Hukum Ambil Barang Tanpa Izin dengan Niat Bayar Nanti
Fuad adalah seorang mahasiswa yang menjual gorengan di kampunsya. Cara dia berjualan adalah dengan menaruh gorengan dan kotak uangnya di kelas. Dia selalu meninggalkan gorengannya, karena sudah percaya pada anak kelasnya kalau beli pasti uangnya langsung ditaruh di kotaknya itu.
Dengan sering ditinggal, Fuad merasa ikhlas hanya kalau langsung dibayar, meskipun tidak tahu siapa saja yang beli. Tapi Fuad tidak rela kalau ada yang tidak bayar, dan ini sering terjadi, Fuad selalu kekurangan uangnya. Nah, sebut saja Jojon, dia adalah anak penggemar berat gorengannya Fuad. Meskipun tidak memiliki uang, dia pasti ingin selalu menikmatinya.
Jojon selalu mengambil gorengannya Fuad tanpa bayar, tapi dia sudah niat kalau nanti sudah punya uang, dia akan memlunasinya. Bulan depan ia sudah punya duit, Jojon mau melunasi, ternyata gorengan yang dia ambil ternyata sudah cukup banyak. Sehingga pas mau bayar ia merasa malu untuk bilang langsung ke Fuad mau bayar. Dia langsung saja menaruh uangnya di kotak tanpa sepengetahuan si Fuad.
Dalam kaca mata fikih, akad apa yang dilakukan oleh Jojon? Sejatinya dalam akad jual beli, selama ada kerelaan si penjual, ini sah. Bahkan jika gak bilang tiap kali, tapi sudah jadi kebiasaan atau ada pengertian, tetap sah menurut urf (kebiasaan yang diakui syariat). Oke, tapi masalahnya Fuad hanya rela kalau gorengannya itu dibayar, bukan “diutangi”.
Dalam kasus seperti ini, dalam kitab Majmu’ Syarh al- Muhadzab, orang yang mengambil barang tidak bayar tanpa izin dari penjual maka itu tidak diperbolehkan.
فَأَمَّا إذَا أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا وَلَمْ يُعْطِهِ شَيْئًا وَلَمْ يَتَلَفَّظَا بِبَيْعٍ بَلْ نَوَيَا أَخْذَهُ بِثَمَنِهِ الْمُعْتَادِ كَمَا يَفْعَلُهُ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ، فَهَذَا بَاطِلٌ بِلَا خِلَافٍ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِبَيْعٍ لَفْظِيٍّ وَلَا مُعَاطَاةٍ، وَلَا يُعَدُّ بَيْعًا، فَهُوَ بَاطِلٌ، وَلْنَعْلَمْ هَذَا وَلْنَحْتَرِزْ مِنْهُ، وَلَا نَغْتَرُّ بِكَثْرَةِ مَنْ يَفْعَلُهُ، فَإِنَّ كَثِيرًا مِنْ النَّاسِ يَأْخُذُ الْحَوَائِجَ مِنْ الْبَيَّاعِ مَرَّةً بَعْدَ مَرَّةٍ، مِنْ غَيْرِ مُبَايَعَةٍ وَلَا مُعَاطَاةٍ، ثُمَّ بَعْدَ مُدَّةٍ يُحَاسِبُهُ وَيُعْطِيهِ الْعِوَضَ، وَهَذَا بَاطِلٌ بِلَا خِلَافٍ، لِمَا ذَكَرْنَاهُ
Artinya: “Adapun jika seseorang mengambil suatu barang dari penjual, tanpa memberi imbalan apa pun, dan tanpa mengucapkan lafaz akad jual beli, hanya sekadar keduanya (pembeli dan penjual) berniat bahwa barang tersebut akan diambil dengan harga yang biasa berlaku—sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang—maka ini adalah akad yang batal tanpa ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama). Sebab hal itu bukan merupakan jual beli dengan lafaz (sighah), juga bukan merupakan jual beli dengan perbuatan (mu‘āṭāh), dan tidak dapat dianggap sebagai jual beli secara syar‘i, maka hukumnya batal. Kita harus mengetahui hal ini dan berhati-hati darinya, serta jangan tertipu hanya karena banyak orang yang melakukannya. Sebab banyak orang mengambil barang-barang dari penjual berkali-kali tanpa ada akad jual beli yang sah, baik secara lisan maupun perbuatan, lalu setelah sekian waktu ia menghitung dan membayar kepada penjual. Maka yang seperti ini adalah akad yang batal tanpa khilaf, sebagaimana yang telah kami sebutkan.” (Imam An-Nawawi, Majmu’ Syarh al- Muhadzab, bab buyu’, Maktabah Syamilah, cet, al—Munirah, hal. 163)
Ini mengkritik praktik umum orang ambil barang, niat bayar nanti, tanpa akad atau persetujuan jelas. Jadi, kalau Jojon ambil gorengan secara rutin tanpa ucapan, tanpa isyarat, tanpa perjanjian jelas, hanya karena penjual biasa diam aja ini sangat dilarang. Karena juga sangat mirip dengan praktik pencurian.
Dalam jual beli ada rukun-rukun yang harus diperhatikan, salah satunya adalah serah terima (qabd) yang sah dengan izin. Jika pembeli mengambil barang tanpa izin penjual sebelum membayar, maka pengambilannya tidak sah sebagai serah terima.
