Pandangan Imam al-Ghazali tentang Kemuliaan Mengajar dan Politik Memperbaiki Jiwa Manusia - Lirboyo

Central Informasi
By -
0

 

Pandangan Imam al-Ghazali tentang Kemuliaan Mengajar dan Politik Memperbaiki Jiwa Manusia - Lirboyo


Dalam kitab monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali punya pandangan yang sangat menarik tentang pekerjaan paling mulia di dunia. Menurut beliau, tak ada profesi yang lebih tinggi derajatnya daripada mengajarkan ilmu.

Tapi sebelum sampai ke sana, Imam al-Ghazali lebih dulu bicara soal apa yang ia sebut sebagai politik dalam memperbaiki manusia—bukan politik dalam arti rebutan kursi, tapi dalam arti membimbing orang ke jalan yang lurus dan menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Nah, menurut beliau, “politik” ini terbagi menjadi empat tingkatan.

Baca juga: Makna dan Peristiwa Penting di Bulan Jumadil Awal

  1. Yang pertama, dan paling tinggi, adalah politik para nabi. Para nabi bukan cuma memimpin secara lahiriah, tapi juga menata batin manusia—baik orang biasa maupun yang istimewa.
  2. Tingkat kedua adalah politik para khalifah, raja, dan sultan. Mereka memimpin juga, tapi hanya sebatas urusan lahiriah, tidak sampai menyentuh batin manusia.
  3. Lalu, di tingkat ketiga ada politik para ulama—mereka yang mengenal Allah dan ajaran-Nya dengan sungguh-sungguh. Ulama disebut sebagai pewaris para nabi. Tapi kepemimpinan mereka hanya sampai pada batin kalangan khusus, karena mereka tidak punya wewenang untuk mengatur urusan lahiriah masyarakat lewat hukum atau kekuasaan.
  4. Dan terakhir, yang keempat, adalah politik para penceramah, para pengingat, yang berperan membimbing hati orang-orang awam.

Baca juga: Tahun Baru Hijriah: Sejarah, Penetapan, dan Makna Hijrah

Mengajar: Profesi yang Menyentuh Langit

Dari empat tingkatan itu, kata Imam al-Ghazali, yang paling mulia setelah kenabian adalah mengajar ilmu, sebab di situlah letak upaya memperbaiki jiwa manusia—membersihkannya dari akhlak buruk yang bisa menjerumuskan, dan menuntunnya kepada akhlak baik yang membawa kebahagiaan sejati. Itulah hakikat dari pengajaran menurut beliau.

Baca juga: Hari Santri Nasional: Mari Renungkan Perjuangan Pesantren Lirboyo di Masa Penjajahan

Tiga Tolok Ukur Kemuliaan Profesi

Lalu, kenapa profesi ini disebut paling utama? Al-Ghazali menjelaskan, kemuliaan suatu pekerjaan bisa dilihat dari tiga hal.

  1. Dari kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk melakukannya. Misalnya, akal lebih mulia daripada pendengaran, karena dengan akal kita memahami kebijaksanaan, sedangkan dengan telinga hanya mendengar bahasa.
  2. Dari seberapa luas manfaatnya. Seperti pertanian yang lebih mulia daripada pertukangan emas, karena hasilnya memberi manfaat bagi lebih banyak orang.
  3. Dari seberapa mulia objek yang dikelola. Misalnya, tukang emas lebih mulia daripada penyamak kulit, sebab yang satu bekerja dengan logam mulia, sementara yang lain dengan kulit bangkai.

Baca juga: Biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: Wafatnya Sang Quthb al-Ghauts

Guru dan Amanah Akal

Nah, kalau ilmu agama kita lihat dari tiga sisi itu, semuanya unggul. Ia hanya bisa dicapai dengan kesempurnaan akal dan kejernihan hati—dan akal, kata beliau, adalah bagian paling mulia dari diri manusia, karena dengan akal itulah kita bisa memikul amanah Allah dan mendekat kepada-Nya.

Mengajar, Ibadah dan Kekhalifahan

Manfaatnya pun luar biasa luas: buah dari ilmu agama adalah kebahagiaan akhirat.
Dan objeknya? Tak ada yang lebih mulia, karena guru atau pengajar ilmu berurusan langsung dengan hati dan jiwa manusia—bagian paling istimewa dari makhluk paling mulia di bumi. Guru berusaha membersihkan hati itu, menyempurnakannya, dan menuntunnya mendekat kepada Allah.

Jadi, menurut Imam al-Ghazali, mengajar bukan sekadar profesi. Dari satu sisi, ia adalah ibadah kepada Allah; dari sisi lain, ia adalah bentuk menjalankan kekhalifahan Allah di bumi. Bahkan, ini adalah bentuk kekhalifahan yang paling agung, sebab Allah telah membuka hati sang alim dengan ilmu—yang merupakan sifat paling khusus dari sifat-sifat-Nya. Maka, seorang alim itu bagaikan penjaga harta karun yang paling berharga dari khazanah Ilahi.

Referensi:

Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī al-Ṭūsī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, t.t.), vol. 1, h. 13.

Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default