Perbedaan Akad Salam dan Istishna' dalam Fiqih Muamalah
Dalam fiqih muamalah kita mengenal dua transaksi yang sekilas sama, namun ternyata sebenarnya jauh berbeda. Yakni transaksi akad salam dan istishna’. Keduanya dalam bahasa transaksi sering disebut “pesanan”.
Jika seseorang menelpon toko bangunan dan memesan beberapa bahan bangunan seperti besi, paku, semen dan seterusnya, dalam fiqih disebut transaksi salam. Berbeda jika seseorang menelpon tukang mebel dan memesan atau meminta agar dibuatkan lemari, tanpa perlu repot mengurusi bahan dan seterusnya, maka transaksi ini disebut istishna’. Sampai di sini, tampak jelas perbedaan keduanya.
Lebih detail kita kaji satu persatu kedua transaksi di atas.
Definisi dan Ketentuan Akad Salam
Salam atau salaf dalam istilah lain, adalah melakukan transaksi pada barang yang belum ready stock di hadapan pemesan/pembeli dengan menyebutkan spesifikasinya secara jelas dan detail. Dalam buku-buku fiqih klasik salam disebut maushufun fid dzimmah. Dalam buku Fikih Online Shopping, Doni Ekasaputra, santripreneur peraih penghargaan Santri of The Year 2024, menulis gambaran transaksi salam sebagai berikut:
“Pembeli memesan produk yang hendak dibelinya kepada penjual dengan menyebutkan spesifikasinya secara rinci dan jelas. Tujuannya agar tidak terjadi mispersepsi yang berujung pada kerugian pada salah satu pihak.” (Ekasaputra, 5).
Adapun syarat dan ketentuan akad salam, seperti yang ditulis Ibnu Qasim Al-Ghazi (859 H-918 H) dalam Syarhu Fathil Qarib Al-Mujib, sebagai berikut:
- Menyebutkan spesifikasi barang dengan baik. Hal ini bertujuan agar barang yang dipesan menjadi jelas, sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam mengindentifikasi barang pesanan tersebut.
- Barang pesanan tidak boleh berupa barang campuran yang tak terukur komposisinya. Seperti memesan ma’jun (semacam bubur) yang bercampur harisah (semacam adonan) yang tak jelas ukuran komposisinya. Beda lagi jika kadar keduanya terukur dengan jelas.
- Barang pesanan tidak mengalami perubahan lantaran bersentuhan dengan api, seperti dengan cara dimasak atau dipanggang. Karenanya, jika ingin membeli makanan yang cara pembuatannya demikian, maka menggunakan transaksi jual beli, tidak dengan akad salam.
- Barang pesanan harus berada dalam tanggung jawab si penerima pesanan (muslam ilaih) dalam mewujudkan pesanan tersebut. Berarti spesifikasi barangnya jelas, tapi belum ditentukan wujudnya. Karenanya, jika telah ditentukan atau ditunjuk barang yang akan dipesan, akad salam tidak sah.
- Barang pesanan juga tidak boleh ditentukan atau ditunjuk dari tumpukan barang yang telah jelas di depan mata si pemesan (muslim).
- Barang pesanan harus diserahkan sesuai pesanan dan pada waktu yang telah disepakati. Karenanya barang tidak boleh diganti dengan barang berbeda dari ketentuan, walaupun dengan merek yang sama.
- Waktu serah terima barang harus jelas dan disepakati sejak awal. Karenanya, tak sah jika penentuan waktunya dengan kalimat, “sampai suamiku pulang dari negeri jiran, Malaysia”.
- Tempat penyerahan barang harus jelas sejak awal.
Definisi dan Ketentuan Akad Istishna’
Istishna’ diambil dari kata istashna’a, yastashna’u, istishna’an, yang bermakna meminta untuk dibuatkan sesuatu. Akad istishna’ memang sekilas mirip dengan akad salam. Semuanya bermuara pada makna pemesanan barang.
Praktik istishna', seseorang meminta agar dibuatkan suatu barang, semacam kerajinan tangan, misalnya, kepada orang yang memiliki kemampuan membuatnya, yang dibuat dengan cara tertentu, sedang bahan-bahannya bersumber dari si pengrajin/as-shani’. Pengertian ini disampaikan oleh Musthafa Al-Khin, Musthafa Al-Bugha dan Ali As-Syarbaji. (Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], juz VI, halaman 59).
Kedua transaksi di atas adalah transaksi yang nyaris sama. Sampai-sampai penulis Al-Fiqhul Manhaji mengatakan bahwa jika seseorang bertransaksi istishna’, namun semua syarat-syarat transaksi salam terpenuhi, maka transaksinya sah sebagai transaksi salam.
ونستطيع أن نقول: إذا انطبقت عليه شروط عقد السلم التي مرّ ذكرها من ضبطه بالوصف وضبط ما يدخل فيه من مواد ومن تحديد الأجل لتسليمه وتسليم ثمنه في مجلس العقد، إلى غير ذلك من شروط استطعنا أن نحكم بصحته على أنه عقد سلم وإن جرى بلفظ البيع لأن العبرة في العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني
Artinya, “Dapat kita katakan bahwa, jika semua syarat dalam transaksi salam terpenuhi, seperti menyebutkan spesifikasinya secara rinci, spesifikasi bahan-bahan pembuatannya, menentukan waktu serah terima dan melakukan pembayaran di majelis akad, dan syarat-syarat lainnya, maka akadnya sah sebagai akad salam. Walaupun redaksi akadnya menggunakan jual beli. Karena yang diperhitungkan dalam akad adalah substansinya, bukan redaksi dan formatnya.” (Musthafa Al-Khin dkk., VI/59).
Berbeda jika dalam transaksi tersebut tidak terpenuhi syarat-syarat salam. Justru saat itulah ia masuk dalam kategori istishna’. Dalam Al-Fiqhul Manhaji disebutkan:
وإذا لم تنطبق شروط السلم على العقد وهذا هو الغالب في تعامل الناس إذ أننا لا نجد مَن يدفع الثمن كله عند التعاقد ولا يعرف أحد عنده أيضاً ما يدخل في البناء من مواد الصنع كان ذلك عقد استصناع واعتبر العقد صحيحاً طالما أن الناس يتعاملون بهذا شريطة أن توضّح مواصفات البناء عند التعاقد بحيث لا تبقى جهالة تؤدي إلى النزاع أن لا يكون في ذلك شيء من الشروط الباطلة والفاسدة التي لا توافق شرع الله تعالى وقد تعود على العقد بالبطلان
Artinya, “Namun, jika tak terpenuhi syarat-syarat salam di dalamnya-dan inilah yang umumnya terjadi di tengah masyarakat-mengingat, kami sendiri belum pernah menemukan seseorang yang meminta agar dibuatkan suatu barang dan telah melunasi semua pembayaran saat bertransaksi, di samping ia tak mengerti apapun soal bahan pembuatan barang tersebut. (Jika hal ini terjadi), barulah transaksinya sah sebagai istishna’.
Selama kedua belah pihak telah menyebutkan spesifikasi bangunan (dalam kasus proyek bangunan) saat bertransaksi. Demi agar tidak menimbulkan perselisihan. Tentu saja dalam transaksi tersebut tak ditemukan syarat-syarat yang bertentangan dengan spirit syariat Islam. Jika demikian, transaksinya terancam batal.” ([Musthafa Al-Khin, dkk. VI/59).
Melihat detail penjelasan, akad istishna’ lebih praktis dibanding salam. Selain itu, istishna’ lebih berorientasi pada memesan pembuatan barang dari awal, dari sebelumnya yang belum ada menjadi ada. Sedangkan salam lebih umum. Baik barang yang belum jadi maupun sudah jadi, bisa masuk dalam akad salam. Wallahu a'lam.
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Situbondo, tinggal di Lombok Tengah, NTB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar