Romadhon
Boh Roem-Roem, Harmoni dalam Kuliner Aceh di Bulan Ramadhan
Bireuen, NU Online
Ketika azan Maghrib berkumandang di langit Aceh, suasana Ramadhan terasa begitu syahdu. Di setiap rumah, meja makan mulai dipenuhi aneka hidangan khas untuk berbuka puasa. Di antara banyak pilihan, ada satu sajian tradisional yang tetap bertahan melintasi zaman, yakni boh roem-roem.
"Lebih dari sekadar makanan, boh roem-roem adalah simbol kebersamaan dan warisan budaya yang mengajarkan banyak makna kehidupan. Hidangan ini menjadi pengingat akan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh, seperti persatuan, kesederhanaan, dan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah, " ujar Tgk Muhammad Aminullah kepada NU Online, Jumat,(7/3/2025)
Menurutnya, masakan boh roem-roem sudah ada sejak masa kesultanan Aceh. Kala itu, masyarakat yang hidup dekat dengan alam memanfaatkan hasil kebun mereka untuk membuat sajian berbuka yang sederhana namun penuh makna.
"Dulu, orang kampung bawa buah hasil panen ke meunasah. Semua dicampur, dimasak bareng, lalu disantap sama-sama saat berbuka. Ini bukan sekadar tradisi, tapi simbol kebersamaan," ungkapnya.
Doktor lulusan UIN Sumatra Utara itu mengatakan proses memasaknya unik. Kebiasaan ini mempererat hubungan antarwarga, memperkuat rasa persaudaraan, dan menjadi momen saling berbagi cerita setelah seharian berpuasa.
"Masyarakat Aceh punya cara unik merayakan Ramadhan. Kebiasaan memasak boh roem-roem ini jadi sarana mempererat ukhuwah islamiyah. Saat semua orang berkontribusi, ada rasa kebahagiaan yang tidak bisa digantikan," tambahnya.
Lebih lanjut, Tgk Muhammad Aminullah menjelaskan bahwa boh roem-roem mengajarkan kita bahwa keberkahan bukan hanya tentang berlimpahnya materi, melainkan tentang bagaimana kita menghargai yang sederhana dan saling berbagi.
"Di bulan penuh ampunan ini, seporsi boh roem-roem bukan sekadar pelepas dahaga, tetapi juga simbol cinta, kasih sayang, dan harapan bahwa masyarakat Aceh akan terus hidup rukun dalam keberagaman
Filosofi dalam seporsi boh roem-roem
Lebih dari sekadar kuliner, boh roem-roem menyimpan filosofi yang dalam. Tgk Iswadi, yang akrab disapa Abah Laweung, Pimpinan Dayah Ma'had Darul Ikhlas Al-Aziziyah (MADAH) Gampong Pulo Drien, Simpang Mamplam, Bireuen, menjelaskan bahwa hidangan ini mencerminkan kehidupan bermasyarakat yang penuh keberagaman.
"Setiap buah punya karakter sendiri. Ada yang manis, ada yang sedikit asam, tapi saat dicampur, semuanya jadi enak. Ini pelajaran hidup, kalau kita bersatu, perbedaan justru memperkaya kita," jelasnya.
Keanekaragaman buah dalam satu panci menggambarkan bagaimana masyarakat yang berbeda latar belakang bisa hidup harmonis jika saling menghargai. Manisnya gula aren melambangkan kebaikan, sedangkan gurihnya santan menciptakan keseimbangan rasa, mengingatkan bahwa hidup butuh harmoni antara kebahagiaan dan ujian.
"Boh roem-roem itu sederhana, tapi nikmat. Ini pengingat buat kita bahwa keberkahan Ramadan terletak pada rasa syukur, bukan pada kemewahan," tambah Wakil Rais Syuriah PCNU Bireuen itu.
Di banyak kampung di Aceh, tradisi memasak boh roem-roem secara gotong royong masih lestari hingga kini. Biasanya, warga berkumpul di meunasah menjelang berbuka, membawa buah-buahan dari kebun masing-masing. Setelah dimasak bersama, hidangan ini dibagikan ke seluruh warga, termasuk ke rumah-rumah yang mungkin tidak mampu menyediakan makanan berlebih.
"Anak-anak muda harus dilibatkan biar mereka kenal tradisi ini. Jangan sampai kita kehilangan warisan yang mengandung begitu banyak nilai-nilai luhur," harap Abah Laweung.
Boh roem-roem juga menjadi sajian wajib di banyak pasar Ramadan, termasuk di kota Samalanga yang dikenal sebagai kota santri. Masyarakat yang menjalani suluk ritual ibadah yang mendalam di masjid atau dayah selama Ramadan sering kali menjadikan boh roem-roem sebagai menu berbuka karena kesegarannya mampu mengembalikan energi setelah seharian berpuasa.
"Boh roem-roem, atau yang juga disebut boh duek beudoh, jadi favorit selama Ramadhan. Bahkan di pasar-pasar kota santri seperti Samalanga, hidangan ini jadi pilihan utama berbuka puasa, termasuk untuk santri dan masyarakat yang sedang menjalani ritual suluk," papar Abah Laweung.
Ia menguraikan bahwa hidangan ini mengingatkan bahwa Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang mempererat silaturahmi, menguatkan solidaritas, dan memperbanyak rasa syukur.
Ia menambahkan di tengah dunia yang terus berubah, tradisi boh roem-roem menjadi simbol keteguhan masyarakat Aceh dalam menjaga identitas budaya dan nilai-nilai keislaman.
"Ramadhan di Aceh memang selalu terasa istimewa. Di setiap suapan boh roem-roem, tersimpan pelajaran tentang pentingnya kebersamaan, keikhlasan, dan rasa syukur. Hidangan ini menjadi bukti bahwa kekayaan budaya lokal bisa menjadi sarana mempererat tali persaudaraan dan memperkaya spiritualitas," tutupnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar