teupeh hanya dijual di pasar lokal. Tapi kini, makanan ini sudah menyeberang ke luar negeri, jadi buah tangan favorit bagi perantau Aceh di Malaysia dan Arab Saudi.
“Kalau ada yang mudik, pasti bawa pulang muloh teupeh. Ini yang bikin namanya makin dikenal luas,” ujar Edy dengan bangga. Ia optimistis bahwa kuliner ini punya potensi besar untuk dikembangkan lebih jauh.
Menurut alumni Dayah Baldatun Mubarakah Al-Aziziyah Kembang Tanjung itu menyebutkan jika ada dukungan berupa pelatihan pengemasan, sertifikasi halal, dan strategi pemasaran digital, muloh teupeh bisa jadi komoditas ekspor yang berdaya saing tinggi. “Kalau dikemas modern dan bisa tahan lama, pasti lebih mudah menembus pasar internasional,” tegasnya.
Edy sebagai Komisioner KIP Pidie juga melihat dampak ekonomi yang signifikan dari penjualan muloh teupeh. Di bulan puasa, kuliner ini menjadi sumber rezeki bagi warga Gampong Panjoe dan Trueng Campli. Para penjual bisa meraup omzet Rp 350 ribu hingga Rp 400 ribu per hari hanya dari satu lapak. Dengan harga Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per ekor, makanan ini selalu ludes sebelum azan berkumandang.
“Ini bukan cuma soal rasa, tapi juga soal ekonomi rakyat,” ujar Edy dengan semangat. “Bayangkan kalau ada 15 lapak yang jual, berapa banyak keluarga yang terbantu? Ini harus kita dukung,” katanya.
Di sisi lain, tradisi ini juga mempererat tali silaturahmi. Proses pembuatan muloh teupeh yang melibatkan banyak tangan mulai dari menyiangi ikan, mengolah bumbu, hingga memanggang bersama menciptakan ruang kebersamaan yang hangat di tengah masyarakat.
Bagi Edy, menjaga kuliner tradisional seperti muloh teupeh adalah bagian dari merawat identitas budaya. Ia mendorong lebih banyak event kuliner yang mengangkat makanan ini ke kancah nasional dan internasional. “Kalau terus dipromosikan, orang luar akan penasaran. Ini bisa menarik wisatawan dan memperkenalkan Aceh lebih luas lagi,” katanya penuh optimisme.
Sementara itu, Nazared, tokoh Kembang Tanjong yang juga pesepakbola legendaris PSAP Pidie, ikut merasakan kebahagiaan saat melihat antusiasme warga berburu muloh teupeh menjelang berbuka puasa. Baginya, kuliner ini adalah simbol keberlanjutan warisan leluhur yang patut dibanggakan.
“Kita harus terus menjaga tradisi ini. Selama muloh teupeh masih ada di meja berbuka, artinya budaya kita masih hidup,” ucap Nazared dengan mantap.
Pensiunan ASN itu berharap ada kolaborasi lebih erat antara pemerintah, pelaku UMKM, dan generasi muda untuk melestarikan dan mengembangkan kuliner ini. “Kalau anak-anak muda mau belajar dan meneruskan tradisi ini, saya yakin muloh teupeh akan tetap hidup sampai kapan pun,” tambahnya.
Nazared menambahkan saat matahari mulai tenggelam, lapak-lapak di Pasar Kembang Tanjong makin dipadati pembeli. Muloh teupeh laris manis, menjadi hidangan istimewa yang melengkapi kebahagiaan berbuka. Di tengah hiruk-pikuk pasar, ada semangat yang tak terlihat semangat menjaga budaya, memperjuangkan ekonomi lokal, dan membawa cita rasa Aceh ke panggung dunia.
"Di bulan penuh berkah ini, muloh teupeh adalah lebih dari sekadar makanan. Ia adalah simbol harapan, kebersamaan, dan cinta pada tradisi. Dan selama warga Pidie masih setia melestarikannya, aroma harum daun pisang yang terbakar akan terus menyebar membawa cerita Aceh ke seluruh penjuru dunia," ulasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar