Hukum dan Etika Menguap dalam Salat - Lirboyo - Opsiinfo9

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Hukum dan Etika Menguap dalam Salat - Lirboyo

Share This

 

Hukum dan Etika Menguap dalam Salat - Lirboyo

Seperti yang kita ketahui, salat adalah sebuah ibadah yang melakukannya harus dengan khusu’. Namun, acapkali—terutama ketika salat subuh—banyak sekali orang yang menguap dalam salat, entah karena kantuk yang masih bersarang ataupun lelah karena lembur semalaman. Lantas, hal ini menimbulkan pertanyaan; bagaimana hukum dan etika orang yang menguap dalam salat?

Baca juga: Menjadi Waiter di Kapal Pesiar: Bolehkah Mensucikan Najis Babi dengan Sabun?

Hadits Nabi tentang menguap

Nabi Muhammad dalam sabdanya menjelaskan bahwa ihwal menguap:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «التَّثَاؤُبُ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِيُّ، وَزَادَ: «فِي الصَّلَاةِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya menguap itu dari setan. Maka apabila salah seorang dari kalian menguap, hendaklah ia menahannya semampunya.”
(HR. Imam Muslim dan At-Tirmidzi, dan dalam riwayat At-Tirmidzi menambahkan kalimat: “dalam shalat.”)

Baca juga: Sawah Tercampur Air Bekas Basuhan Babi, Najiskah?

Penjelasan tentang arti “menguap dari setan”

Secara sekilas, hadits ini tersirat sebuah perintah untuk menahan menguap semampunya, lebih-lebih ketika dalam keadaan salat. Hal ini sebagaimana keterangan Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, bahkan menguap dalam salat adalah salah satu kegiatan yang menuai hukum makruh.

وَوَقَعَ فِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى تَقْيِيدُهُ بِحَالَةِ الصَّلَاةِ، فَيُحْتَمَلُ أَنْ يُحْمَلَ الْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ، وَلِلشَّيْطَانِ غَرَضٌ قَوِيٌّ فِي التَّشْوِيشِ عَلَى الْمُصَلِّي فِي صَلَاتِهِ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ تَكُونَ كَرَاهَتُهُ فِي الصَّلَاةِ أَشَدَّ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْ ذَلِكَ أَنْ لَا يُكْرَهَ فِي غَيْرِ حَالَةِ الصَّلَاةِ.

Dan dalam riwayat lain menyebutkan bahwa larangan (menguap) terbatas pada keadaan shalat. Maka ada kemungkinan bahwa hadis yang bersifat umum mengarahkan maknanya kepada yang bersifat khusus (yakni hanya berlaku saat shalat). Setan memiliki tujuan yang kuat untuk mengganggu orang yang sedang shalat. Bisa jadi larangan menguap lebih ditekankan saat shalat, namun hal itu tidak berarti bahwa menguap tidak makruh di luar shalat.

وَقَدْ قَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّ الْمُطْلَقَ إِنَّمَا يُحْمَلُ عَلَى الْمُقَيَّدِ فِي الْأَمْرِ، لَا فِي النَّهْيِ، وَيُؤَيِّدُ كَرَاهَتَهُ مُطْلَقًا كَوْنُهُ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَبِذَلِكَ صَرَّحَ النَّوَوِيُّ.

Sebagian ulama mengatakan bahwa nash (teks) yang bersifat umum hanya menafsirkannya dengan yang khusus dalam hal perintah, bukan dalam larangan. Dan yang menguatkan bahwa menguap makruh secara mutlak adalah kenyataan bahwa ia berasal dari setan. Itulah yang oleh Imam An-Nawawi tegaskan.

Baca juga: Mengambil Berkah (Tabarruk), Bolehkah?

Alasan menguap dihukumi makruh

Adapun alasan mengapa menguap hukumnya makruh—menurut Ibnu al-Arabi, dalam lanjutan redaksi di atas menjelaskan:

قَالَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ: يَنْبَغِي كَظْمُ التَّثَاؤُبِ فِي كُلِّ حَالَةٍ، وَإِنَّمَا خُصَّتِ الصَّلَاةُ لِأَنَّهَا أَوْلَى الْأَحْوَالِ بِدَفْعِهِ، لِمَا فِيهِ مِنَ الْخُرُوجِ عَنْ اعْتِدَالِ الْهَيْئَةِ وَاعْوِجَاجِ الْخِلْقَةِ.

Ibnu Al-‘Arabi berkata: ‘Seyogianya seseorang menahan menguap dalam setiap keadaan. Adapun shalat dalam penyebutannya secara khusus karena ia adalah keadaan yang paling utama untuk menolak (menguap), sebab menguap menyebabkan hilangnya keseimbangan bentuk tubuh dan membuat wajah menjadi tidak wajar.’ [Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalānī, Fath al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1379 H) vol. 10 hal. 612.]

Etika menguap dalam salat

Sedangkan dalam kitab Kasyifah as-Saja Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa salah satu kemakruhan dalam salat adalah meletakkan tangan di mulut dengan tanpa ada kebutuhan. Tapi ketika menutup mulut dalam keadaan menguap justru menuai hukum sunah.

