Kemenag: Penempatan Jemaah di Mekkah Berdasarkan Syarikah untuk Permudah saat Puncak Haji

MEKKAH, KOMPAS.TV - Pihak Kementerian Agama menyatakan, penempatan Jemaah haji di Mekkah dengan skema Syarikah dilakukan agar proses mobilisasi dan layanan saat puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) berjalan optimal.
Syarikah adalah perusahaan asal Arab Saudi yang memiliki otoritas dalam mengatur pelayanan haji.
Sehingga skema penempatan jemaah haji Indonesia di Makkah yang dilakukan bukan lagi berbasis kelompok terbang (kloter).
Tujuannya, memudahkan pengendalian dan memperjelas koordinasi di lapangan, serta memastikan jemaah haji Indonesia mendapatkan layanan optimal dan tertata.
Baca Juga: Nenek 107 Tahun Asal Lampung Jadi Perhatian di Madinah, Semangat Beribadah Haji
Ketua Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, Muchlis M Hanafi mengatakan, pada penyelenggaran ibadah haji 1446 H, ada delapan Syarikah yang melayani jemaah haji Indonesia.
Yaitu Al-Bait Guest yang melayani 35.977 jemaah, Rakeen Mashariq (35.090), Sana Mashariq (32.570), Rehlat & Manafea (34.802), Alrifadah (20.317), Rawaf Mina (17.636), MCDC (15.645), dan Rifad (11.283).
“Penempatan jemaah berbasis Syarikah di Makkah pada tahun ini, sangat urgent dan penting untuk menyukseskan layanan jemaah saat puncak haji di Armuzna. Penempatan jemaah haji Indonesia di Makkah berbasis syarikah mempertimbangkan proses pergerakan dan layanan kepada jemaah saat di Armuzna,” kata Muchlis M Hanafi di Madinah, Kamis (15/5/2025).
Ia menjelaskan, jemaah haji Indonesia diberangkatkan dalam dua gelombang. Gelombang pertama, jemaah mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah.
Di Madinah, penempatan jemaah dilakukan tetap berbasis kelompok terbang atau kloter.
Baca Juga: Pemerintah Arab Saudi Perketat Pengecekan Visa Haji, Akan Berlakukan Denda Hingga Rp440 Juta
“Pemberangkatan jemaah dari Madinah ke Makkah dikelompokkan berbasis Syarikah. Ketika akan pulang ke tanah air, mereka akan dikembalikan pada kloter awal saat berangkat,” terang Muchlis seperti dikutip dari keterangan resmi Kemenag.
Kemudian untuk jemaah haji yang berangkat pada gelombang kedua, mereka akan mendarat di Bandara King Abdul Aziz International Airport (KAAIA) Jeddah.
Dari bandara, jemaah diberangkatkan dengan bus berdasarkan Syarikah sesuai basis penempatan hotel di Makkah.
“Layanan di Makkah berbasis Syarikah ini linear dengan pola pergerakan jemaah dari Makkah menuju Arafah, Muzdalifah dan Mina, serta layanan di dalamnya. Sehingga pengelompokkan berbasis Syarikah ini penting dalam rangka menyukseskan pelaksanaan puncak haji di Armuzna,” tuturnya.
Ia mengakui, penerapan Syarikah memang membuat sejumlah pasangan suami istri atau anak dan orang tua atau pendamping dengan lansia dan disabilitas yang terpisah karena beda Syarikah.
Baca Juga: Ini Tiga Kategori Jemaah yang Berhak Mendapatkan Badal Haji
“Memang ada pasangan suami istri yang terpisah, orang tua yang terpisah dengan anaknya, serta ada juga beberapa jemaah disabilitas yang terpisah dengan pendampingnya. Ini terus kita mitigasi agar dampaknya bisa diminimalisir dan jemaah tetap nyaman dalam beribadah,” jelas Muchlis.
“Sebagai bagian dari proses mitigasi, hal ini juga kita bahas dengan pihak Arab Saudi agar bisa didapat solusi terbaik,” sambungnya.
Di sisi lain, ia memastikan seluruh jemaah, termasuk yang terpisah karena beda Syarikah, tetap mendapatkan layanan sesuai dengan haknya.
Sebelumnya, sistem pengelompokan jemaah haji Indonesia model Syarikah yang diterapkan tahun 2025 menuai kritik tajam dari Komisi VIII DPR RI.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanul Haq menilai, alih-alih mempermudah pelayanan, kebijakan baru itu justru menyebabkan kebingungan, keterpisahan anggota keluarga, hingga ketidaksiapan keberangkatan jemaah.
Baca Juga: Kemenkes: Reaksi Stres Akut dan Gangguan Penyesuaian Diri jadi Penyakit Terbanyak Pasien Jemaah Haji
Ia menyebut penerapan sistem Syarikah dilakukan terlalu mendadak tanpa mitigasi yang memadai dari Kemenag.
"Penerapan sistem Syarikah yang terkesan mendadak ini telah mengacaukan pengelompokan kloter yang sebelumnya sudah terencana dengan baik dari Tanah Air," kata Maman dikutip dari Kompas.tv, Rabu (14/5).
"Kami meminta Menteri Agama segera melakukan evaluasi," ujarnya.
Maman juga mempertanyakan dasar pemilihan delapan perusahaan tersebut.
Ia menyayangkan Kemenag tidak melakukan kajian risiko yang komprehensif sebelum menerapkan sistem baru ini.
“Mengapa harus delapan syarikah yang dilibatkan, dan apa dasar pertimbangannya? Seharusnya Kementerian Agama telah melakukan identifikasi masalah dan langkah-langkah mitigasi sebelum menerapkan kebijakan ini," lanjutnya.
Penulis : Dina Karina Editor : Deni-Muliya
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar