Dunia Internasional,
Mengunjungi Masjid Itaewon: Pusat Islam di Korea Selatan dan Kisah Mualaf Muda An Ji Yoon
Pada hari Sabtu, 22 Maret 2025, saya berkesempatan mengunjungi Masjid Itaewon di Seoul, Korea Selatan. Perjalanan dimulai dari Waegwan, tempat saya tinggal, menempuh jarak sekitar 235 km dengan waktu tempuh 2 jam 30 menit. Sebelum ke masjid, saya bersama Ja’far Shodiq, H Jajat, H. Kahfi, dan H Heru menuju ke Perpustakaan Starfield yang terletak di COEX Mall, distrik Suwon-si. Perpustakaan ini memiliki desain unik dengan rak buku setinggi 13 meter dan koleksi sekitar 70.000 buku.
Setelah berkeliling perpustakaan dan mall, kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Itaewon yang berjarak sekitar 37 km. Masjid Itaewon yang secara resmi dikenal sebagai Seoul Central Mosque, merupakan masjid pertama dan terbesar di Korea Selatan.
Masjid ini bermula pada tahun 1970 ketika pemerintah Korea Selatan mendonasikan lahan seluas 5.000 meter persegi di distrik Itaewon kepada Korean Muslim Federation (KMF). Kemudian pembangunan masjid dimulai pada tahun 1974 dengan bantuan dana dari berbagai negara Islam, terutama Arab Saudi. Batu pondasi masjid diletakkan pada Oktober 1974, dan masjid ini resmi dibuka untuk ibadah pada 21 Mei 1976 dalam sebuah upacara yang dihadiri oleh pejabat tinggi dari 17 negara Islam.
Sejak pembukaannya, jumlah Muslim di Korea meningkat pesat dari kurang dari 3.000 menjadi lebih dari 15.000 dalam waktu satu tahun. Seoul Central Mosque tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat budaya dan pendidikan Islam di Korea Selatan.
Destinasi Wisata
Sekarang, jumlah penduduk muslim di negara ini meningkat pesat menjadi sekitar 100.000 hingga 200.000 orang saat ini. Masjid ini tidak hanya melayani komunitas Muslim lokal, tetapi juga menjadi destinasi wisata populer, menarik banyak pengunjung non-Muslim yang ingin melihat arsitektur uniknya. Terletak di atas bukit di kawasan Itaewon, masjid ini menawarkan pemandangan kota Seoul dan Sungai Han yang menakjubkan.
Pada saat saya turun dari mobil, nomor satu yang paling membuat saya gembira adalah saya tidak kebingungan arah. Masjidnya menghadap ke timur dengan membelakangi kiblat ke arah barat. Secara umum, kiblat antara Indonesia dengan Korsel hampir sama, hanya selisih sekitar 10 derajat saja. Keduanya sama-sama agak miring ke arah barat laut. Indonesia lebih miring daripada Korsel.
Setelah mengambil air wudhu di bawah gedung pertemuan, kami disambut arsitektur khas Islam yang kontras dengan bangunan di sekitarnya. Dua menara tinggi menjulang di sisi kanan dan kiri, dengan tulisan besar "Allahu Akbar" berwarna hijau di bagian depan. Bangunan masjid didominasi warna putih dengan dekorasi mosaik biru dan lengkungan khas Timur Tengah pada pintu masuknya.
Di pelataran masjid, suasana multikultural cukup terasa. Anak-anak Muslim dari berbagai negara bermain dengan riang di halaman masjid, mencerminkan keberagaman komunitas Muslim di Korea Selatan. Saya melihat orang-orang dari berbagai latar belakang seperti Rusia, Malaysia, Afrika, Indonesia, dan Timur Tengah berkumpul di masjid ini.
Interior masjid sungguh memukau. Karpet merah bermotif menutupi lantai, sementara dinding dilapisi ubin biru dengan motif geometris khas Timur Tengah. Pilar-pilar putih besar menopang langit-langit tinggi yang dihiasi ornamen kaligrafi Arab dan pola simetris. Kubah besar di tengah langit-langit dilengkapi jendela melingkar yang memancarkan cahaya alami, menciptakan suasana spiritual yang menenangkan.
