Hadis tentang Siksaan Orang yang Tidak Mengamalkan Ilmunya
Ilmu merupakan karunia Allah yang sangat mulia. Jika dibandingkan dengan harta, tahta, dan popularitas, ilmu jauh lebih tinggi derajatnya. Dengan ilmu, seseorang akan memperoleh kemuliaan, baik di hadapan Allah maupun di hadapan sesama manusia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt., dalam surah al-Mujādalah ayat 11:
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujādalah: 11)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa ilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Karena itu, setiap muslim diwajibkan menuntut ilmu sebagaimana sabda Rasulullah Saw., yang sangat familiar:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibn Mājah, Darul ihya kutub Al arabiyah juz 1 hal 81 no. 224)
Kewajiban menuntut ilmu tidak berhenti pada proses belajar semata, tetapi juga mencakup pengamalan dari ilmu yang telah diperoleh. Dalam surah at-Taubah ayat 122, Allah Swt., berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi kaum mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Hendaklah dari tiap-tiap golongan di antara mereka ada sekelompok orang yang memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya agar mereka berhati-hati.” (QS. At-Taubah: 122)
Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu harus membawa manfaat dan diamalkan. Ilmu yang tidak diamalkan tidak akan bernilai di sisi Allah, bahkan dapat menjadi sebab turunnya azab. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ
“Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah orang berilmu yang tidak diberi manfaat oleh Allah dari ilmunya.” ( At-Ṭabarānī, al-Mu‘jam al-Kabīr, maktabah Al Islami Beirut juz 1 hal 305)
Menurut penjelasan ulama, maksud dari أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا bukan mencakup semua manusia, melainkan kelompok tertentu yang memiliki kesamaan dalam perbuatan dosa besar tersebut. Syaikh Muḥammad bin ‘Alī al-Wallawī dalam Dzakhīrat al-‘Uqbā fī Syarḥ al-Mujtabā menjelaskan:
ووجه التوفيق أن النَّاس الذين أُضيف إليهم أشدّ لا يُراد بهم كلّ نوع منْ النَّاس، بل بعضهم المشاركون فِي ذلك المعنى المتوعّد عليه بالعذاب، ففرعون أشدّ النَّاس المدّعين للإلهية عذابًا، ومن يُقتَدَى به فِي ضلالة كفره أشدّ ممن يُقتَدَى به فِي ضلالة بدعة
“Maksud dari perkataan ‘manusia yang paling berat siksanya’ bukan mencakup semua jenis manusia, tetapi hanya sebagian dari mereka yang memiliki kesamaan dalam makna yang diancam dengan azab itu. Maka, Fir‘aun adalah manusia yang paling berat siksanya di antara orang-orang yang mengaku sebagai tuhan; dan orang yang dijadikan panutan dalam kesesatan kekafirannya lebih berat siksanya daripada orang yang dijadikan panutan dalam kesesatan bid‘ah.” (al-Wallawī, Dzakhīrat al-‘Uqbā fī Syarḥ al-Mujtabā, jilid 18, hlm. 145)
Adapun makna عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ dijelaskan oleh al-Amīr al-Ṣan‘ānī dalam kitab al-Tanwīr Syarḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr sebagai berikut:
أشد الناس عذابًا يوم القيامة عالم لم ينفعه علمه لأنه لم يعمل أو لم يوفقه للانتفاع بعلمه لعدم النظافة وقبوله لنعمة الله عليه … وأنه عرف ما يضره وما ينفعه فعذب لتركه النافع من علمه به، وعذاب من ارتكب الضار مع علمه مضرته
“Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah seorang alim yang tidak bermanfaat ilmunya… karena ia mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya, tetapi ia meninggalkan yang bermanfaat dan melakukan yang berbahaya.” (Muhammad bin Ismail al-Ṣan‘ānī, al-Tanwīr Syarḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr, maktabah darussalam juz 2, hlm. 380)
Allah juga memberikan dua perumpamaan yang sangat keras bagi orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, yaitu seperti keledai dan anjing dalam firman-Nya:
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا
“Perumpamaan orang-orang yang dibebani Taurat kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar.” (QS. Al-Jumu‘ah : 5)
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ
“Maka perumpamaannya seperti anjing; jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya, ia menjulurkan lidahnya juga.” (QS. Al-A‘rāf : 176)
Hadis tentang siksaan bagi orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya ini memang berstatus lemah, karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama ‘Imārah ibn Maqsim yang dinilai matrūk oleh para ahli hadis. Namun, maknanya didukung oleh riwayat sahih lainnya. Al-Ḥākim meriwayatkan dalam al-Mustadrak dari Ibn ‘Abbās:
أشد الناس عذابًا يوم القيامة من قتل نبيًا أو قتله نبي والمصورون وعالم لم ينتفع بعلمه
“Orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah orang yang membunuh nabi atau dibunuh oleh nabi, para pembuat gambar (musawwirūn), dan seorang alim yang tidak mengambil manfaat dari ilmunya.” ( Al hakim naisaburi, Al mustadrok ala Shohihain, darul kutub Al ilmiyyah no hadis 2359)
Selain itu, terdapat hadis lain yang menunjukkan ancaman bagi orang yang menyembunyikan ilmu:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
“Barang siapa memiliki ilmu lalu menyembunyikannya, maka Allah akan memasang kekang dari api di mulutnya pada hari kiamat.” (Abu Dawud, Sunan abu Dawud ،darul ihya kutub Al ilmiyyah, juz 1 hal 97)
Al-Ṣan‘ānī menjelaskan maksud hadis ini:
من كتم علمًا عن أهله ألجم يوم القيامة لجامًا من نار… وهذا في العلم الذي يتعين عليه كمن رأى كافرًا يريد الإسلام…
“Barang siapa menyembunyikan ilmu dari orang-orang yang berhak menerimanya, maka pada hari kiamat Allah akan mengalungkan tali kekang ( semacam tali yang digunakan untuk mengendalikan kuda) dari api di mulutnya. Hal ini berlaku untuk ilmu yang wajib disampaikan, seperti ketika seseorang melihat orang kafir yang ingin memeluk Islam lalu tidak mengajarkannya.” (al-‘Azīzī, al-Sirāj al-Munīr Syarḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr, juz 2, hlm. 235)
Dari berbagai dalil tersebut, jelas bahwa ilmu dalam Islam bukan sekadar pengetahuan yang dihafal atau dibanggakan, tetapi amanah yang wajib diamalkan dan disampaikan. Orang yang berilmu namun tidak mengamalkan atau menyembunyikan ilmunya akan mendapat ancaman azab yang sangat berat.
Sebaliknya, orang yang mengamalkan ilmunya akan menjadi pelita dunia dan cahaya akhirat. Oleh karena itu, setiap muslim hendaknya berusaha agar ilmu yang dimilikinya menjadi manfaat bagi dirinya dan orang lain, sehingga ilmu tersebut menjadi cahaya di dunia dan penyelamat di akhirat.
Penulis: Muhammad Fatkhun Niam
Editor: Rara Zarary
- TAG