Menyambut Rajab dengan Kesadaran, Bukan Sekadar Kebiasaan - Tebuireng
Menyambut Rajab dengan Kesadaran, Bukan Sekadar Kebiasaan

Saat hilal Rajab muncul, kita seringkali terjebak dalam euforia yang bersifat seremonial. Kita sibuk membagikan jadwal puasa, ucapan selamat, atau doa-doa panjang di grup percakapan, namun sering kali hati kita tertinggal di belakang. Menyambut Rajab seharusnya bukan sekadar mengikuti kalender atau menjalankan kebiasaan turun-temurun tanpa makna. Rajab adalah sebuah panggilan untuk bangun dari tidur panjang spiritual kita. Kesadaran sejati dimulai ketika kita bertanya pada diri sendiri, apakah Rajab kali ini hanya akan menjadi angka yang lewat, atau ia akan menjadi titik balik bagi jiwa yang merindukan Tuhannya?
Menyambut bulan-bulan mulia seperti Rajab dengan kesadaran berarti memahami kemuliaan waktu yang Allah berikan. Imam Al-Ghazali menekankan bahwa orang yang beribadah hanya karena kebiasaan tanpa kesadaran akan hakikat bulan Allah hanya akan mendapatkan lelah secara fisik. Sebab kesadaran adalah mesin utama yang mengubah rasa lapar saat puasa menjadi nutrisi bagi ruh, dan mengubah ucapan istighfar menjadi getaran yang meruntuhkan kesombongan batin. Dalam Ihya’ Ulumuddin beliau mengingatkan bahwa nilai sebuah ibadah terletak pada kehadiran hati.
Dalam literatur klasik, Rajab sering dijuluki sebagai Al-Syahrul Ashamm (bulan yang tuli). Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Al-Ghunyah menjelaskan bahwa julukan ini diberikan karena pada bulan ini tidak terdengar denting pedang atau suara peperangan. Secara maknawi bagi kita saat ini, menyambut Rajab dengan kesadaran berarti menulikan telinga dari kebisingan duniawi dan konflik ego demi mendengar suara nurani. Kesadaran ini menuntut kita untuk menciptakan gencatan senjata dengan diri sendiri, berhenti menyalahkan keadaan, dan mulai fokus memperbaiki hubungan pribadi dengan Sang Pencipta.
Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Lathaif Al-Ma’arif menekankan bahwa Rajab adalah kunci dari bulan-bulan berikutnya. Beliau menggambarkan bahwa jika seseorang tidak memiliki kesadaran untuk bersiap di bulan Rajab, maka ia akan kesulitan meraih keberkahan di bulan Ramadan. Kesadaran ini digambarkan sebagai proses membersihkan ladang. Jika ladang hati tidak dibersihkan dari semak belukar kelalaian di bulan Rajab, maka benih ketaatan yang ditanam di bulan Ramadan tidak akan tumbuh subur. Kesadaran inilah yang membedakan antara seorang pengikut tradisi dan seorang pencari kebenaran.
Kesadaran dalam menyambut Rajab berakar pada penghormatan terhadap apa yang telah dikuduskan oleh Allah dalam Al-Qur’an:
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa mengagungkan syiar Allah mencakup juga memuliakan waktu-waktu yang telah ditetapkan-Nya sebagai bulan haram. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’anil ‘Adhim menekankan bahwa pengagungan ini harus lahir dari ketakwaan hati, bukan sekadar gerakan fisik atau ucapan lisan. Kesadaran untuk memuliakan Rajab sebagai syiar Allah berarti mengakui otoritas Tuhan atas waktu kita dan menunjukkan rasa hormat dengan meningkatkan kualitas ketaatan serta menjauhi segala bentuk kezaliman.
Ulama Nusantara kita, Syekh Nawawi Al-Bantani, dalam berbagai syarahnya sering mengingatkan agar umat Islam tidak terjebak pada jumlah rakaat atau hari puasa semata, melainkan pada kualitas batin. Kesadaran yang beliau tekankan adalah tentang shidiq (kejujuran) dalam beribadah. Apakah kita berpuasa Rajab karena ingin terlihat saleh, atau karena benar-benar sadar bahwa jiwa kita sedang haus akan ampunan Allah? Syekh Nawawi mengajak kita untuk menjadikan Rajab sebagai madrasah kejujuran, tempat di mana kita mengakui segala belang di hati kita sebelum memasuki bulan suci Ramadan.
Menyambut Rajab dengan kesadaran juga mencakup dimensi sosial. Kita tidak bisa mengaku sadar secara spiritual jika lisan kita masih tajam menyakiti orang lain atau jika hati kita masih menyimpan dendam. Mengingat Rajab adalah bulan kedamaian, kesadaran ini seharusnya mewujud dalam upaya rekonsiliasi. Meminta maaf dan memaafkan adalah bentuk amal Rajab yang paling nyata. Dengan membersihkan hubungan sesama manusia, kita sedang mempermudah jalan bagi doa-doa kita untuk menembus langit di bulan yang mulia ini.
Bagaimana cara praktis mengubah rutinitas menjadi kesadaran? Bisa memulai dengan menetapkan satu target perubahan karakter yang spesifik di bulan Rajab ini. Misalnya, berkomitmen untuk tidak berbohong, atau menjaga lisan dari ghibah. Gunakan setiap istighfar yang kita ucapkan sebagai pengingat akan satu kesalahan tertentu yang ingin kita perbaiki. Dengan menghubungkan setiap ibadah dengan niat perbaikan diri yang konkret, kita sedang mempraktikkan seni kesadaran yang diajarkan oleh para ulama klasik, sehingga Rajab tidak lagi lewat begitu saja tanpa bekas.
Denagn demikian, Rajab adalah cermin yang Allah letakkan di hadapan kita. Ia hadir bukan untuk menambah beban kewajiban kita, melainkan untuk memberi kesempatan bagi jiwa untuk beristirahat dari keriuhan dunia yang melelahkan. Mari kita sambut bulan ini dengan napas yang lebih tenang dan hati yang lebih terbuka. Tak perlu tergesa-gesa melakukan banyak hal, cukup lakukan satu hal kecil namun dengan kesadaran penuh bahwa kita sedang berada di “Bulan Allah”. Semoga Rajab tahun ini tidak hanya meninggalkan sisa lapar dan haus, melainkan meninggalkan bekas cahaya kesadaran yang akan memandu kita hingga bertemu Ramadan nanti.
Penulis: Silmi Adawiya, Mahasiswa S3 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
- TAG