Di siang hari itu, di dalam masjid, sebagian orang tampak membaca Al-Quran, ada yang seperti sedang i'tikaf, dan kami bermaksud melaksanakan shalat jama’ qashar di atas hamparan karpet.
Pusat Komunitas Muslim
Masjid Itaewon bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat komunitas Muslim di Korea Selatan. Kompleks masjid dilengkapi berbagai fasilitas pendukung, seperti Prince Sultan Bin Abdul Aziz Al-Saud School untuk pendidikan anak-anak Muslim, Halal Advancement Institute of Korea (HAIKOREA) yang mempromosikan industri halal, serta lembaga pendidikan milik Yayasan Sulaimaniyah dari Turki.
Saat berkunjung, saya berkesempatan bertemu dengan Ust. Imtiyaz, pengajar asal Malaysia di Yayasan Sulaimaniyah. Beliau bercengkerama dengan kami di tengah persiapannya mengajar murid-muridnya.
Momen yang paling berkesan adalah pertemuan tak terduga dengan An Ji Yoon, remaja Korea berusia 13 tahun yang baru memeluk Islam dua pekan lalu. Saat kami tanya tentang bagaimana kisahnya sehingga dia masuk Islam, remaja siswa kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini menjawab bahwa ia menemukan Islam melalui bacaan sejarah Islam. Islam tidak banyak diajarkan di sekolah, namun anak ini justru dengan bacaan pribadinya, bisa mengantarkan ia mendapatkan hidayah dari Allah.
Meskipun masyarakat Korea umumnya tidak banyak mengenal agama Islam, An Ji Yoon yang tinggal di daerah Ansan tersebut tidak mendapatkan pertentangan dari kedua orang tuanya yang masih ateis. Ia mengatakan bahwa orang tuanya menghormati keputusannya.
Dengan gaya santai namun terorganisir, An Ji Yoon mengenakan jaket fleece berwarna krem, dilengkapi aksen hitam pada ritsleting dan kantong yang memberikan kesan kasual. Di balik jaketnya, ia memakai kaos abu-abu dengan desain sederhana yang menambah kesan minimalis pada penampilannya.
Tas punggung hitam yang dikenakan di kedua bahunya tampak praktis. Ia mengaku, di dalamnya ada Al-Qur'an berbahasa Korea. Celana panjang berwarna gelap dengan rambut pendek dan rapi, mencerminkan kepribadian yang terawat. Saat kami mencoba ingin tahu apakah dia sudah bisa syahadat, ia dengan senang hati membaca dua kalimah yang kami minta.
Ia mengaku sudah datang 4 kali ke masjid ini. Yang pertama justru sebelum ia masuk Islam. Setelah bertemu dengan kami, dia kemudian memasuki ruang belajar bersama beberapa orang lain yang di antaranya adalah Ust. Imtiyaz dan satu orang ustaz dari KMF.
Kawasan sekitar masjid, yang dikenal sebagai "Muslim Street", telah berkembang menjadi pusat kuliner halal dan budaya Islam di Seoul. Berbagai restoran, toko kelontong halal, dan bisnis yang dikelola Muslim bermunculan, menciptakan atmosfer yang ramah bagi pengunjung Muslim.
Pemerintah Korea Selatan juga menunjukkan dukungannya terhadap komunitas Muslim dengan meningkatkan infrastruktur ramah Muslim di berbagai tempat wisata dan fasilitas umum. Inisiatif ini mencerminkan kesadaran akan potensi wisatawan Muslim dan komitmen untuk menciptakan lingkungan yang inklusif.
Kunjungan ke Masjid Itaewon membuka mata saya tentang keberagaman dan toleransi di Korea Selatan. Di tengah dominasi budaya Korea, masjid ini berdiri tegak sebagai simbol harmoni dan penerimaan. Pengalaman ini menegaskan bahwa Islam dapat tumbuh dan berkembang di mana pun, bahkan di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Semoga Masjid Itaewon terus menjadi mercusuar bagi komunitas Muslim di Korea Selatan, menjembatani perbedaan budaya, dan memperkaya tapestri multikultural Seoul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar