Musibah Besar Jika Bukan Ahlinya Berfatwa
Salah satu kekeliruan beragama adalah bila persoalan agama ditanyakan kepada orang yang tidak tepat. Termasuk bertanya kepada orang alim yang ditanya seputar hal-hal yang tidak diketahuinya, namun nekad memberikan jawaban. Habib Ali al-Jufri menyoroti bahwa seorang mufti semestinya mendalami realita dari persoalan yang ditanyakan kepadanya.
Penulis buku Al-Insaniyah Qabla at-Tadayun (Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan) ini mengatakan bahwa seorang mufti tidak diperbolehkan menurut syariat, menetapkan hukum atas realita yang berubah-ubah sebelum betul-betul memahaminya.
"Apabila dia mengeluarkan fatwa atas suatu realita namun dia sendiri tidak mengetahui detail-detailnya, maka dia berdosa," terang beliau.
Dalam pernyataan yang dimuat Sada al-Balad, pemilik nama lengkap Sayyid Al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri ini menerangkan bahwa seorang mufti harus memiliki dan menguasai instrumen metodologi yang dapat ia gunakan untuk melakukan pembaharuan fatwa bilamana terdapat faktor kebutuhan untuk harus memperbarui fatwa. "Karakter fatwa itu terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan, di samping ada perkara-perkara tsawabit (paten dan absolut) yang tidak dapat diijtihadi," jelas murid Habib Umar bin Hafiz ini.Pendiri sekaligus pemimpin Tabah Foundation ini mengajak kaum muslimin agar meminta fatwa dari para spesialis dan pakar di bidang mereka masing-masing. Meminta fatwa kepada orang yang tidak kapabel di bidangnya justru akan memunculkan fatwa-fatwa yang kontradiktif dan mengarah kepada bencana dan petaka."Fatwa-fatwa terkait dunia medis dan kedokteran, harus merujuk kepada para dokter spesialis," tandas beliau. Pendakwah sunni kelahiran Jeddah Arab Saudi ini mengingatkan bahwa Allah swt. memerintahkan kita untuk melakukan ikthiar dan usaha, dan melarang siapa saja mengeluarkan fatwa tentang masalah terkait kesehatan, lingkungan atau lainnya kecuali sesudah merujuk kepada para pakar yang menguasai bidang tersebut."Barang siapa berfatwa dalam hal itu tanpa merujuk kepada pakar dan spesialis di bidang terkait, telah menyalahi perintah Allah," ujar beliau.Menurut Habib Ali al-Jufri, kaum muslimin sekarang hidup di tengah dua bahaya ekstremisme. Muncul pandangan ekstrem yang memanfaatkan fatwa sebagai alat untuk menguasai dan mengarahkan manusia untuk menebarkan kebencian, permusuhan dan kejahatan.Sebaliknya, ada bentuk ekstremisme lain yang berasal dari ceruk yang sama. Ada kampanye yang mengajak untuk mencerabut fatwa dari akarnya, menganggap fatwa sebagai bentuk dominasi absolut, dan menyatakan bahwa setiap orang secara bebas berhak mengambil apa yang dia sukai.Kenyataan di atas, dalam pandangan Habib yang lebih suka berdakwah di kampus dan forum ilmiah ini, dapat dilihat dalam fatwa-fatwa keagamaan terkait pandemi Covid-19. Ada fenomena ekstremisme yang menolak segala bentuk protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus dan membantah perintah Allah untuk berikhtiar melakukan pencegahan. Pada saat bersamaan, ada bentuk ekstremisme lain yang mengesankan untuk tidak berlebihan dalam urusan ibadah seperti shalat dan jamaah di masjid sementara terjadi banyak kerumunan dengan pelbagai macam bentuknya."Padahal agama Islam menyuruh bersikap adil dalam bersikap," terang beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar