Waspada Sum’ah, Flexing Ibadah di Media Sosial
NU Online · Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:00 WIB
Ilustrasi umroh. Sumber: Canva/NU Online.
Kolomnis
Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Segala hal dapat dengan mudah dibagikan dan diakses, dari berita besar hingga hal-hal pribadi yang semestinya menjadi ranah privat.
Aktivitas sehari-hari, termasuk ibadah, sering kali diunggah dalam bentuk foto, video, atau cerita. Sebagian dilakukan dengan niat berbagi inspirasi, namun sebagian lainnya tidak disadari menjadi ajang flexing, pamer kebaikan untuk memperoleh pengakuan.
Fenomena ini membuka peluang munculnya penyakit hati bernama sum’ah, saudara dekat dari riya’ dan ujub. Ia muncul ketika seseorang menceritakan atau menampakkan amalnya dengan tujuan agar didengar dan dipuji orang lain. Sekilas terlihat sederhana, namun jika dibiarkan, dapat menggerogoti nilai keikhlasan dan menghapus pahala amal.
Baca Juga
Tasawuf Tanpa Thariqah sama dengan Nol
Secara bahasa, kata sum’ah berasal dari sami’a yang berarti “mendengar”. Dalam Umdatul Qari, dijelaskan:
وَمعنى: السُّمْعَة، التَّنْوِيهُ بِالْعَمَلِ وَتَشْهِيرُهُ لِيَرَاهُ النَّاسُ وَيَسْمَعُوا بِهِ
Artinya: “Sum’ah adalah menyebutkan atau menceritakan amal perbuatan dan mempublikasikannya supaya dilihat dan didengar oleh manusia,” (Badruddin al-‘Aini, Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari, [Beirut: Dar Ihyaut Turats al-Arabi, t.th.], juz XXIII, hal. 86)
Abu Thalib al-Makky menjelaskan lebih jauh dalam Qutul Qulub bahwa sum’ah muncul dari dorongan hawa nafsu dan lemahnya jiwa:
Baca Juga
Hubungan Syariat dan Tasawuf dalam Kajian Islam
كان العبد يسمع بعمله غير الله عزّ وجلّ ويحب أن يسمع به مخلوقاً ليمدحه به لغلبة هواه وضعف نفسه فيكون قد أشرك في عمله غير الله عزّ وجلّ
Artinya: “Seorang hamba memperdengarkan amal perbuatannya kepada selain Allah. Ketika ia menceritakannya kepada makhluk, tujuannya agar dipuji. Karena dominasi hawa nafsu dan lemahnya jiwa, ia pun telah menyekutukan Allah dalam perbuatannya,” (Qutul Qulub, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005], juz I, hlm. 113).
Perbuatan memperdengarkan amal kebaikan demi validasi adalah tanda hilangnya keikhlasan. Rasulullah SAW memberikan peringatan keras dalam hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ، وَمَنْ رَاءَى رَاءَى اللهُ بِهِ
Artinya: “Barang siapa memperdengarkan amalnya (agar dipuji), maka Allah akan memperdengarkan (aib) amalnya. Dan barang siapa berbuat riya’, maka Allah akan menampakkan (niat buruk) amalnya,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Riya’ dan sum’ah memang mirip: keduanya lahir dari dorongan untuk dipuji manusia. Bedanya, riya’ berkaitan dengan penglihatan (ingin dilihat), sedangkan sum’ah berkaitan dengan pendengaran (ingin didengar). Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan:
الرياء مشتق من الرؤية... والسمعة مشتقة من السمع... والمراد بها نحو ما في الرياء لكنها تتعلق بحاسة السمع والرياء بحاسة البصر
Artinya: “Riya’ berasal dari kata ru’yah (melihat), yakni menampilkan ibadah agar dilihat orang lain. Sementara sum’ah berasal dari sami’a (mendengar), memiliki makna serupa dengan riya’, hanya saja terkait pendengaran,” (Ahmad bin Hajar al-Haitami, Fathul Bari, [Beirut: Darul Ma‘rifat, 1379 H], juz XI, hal. 336)
Dalam konteks kekinian, riya’ dan sum’ah sering muncul dalam bentuk soft flexing. Misalnya memamerkan momen ibadah umrah, sedekah, atau aktivitas sosial di media sosial tanpa memperhatikan niat. Alih-alih niat memotivasi, namun dalam hati terselip rasa bangga karena banyak yang memuji. Di sinilah batas tipis antara syiar dan sum’ah.
Meski demikian, tidak semua bentuk penceritaan kebaikan termasuk sum’ah. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya: “Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka nyatakanlah (sebagai bentuk syukur),” (QS. Ad-Dhuha [93]: 11)
Menampakkan nikmat Allah, termasuk melalui amal baik, dapat menjadi bentuk syukur jika diniatkan untuk kebaikan. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menegaskan:
وفي الحديث استحباب إخفاء العمل الصالح لكن قد يستحب إظهاره ممن يقتدى به
Artinya: “Dalam hadits, disunnahkan menyembunyikan amal saleh. Namun, terkadang disunnahkan pula menampakkannya bila ada yang berpotensi meniru amal tersebut atas dasar niat yang benar,” (Fathul Bari, [Beirut: Darul Ma‘rifat, 1379 H], juz XI, hlm. 337).
Artinya, niat menjadi kunci utama. Flexing ibadah bisa bernilai pahala bila diniatkan untuk memberi teladan atau menginspirasi. Namun bisa juga menjadi dosa bila dilakukan semata-mata demi validasi dan pujian. Tidak ada orang lain yang benar-benar tahu niat seseorang selain dirinya sendiri.
Bagi masyarakat modern yang hidup di tengah budaya pamer dan pengakuan digital, menjaga keikhlasan menjadi tantangan besar. Media sosial sering memaksa kita untuk menunjukkan “versi terbaik” dari diri sendiri. Di sinilah pentingnya mengingat pesan Nabi SAW: amal yang tulus adalah amal yang tak bergantung pada pandangan manusia.
Flexing ibadah tidak selalu buruk. Jika diniatkan untuk menebar inspirasi dan mengajak orang lain pada kebaikan, itu bagian dari dakwah. Tetapi jika tujuannya hanya untuk dipuji, itulah sum’ah yang harus dihindari. Kuncinya sederhana, yaitu tanyakan pada hati, apakah kita ingin Allah yang melihat, atau manusia yang memuji? Wallahu a’lam bishawab.
Ustadz Muhammad Zainul Mujahid, alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, mengabdi di Pondok Pesantren Manhalul Ma’arif Lombok Tengah.