Romadhon
Rubu': Seperangkat Alat Sederhana untuk Memantau Hilal di Pesisir Kenjeran Surabaya
Sore hari jelang jatuhnya 1 Ramadan 1446 Hijriah, daerah pesisir Kenjeran, Surabaya sudah seperti biasa diselingi deru ombak yang menghantam bibir pantai. Di sana, terdapat sebuah tradisi unik yang masih hidup dan terjaga dengan penuh khidmat.
Pengurus serta umat Masjid Al-Mabrur, yang terletak di Jalan Cumpat, Kecamatan Bulak, Surabaya, menjadi saksi dari sebuah lorong waktu, yang menghubungkan masa lalu dan masa kini. Di tempat itulah, alat sederhana bernama rubu', tetap dipergunakan untuk melakukan pengamatan atau rukyatul hilal, yang menjadi penanda awal bulan dalam penanggalan kalender Islam.
Saat fajar sang surya perlahan mulai kembali kepangkuannya di ufuk barat, takmir Masjid Al-Mabrur, K.H. Mas'dui Ahyat, dengan tenang menuntun langkahnya menggunakan alat yang tampak sangat sederhana.
Alat yang digunakannya bukanlah teropong canggih, yang dapat dengan mudah memantau pergerakan hilal atau anak bulan yang jaraknya sangat jauh dari daratan, melainkan rubu', sebuah perangkat kayu dengan besi, yang berbentuk lingkaran.
Meski tak tampak mencolok seperti teleskop, binokuler, monokuler, dan teodolit, rubu' menyimpan banyak makna yang mendalam. Bentuknya yang khas—seperempat lingkaran yang tegak dan setengah lingkaran horizontal yang terpasang pada sebuah papan kayu, memiliki peran yang sangat vital, menjelang awal dan berakhirnya bulan Ramadan sejak tahun 1980an silam.
Baca Juga
"Yang tegak ini untuk melihat ketinggian hilal, sedangkan yang tidur ini untuk arah, jadi titik barat posisi hilalnya nanti berada di dekat benangnya, hitungannya gesernya harus tepat 6 derajat," ujar Mas'dui di sela-sela kegiatan rukyatul hilal, Jumat 28 Februari 2025.
Alat yang terbuat dari kayu dan besi ini tak hanya berfungsi sebagai penunjuk arah atau ketinggian bulan. Di balik bentuknya yang sederhana, rubu' adalah simbol dari ketelatenan dan kearifan lokal masyarakat pesisir Kenjeran yang telah lama menjaga tradisi.
Baca Juga
Ketika langit cerah dan bebas polusi, Mas'dui menyebutkan bahwa rubu' dengan mudah dapat menunjuk hilal yang muncul. Namun, seperti hari ini, seluruh wilayah Surabaya Raya ditutupi awan tebal dan langit mendung yang menghalangi pandangan.
"Mulai saya baru digunakan rubu' ini ya sekitar tahun 1980an, itu dulu di sini (Masjid Mabrur) langitnya kan masih cerah dan enggak ada polusi jadi kelihatan (hilalnya). Hari ini tertutup mendung," paparnya.

Meski alat-alat astronomi sudah berkembang dengan teknologi yang canggih, rubu' tetap tidak telan zaman dan menjadi saksi yang setia selama lebih dari 40 tahun lamanya, meskipun anak bulan tidak tampak jelas karena berbagai faktor alam yang terjadi.
Seperti halnya deburan ombak yang tak pernah berhenti bergulung, penggunaan rubu' mengingatkan masyarakat bahwa teknologi tinggi tidak selalu menjadi solusi untuk memahami alam.
Terpampang dengan nyata, pengurus dan umat Masjid Al-Mabrur, Bulak, Surabaya, masih menggunakan alat sederhana ini. Mereka menjadi penjaga dari sebuah tradisi, yang akan menghubungkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
0 Like
Tidak ada komentar:
Posting Komentar