قَبْضُ الْمُشْتَرِي الْمَبِيعَ بِدُونِ إذْنِ الْبَائِعِ قَبْلَ أَدَاءِ الثَّمَنِ لَا يَكُونُ مُعْتَبَرًا إلَّا أَنَّ الْمُشْتَرِي لَوْ قَبَضَ الْمَبِيعَ بِدُونِ الْإِذْنِ وَهَلَكَ فِي يَدِهِ أَوْ تَعَيَّبَ يَكُونُ الْقَبْضُ مُعْتَبَرًا حِينَئِذٍ الْمَقْصُودُ مِنْ الثَّمَنِ هُنَا الْمُعَجَّلُ فَإِذَا قَبَضَ الْمُشْتَرِي الْمَبِيعَ بِدُونِ إذْنِ الْبَائِعِ قَبْلَ أَنْ يُؤَدِّيَ الثَّمَنَ إلَى الْبَائِعِ وَبَاعَهُ مِنْ آخَرَ أَوْ أَجَّرَهُ أَوْ رَهَنَهُ أَوْ وَهَبَهُ أَوْ تَصَدَّقَ بِهِ وَسَلَّمَهُ، أَيْ تَصَرَّفَ بِهِ تَصَرُّفًا قَابِلًا لِلنَّقْضِ وَالْفَسْخِ، فَلِلْبَائِعِ أَنْ يَنْقُضَ هَذِهِ التَّصَرُّفَاتِ وَأَنْ يَسْتَرِدَّ الْمَبِيعَ لِيَحْبِسَهُ حَتَّى قَبْضِ الثَّمَنِ.
Artinya: “Pengambilan barang oleh pembeli tanpa izin penjual sebelum membayar harga, tidak dianggap sah (tidak dianggap sebagai serah terima yang sah). Namun, jika pembeli telah mengambil barang tanpa izin lalu barang tersebut rusak atau cacat di tangannya, maka pengambilan itu tetap dianggap sah dalam konteks tanggung jawab, karena yang dimaksud dalam kasus ini adalah harga yang dibayar secara langsung (tunai). Maka, jika pembeli mengambil barang tanpa izin penjual sebelum membayar harga, lalu menjualnya kepada orang lain, menyewakannya, menggadaikannya, menghibahkannya, atau menyumbangkannya (artinya ia telah melakukan transaksi terhadap barang itu), yakni perbuatan yang secara hukum bisa dibatalkan atau dianulir, maka penjual berhak membatalkan transaksi-transaksi itu, dan berhak menarik kembali barang tersebut untuk menahannya sampai ia menerima pembayaran.” (kitab Fatawa asy-syibkah al-Islamiyyah, maktabah Syamilah, hal. 10709)
Kasus Jojon sebenarnya mencerminkan salah satu bentuk transaksi yang lazim terjadi dalam lingkungan sosial, terutama antar teman. Namun sering tidak disadari, itu menyalahi batasan fikih muamalah. Kepercayaan yang Fuad berikan pada teman-teman sekelasnya adalah bentuk mu‘āṭāh (jual beli tanpa lafaz, cukup dengan perbuatan yang menunjukkan adanya kerelaan dan pengertian). Namun, nyatanya bentuk ini hanya sah jika sesuai dengan syarat-syaratnya, yakni ada indikasi kerelaan dari kedua belah pihak saat transaksi berlangsung dan ada izin atau pengertian eksplisit maupun kebiasaan yang dimaklumi (‘urf). فَإِذَا ظَهَرَ وَالْقَرِينَةُ وُجُودُ الرِّضَى مِنْ الْجَانِبَيْنِ حَصَلَتْ الْمُعَاطَاة
Masalahnya, dalam hati Fuad, ia tidak rela gorengannya diambil tanpa pembayaran langsung. Ia tidak berniat untuk menjadikan jualannya sebagai bentuk “utang yang akan dibayar nanti”. Ia hanya merelakan jika gorengan langsung dibayar, dan ini penting dalam fikih karena kerelaan (ridha) adalah rukun dalam jual beli. Tanpa ridha, tidak ada akad yang sah.
Sedangkan Jojon, meski dalam hatinya berniat baik dan berencana melunasi, tetap saja mengambil sesuatu tanpa izin eksplisit, dan menjadikan hal itu sebagai utang tanpa sepengetahuan pemilik barang, yang dalam hal ini menyerempet pada wilayah ghashb (pengambilan tanpa hak) atau setidaknya jual beli batil, sebagaimana dikutip dari al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab oleh Imam an-Nawawi. Bahkan sekalipun ia membayar kemudian, transaksinya tetap tidak sah dan tergolong bentuk pengambilan yang dilarang.
Lebih parah lagi, jika orang seperti Jojon merasa ini hal biasa karena dilakukan banyak orang, ini justru telah dikritik keras oleh para ulama: kebiasaan buruk yang menyimpang tidak dapat dijadikan dasar kebolehan (‘urf). Bahwa banyak orang mengambil barang secara diam-diam lalu membayar belakangan bukan menjadikannya sah—sebaliknya, ulama menyebutnya sebagai amalan batil tanpa khilaf (kesepakatan ulama).
Juga ditegaskan dalam kutipan fikih bahwa jika seseorang mengambil barang sebelum membayar dan tanpa izin, lalu memperlakukan barang itu seakan miliknya (misalnya menjualnya, menghibahkannya, atau memberikannya ke orang lain), maka penjual berhak membatalkan semua transaksi tersebut dan menarik kembali barang itu hingga harga dibayar lunas.
Ini memperkuat bahwa dalam akad jual beli, pengambilan barang harus disertai izin penjual dan pembayaran (atau kesepakatan pembayaran). Praktik Jojon lebih dekat kepada ghashb (pengambilan secara sepihak) daripada muamalah yang sah, meskipun ia membayar kemudian. Karena bayaran yang ia lakukan bukan sebagai bentuk pelunasan atas hutangnya, melainkan tanggungan kepada Fuad karena telah berbuat zalim.
Penulis: Abil Qasim
Editor: Muh. Sutan