وَحَادِي عَشَرِيْهَا: وَضْعُ يَدِهِ عَلَى فَمِهِ بِلاَ حَاجَةٍ، فَإِنْ كَانَ لَهَا، كَمَا إِذَا تَثَاءَبَ، فَلَا كَرَاهَةَ، بَلْ يُسْتَحَبُّ لَهُ ذَلِكَ، وَيُسَنُّ أَنْ يَكُونَ الْمَوْضُوعُ الْيَدَ الْيُسْرَى، وَالْأُوْلَى ظَهْرُهَا، كَمَا أَفْتَى بِذَلِكَ شَيْخُنَا عَبْدُ الْغَنِيّ.

“Poin kesebelas (dari kemakruhan dalam salat): Meletakkan tangan di mulut tanpa kebutuhan (saat shalat) hukumnya makruh. Namun jika ada kebutuhan, seperti karena menguap, maka tidak makruh — bahkan sunah dalam melakukannya. Dan hukumnya sunah meletakkan tangan kiri, dan yang lebih utama menggunakan bagian belakang tangan (bukan telapak), sebagaimana oleh guru kami, Syaikh Abdul Ghani fatwakan.” [Muhammad Nawawi al-Bantani, Kasyifah as-Saja. (Beirut: DKI), hal. 157]

Baca juga: Tata Cara Mencuci Pakaian Najis Dengan Mesin Cuci

Dengan tangan kanan atau kiri?

Dalam keterangan lain ternyata etika menutup mulut saat menguap itu menuai perbedaan pendapat apakah menggunakan tangan kanan atau kiri? Hal ini sebagaimana penjelasan dalam kitab Busyra al-Karim”:

(وَوَضْعُ يَدِهِ عَلَى فَمِهِ بِلاَ حَاجَةٍ)

:لِلنَّهْيِ الصَّحِيحِ عَنْهُ، وَلِمُنَافَاتِهِ لِهَيْئَةِ الْخُشُوعِ أَمَّا لِحَاجَةٍ… فَيُسَنُّ كَمَا (وَوَضْعُ يَدِهِ عَلَى فَمِهِ بِلاَ حَاجَةٍ) لِلتَّثَاؤُبِ؛ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ. وَهَلْ يَضَعُ الْيُمْنَى أَوِ الْيُسْرَى؟ قَالَ (م ر): الْيُسْرَى، وَ(حَجّ): يَتَخَيَّرُ، وَالسُّنَّةُ تَحْصُلُ بِكِلَيْهِمَا، سَوَاءٌ ظَهْرُ الْكَفِّ أَوْ بَطْنُهَا.

(Dan meletakkan tangan di mulut tanpa kebutuhan) adalah makruh, karena adanya larangan yang sahih tentang hal itu dan karena bertentangan dengan tampilan khusyuk dalam shalat.
Namun jika ada kebutuhan, seperti karena menguap, maka hal itu disunnahkan, berdasarkan hadis sahih tentangnya.

Apakah yang diletakkan tangan kanan atau kiri?

  • Menurut Imam ar-Ramli: tangan kiri.
  • Menurut Imam Ibnu Hajar: boleh memilih,
  • Dan sunnah tetap tercapai baik dengan bagian atas (punggung tangan) maupun bagian bawah (telapak tangan). [Sa‘īd bin Muḥammad Bā‘alī Bā‘ishn al-Daw‘anī al-Ḥaḍramī al-Syāfi‘ī, Syarḥ al-Muqaddimah al-Ḥaḍramiyyah al-Musammā Busrā al-Karīm bi-Syarḥ Masā’il al-Ta‘līm, (Jeddah: Dār al-Minhāj li al-Nasyr wa al-Tawzī‘, tanpa tahun). Hal. 282]

Kesimpulan hukum menguap

  1. Hukum Menguap dalam Salat
    Menguap saat salat hukumnya makruh, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam berbagai kitab, karena:
  1. Menguap berasal dari setan (HR. Muslim dan At-Tirmidzi).
  2. Mengganggu kekhusyukan dan merusak penampilan tubuh saat salat (Ibnu Hajar dan Ibn al-‘Arabi dalam Fath al-Bārī).
  3. Larangan Bersifat Umum atau Khusus?
    • Sebagian ulama memandang larangan ini berlaku umum (dalam dan luar salat), karena ia berasal dari setan (pendapat Imam Nawawi).
    • Namun, secara khusus dalam salat, kemakruhan lebih ditekankan karena salat menuntut sikap tenang dan khusyuk.
  4. Menutup Mulut Saat Menguap
    • Jika tanpa sebab, menutup mulut dalam salat makruh karena mengganggu bentuk kekhusyukan (Kitab Kāsyifah as-Sajā).
    • Namun jika karena menguap, maka disunnahkan menutup mulut.
  5. Dengan Tangan Mana?
    • Menurut ar-Ramli: tangan kiri lebih utama.
    • Menurut Ibnu Hajar al-Haitami: boleh memilih, kanan atau kiri.
    • Dan sunnah tetap tercapai, baik menggunakan telapak atau punggung tangan (Kitab Busyra al-Karīm).

Kesimpulan etika menguap dalam salat

  • Usahakan menahan menguap semampu mungkin.
  • Bila tak tertahankan, tutup mulut dengan tangan kiri, lebih baik dengan punggung tangan.
  • Hindari menutup mulut tanpa alasan dalam salat karena hal itu makruh dan mengganggu kekhusyukan.

Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here