Masjid Lasem, Cagar Budaya Perpaduan Hindu dan Islam, Berdiri Sejak 1588 - NU Online - Opsiinfo9

Post Top Ad

demo-image

Masjid Lasem, Cagar Budaya Perpaduan Hindu dan Islam, Berdiri Sejak 1588 - NU Online

Share This
Responsive Ads Here

 

Masjid Lasem, Cagar Budaya Perpaduan Hindu dan Islam, Berdiri Sejak 1588

masjid-lasem_1743046777

Rembang, NU Online

Masjid Jami Lasem berdiri tepat di sebelah barat alun-alun Lasem yang dibangun sejak tahun 1588 oleh Adipati Tejakusuma I. Masjid itu merupakan salah satu cagar budaya di Jawa Tengah.

 

Pada zaman era pemerintahan Mbah Srimpet mengundang ulama besar dari Kadipaten Tuban bernama Syekh Abdurrahman Basyaiban atau yang dikenal luas oleh masyarakat dengan nama Mbah Sambu (Pangeran Sambua).

 

Sejak tahun 1625 diketahui Eyang Sambu merupakan putra laki-laki dari Pangeran Benowo mendapatkan amanah dari pemimpin Lasem sebagai guru agama sekaligus imam masjid Lasem selain menjadi Kiai besar dia aktif dalam tradisi kepesantrenan di Masjid Lasem.


Selain menjadi kiai, Mbah Sambu juga diangkat sebagai Wali Nagari di lingkungan pemerintahan Kadipaten Lasem. Bahkan setelah itu sang pejabat Wali Nagari kemudian diambil menantu sendiri oleh penguasa Lasem yakni Adipati Tejokusumo 1.


Di tanah Jawa, Mbah Sambu merupakan ulama besar yang hidup pada abad ke-17. Sejarah mencatat dari tradisi ke pesantren yang digalang oleh Mbah sambu merupakan wujud jagat ke pesantren yang terus berkembang dari generasi ke generasi selanjutnya hingga menyebar ke daerah-daerah lain di luar kota Lasem. 

 

Abdul Aziz, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah 1 sekaligus pengelola Masjid Jami Lasem mengatakan bahwa kiai-kiai keturunan Mbah Sambu banyak yang mendirikan dan mengasuh pesantren di Jombang, Kajen, Jember, Bojonegoro, dan daerah lainnya.

 

"Bahkan keturunannya getol dalam berdakwah dengan cara mendirikan pesantren di beberapa wilayah yang sudah saya sebutkan tadi," tuturnya. 


Aziz mengimbuhkan, jika Masjid Jami Lasem ini didirikan benar-benar sangat memperhatikan budaya masyarakat lokal yang masih banyak terpengaruh agama Hindu. Masjid ini merupakan wujud dari masjid yang merangkul semua golongan masyarakat. 


Mustaka Candradimuka 

Masjid Jami Lasem memiliki mustaka yang diyakini menjadi salah satu mustaka paling tua dalam sejarah peradaban Islam di Rembang. Mustaka ini terbuat dari tembikar dan berbentuk barongan.


Pegiat budaya Lasem sekaligus pengurus perpustakaan Masjid Jami Lasem, Abdullah Hamid menuturkan dalam tahun 2019 kemarin setidaknya ada sekitar 15 hingga 20 peneliti berkunjung ke Masjid Jami Lasem.


"Mustaka unik dan khas dari Masjid Lasem ini memang sengaja di buat dan dirancang dengan bentuk barongan yang merupakan kesenian khas masyarakat Hindu Lasem,” ucap Abdullah.


Abdullah berkata, mustaka itu tingginya sekira 1,5 meter yang terbuat dari bahan tembikar, dengan ornamen yang bisa langsung mengingatkan tempo dulu yang dipenuhi dengan ukir-ukiran.


Sayangnya, mustaka kuno itu diturunkan saat proses perbaikan Masjid Lasem sejak tahun 2005. Hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran kondisinya yang semakin rusak. Mustaka masjid kemudian dibuatkan replika dari bahan tembaga dengan bentuk yang hampir menyerupai mustaka lama untuk menjaga nilai kesejarahannya. Sementara mustaka lama lantas disimpan dalam kerangkeng besi.


"Karena mustaka yang asli semakin rawan rusak, kami memutuskan untuk meletakkan mustaka yang asli di museum untuk menjaga orisinalitasnya," jelasnya.


Abdullah menyebut, mustaka tersebut menjadi salah satu bagian penting dari sejarah penyebaran Islam di Pulau Jawa. Posisinya yang berada paling atas di sebuah bangunan masjid adalah simbol keagungan.


Menurut cerita dari beberapa sumber, Masjid Jami’ Lasem berdiri pada tahun 1588 yang diprakarsai oleh Adipati Lasem Pangeran Tejakusuma I atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Srimpet dan menantunya, Sayyid Abdurrahman Basyaiban. Keduanya merupakan tokoh sejarah peradaban Islam di wilayah Lasem yang menjadi ikon pusat wisata religi, dan banyak dikunjungi para peziarah. Makamnya pun masih berada di sebelah barat dan utara masjid Lasem.


Abdullah Hamid, atau kerap disapa Dullah yang pengurus Masjid Jami' Lasem menjelaskan, Mbah Srimpet dan Tejokusumo 1 merupakan kedua tokoh itu hidup pada zaman pemerintahan Kesultanan Pajang. Mereka sengaja sengaja membangun Masjid dengan tetap memperhatikan budaya masyarakat lokal yang masih banyak terpengaruh agama Hindu.

 

Renovasi Masjid dan Hadirnya Museum Nusantara

Wajah baru pun menghiasi Masjid Jami' Lasem. Hadirnya museum nusantara yang bernuansa warna coklat dan hijau. Museum Nusantara memuat beragam naskah biografi para tokoh ulama Nusantara, lengkap dengan fotonya. Selain itu, ada sejumlah benda kuno yang disimpan di museum tersebut mulai dari manuskrip hingga Al-Qur'an raksasa dari lempengan kayu. Beberapa lempengan dari kayu jati itu terukir indah kalimat suci yang tersusun rapi di lantai tiga. 


Makam ulama seperti Mbah Ma'shoem, Mbah Toyfoer Thomafi, serta Mbah Srimpet juga tak ketinggalan mengalami renovasi bangunan. Selain itu, adanya penambahan bangunan seperti warung makan, dan parkiran bus bagi para peziarah.


Adanya warung makan dapat meningkatkan rantai ekonomi bagi masyarakat. Hal itu dirasakan oleh Rosyid, salah satu pemilik warung yang berada di belakang masjid Jami Lasem.

 

"Sejak ada warung di dekat masjid, perekonomian keluarga saya tercukupi. banyak pengunjung setelah berziarah langsung mampir ke warung untuk sekadar ngopi, makan, dan minum," ucap Rosyid.

Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages