Sebelum PBB Bicara HAM, Indonesia Sudah Menjaga Toleransi
Jakarta, NU Online
Institute for Humanitarian Islam (IFHI) menggelar Diskusi Pakar Ke-2 dengan menghadirkan Duta Besar RI untuk Kanada yang juga merangkap sebagai Utusan RI untuk International Civil Aviation Organization (ICAO), Muhsin Syihab. Diskusi ini membahas tema Dinamika Agama di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Tren Islam Internasional.
Duta Besar RI untuk Kanada Muhsin Syihab menegaskan bahwa prinsip kebebasan beragama telah tercantum dalam konstitusi Indonesia sejak 1945, bahkan mendahului Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang lahir pada 1948.
"PBB berupaya merumuskan prinsip-prinsip kebebasan beragama melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948. Dalam Pasal 18 disebutkan secara tegas jaminan atas kebebasan beragama," ucap Muhsin di Kantor IFHI, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (15/5/2025).
"Namun sebagai bangsa Indonesia, kita patut berbangga karena jauh sebelum itu, pada tahun 1945, para pendiri bangsa telah lebih dahulu mencantumkan secara eksplisit prinsip kebebasan beragama dalam konstitusi kita,” tambahnya.
Ia juga menyebut bahwa semangat toleransi telah menjadi bagian dari sejarah panjang Indonesia, yang dapat ditelusuri sejak Sumpah Pemuda 1928. Menurutnya, ini merupakan kontribusi awal Indonesia terhadap nilai-nilai universal.
"Kalau mau jujur, bisa dikatakan PBB justru mengadopsi semangat Indonesia. Kita sudah menyatakan nilai-nilai keagamaan universal bahkan sejak Sumpah Pemuda tahun 1928. Dalam rentang dua dekade, semangat keberagaman dan keagamaan kita sudah teruji," tambahnya.
Pentingnya merayakan harmoni antariman
Muhsin mengapresiasi penetapan World Interfaith Harmony Week oleh PBB pada 2010. Ia menilai inisiatif tersebut perlu dirayakan setiap tahun agar tidak menjadi simbol semata.
"Tahun 2010, PBB menetapkan minggu pertama Februari sebagai World Interfaith Harmony Week. Ini upaya penting yang harus kita rayakan, agar tidak hanya menjadi resolusi simbolik," tegasnya.
Namun, ia juga menekankan pentingnya menjadikan resolusi tersebut sebagai gerakan nyata. Pengalaman Indonesia dalam menjaga harmoni antaragama dinilai bisa menjadi model global.
"Saya kira, Indonesia punya tanggung jawab moral untuk menggerakkan masyarakat internasional agar memahami bahwa komitmen kita terhadap harmoni antarumat beragama bahkan lebih awal dari PBB sendiri," lanjutnya.
Melawan Islamofobia dengan langkah strategis
Muhsin menyoroti meningkatnya Islamofobia pasca-peristiwa 11 September 2001. Ia menyebutkan bahwa sebanyak 38 persen Muslim di Eropa mengalami diskriminasi, mengacu pada data terbaru.
"Setelah peristiwa 9/11 tahun 2001, muncul gelombang Islamofobia yang berdampak global. Oleh karena itu, resolusi-resolusi seperti Combating Religious Intolerance (2011), hingga resolusi terbaru tentang Hari Internasional untuk Melawan Islamofobia, menjadi penting," jelas Muhsin.
"Tantangan kita hari ini adalah meningkatnya ujaran kebencian dan diskriminasi terhadap umat Islam di Barat. Di Eropa, 38 persen Muslim mengalami diskriminasi dalam setahun terakhir. Ini angka yang tidak kecil," ujarnya.
Muhsin menekankan bahwa dalam menghadapi Islamofobia, umat Islam tidak perlu bersikap reaktif. Tetapi hal yang dibutuhkan adalah strategi sistemik dan terukur agar tidak memperkeruh keadaan.
Pendidikan toleransi dan peran IFHI
Ia menyoroti pentingnya pendidikan toleransi sebagai cara jangka panjang dalam membangun harmoni. Menurutnya, IFHI dapat memainkan peran strategis dalam merancang kurikulum toleransi, baik untuk pendidikan di Indonesia maupun kerja sama internasional.
"Indonesia, melalui lembaga-lembaga seperti Institute for Humanitarian Islam (IFHI), bisa memainkan peran penting dalam mendorong kurikulum toleransi di tingkat pendidikan dasar dan menengah, baik di dalam negeri maupun sebagai kerjasama dengan negara-negara Barat," sambungnya.
Moderasi Islam jadi narasi global
Muhsin juga mengangkat konsep Islam Wasathiyah atau Moderasi Islam sebagai narasi utama yang kini makin dikenal luas, bahkan di kalangan non-Muslim. Ia menyebut Indonesia sebagai salah satu pelopornya.
"Moderasi Islam (Islam Wasathiyah) adalah narasi kunci. Bahkan masyarakat non-Muslim kini sudah mulai mengenal konsep ini dengan lebih baik. Indonesia, menurut saya, termasuk negara terdepan dalam menyuarakannya," tegasnya.
Jaringan pesantren di Indonesia, menurut Muhsin, merupakan aset besar dalam menjaga kerukunan. Ia menekankan bahwa pesantren memiliki tradisi toleransi yang kuat meskipun belum banyak dikenal secara internasional.
"Kita memiliki kekuatan besar dari jaringan pesantren. Banyak pesantren kita, meskipun belum terkenal secara internasional, sangat toleran dan punya peran penting dalam menjaga harmoni sosial," jelasnya.
Ia juga mengakui bahwa beberapa pesantren seperti Darunnajah dan Gontor sudah memiliki reputasi internasional, namun perlu ada upaya untuk memberi ruang pada pesantren lain agar turut tampil di tingkat global.
"Pesantren seperti Darunnajah dan Gontor sudah cukup dikenal, tapi masih banyak pesantren lainnya yang seharusnya juga mendapat panggung global,” katanya.
Muhsin menggarisbawahi pentingnya peran aktif Indonesia dalam berbagai forum internasional. Ia berharap IFHI bisa menjadi jembatan bagi ormas-ormas Islam di Indonesia dalam menyuarakan pesan perdamaian.
"Indonesia juga aktif dalam forum-forum seperti Global Forum for Moderation dan World Peace Forum. Saya berharap Institute for Humanitarian Islam (IFHI) bisa menjadi pelopor dan jembatan dari berbagai ormas Islam Indonesia untuk menyuarakan narasi Islam damai di dunia internasional," tutupnya.
Diskusi ini dihadiri oleh Direktur Eksekutif Institute for Humanitarian Islam (IFHI) Yaqut Cholil Qoumas, Ketua PBNU Rumadi Ahmad, Ahmad Suaedy, serta Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Najib Azca dan Ginanjar Sya'ban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar