Hikmah Rujuk dalam Islam: Solusi Syariat atas Penyesalan Setelah Bercerai


Tidak ada satu pernikahan yang dilakukan oleh dua insan dengan tujuan akan berpisah di kemudian hari. Keduanya melangsungkan nikah dengan tujuan mulia, yaitu melakukan sunnah Rasulullah, membangun rumah tangga, merajut kasih sayang, dan menua bersama dalam ikatan cinta yang suci. Namun siapa yang bisa menebak arah perjalanan pernikahan?
Terkadang, di tengah arah perjalanan mulia itu, hadir badai musibah yang tak disangka-sangka. Rumah tangga yang semula menjadi tempat berteduh yang nyaman, kini berubah menjadi tempat yang saling tuduh. Rumah tangga yang seharusnya menciptakan sakinah mawaddah wa rahmah, berubah menjadi tempat penuh pertengkaran, hingga tercipta luka yang tak kunjung sembuh.
Cara demi cara dilakukan untuk menemukan jalan keluar. Namun hasilnya? Terkadang justru makin rumit dan keadaan semakin tak terarah. Maka dalam kondisi seperti ini, talak pun menjadi jalan darurat yang syariat berikan sebagai bentuk perlindungan terakhir. Maka keduanya bercerai. Tidak lagi ada istilah suami dan istri.
Namun andai setelah talak dijatuhkan sang suami menyesal? Atau istri yang menyesal? Atau bahkan keduanya sama-sama menyesal, atau misal alasan lain yang membuat keduanya hendak kembali membangun rumah tangga dalam ikatan pernikahan? Nah dalam kondisi inilah, Islam tidak serta-merta menutup pintu setelah talak diucapkan.
Islam memberikan solusi bagi keduanya agar bisa membangun rumah tangga kembali dalam ikatan yang suci. Solusi itu bernama rujuk. Apa itu rujuk? Menurut Syekh Khatib asy-Syarbini, rujuk adalah tindakan seorang suami mengembalikan istrinya ke dalam ikatan pernikahan setelah menjatuhkan talak satu atau dua, selama istrinya masih dalam masa iddah, dan dengan cara yang telah ditentukan oleh syariat. (Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadzil Minhaj, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid III, halaman 335).
Dalam banyak kasus, rujuk menjadi jalan pulang yang syariat sediakan bagi pasangan yang menyadari bahwa perpisahan bukanlah jawaban. Setelah talak satu atau dua dijatuhkan dan masa iddah belum berakhir, suami bisa merujuk istrinya tanpa perlu akad baru, cukup dengan niat dan ucapan yang sesuai syariat.
Contoh: seorang suami menjatuhkan talak satu atau dua kepada istrinya kemudian ia menyesal atau perbuatan tersebut dan hendak kembali pada istrinya. Maka dengan berkata “Aku rujuk kepadamu,” atau “Aku kembalikan engkau sebagai istriku” menjadikan keduanya dalam ikatan pernikahan yang sah kembali, selama ucapan tersebut disampaikan sebelum masa iddah istri selesai. Nah, contoh ini dalam fiqih disebut dengan istilah rujuk.
Lantas, apa hikmah disyariatkannya rujuk dalam talak? Mengapa Islam justru membuka ruang untuk kembali bagi keduanya selama masih dalam masa-masa iddah dan talak yang dijatuhkan masih talak satu atau dua? Mari kita bahas lebih lanjut.
Hikmah Rujuk
Perlu diketahui, bahwa talak atau cerai bukanlah akhir dari segalanya. Dengan penceraian, tak berarti kedua belah pihak tidak bisa merajut kembali ikatan pernikahannya. Sebab, tak sedikit talak terjadi disebabkan emosi sesaat, kelelahan jiwa, atau kesalahpahaman yang belum sempat didiskusikan dengan baik. Maka dalam hal ini, Islam memberikan waktu bagi keduanya selama masa iddah untuk berpikir kembali perihal keputusannya. Berikut ini beberapa hikmahnya:
1. Hati bisa berubah
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah talak dijatuhkan. Bisa jadi setelah berpisah, muncul penyesalan yang mendalam di hati salah satu atau bahkan kedua belah pihak, hingga tumbuh kembali keinginan untuk memperbaiki dan kembali bersama. Namun bisa juga keduanya tetap teguh pada keputusan awal dan memilih jalan masing-masing. Berkaitan dengan hal ini, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً
Artinya, “Kamu tidak mengetahui boleh jadi setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.” (QS At-Thalaq, [65]: 1).
Ayat ini menjelaskan bahwa ketika seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya, janganlah ia tergesa-gesa memutus semua ikatan seolah segalanya telah berakhir. Sebab selama masa iddah masih berlangsung, masih terbuka kemungkinan adanya perubahan yang Allah kehendaki, baik berupa penyesalan, keinginan untuk rujuk, atau munculnya jalan keluar dari masalah yang sebelumnya tampak buntu.
Demikian apa yang disampaikan oleh Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (wafat 671 H) perihal salah satu hikmah diberlakukannya rujuk di masa-masa talak. Sebab tidak ada yang tahu, bagaimana Allah kemudian membolak-balikkan hati seseorang dari yang awalnya benci menjadi sayang, dari yang awalnya ingin berpisah justru ingin kembali. Dalam kitab tafsirnya, al-Qurthubi berkata:
اَلْأَمْرُ الَّذِي يُحْدِثُهُ اللهُ أَنْ يُقَلِّبَ قَلْبَهُ مِنْ بُغْضِهَا إِلىَ مَحَبَّتِهَا، وَمِنَ الرّغْبَةِ عَنْهَا إِلَى الرّغْبَةِ فِيْهَا، وَمِنْ عَزِيْمَةِ الطَّلاَقِ إِلَى النَّدَمِ عَلَيْهِ؛ فَيُرَاجِعهَا
Artinya, “Sesuatu yang Allah hadirkan bisa jadi berupa perubahan hati seorang suami dari membenci istrinya menjadi mencintainya, dari tidak mencintainya menjadi cinta padanya, dan dari tekad untuk menceraikan menjadi penyesalan atas talaknya, kemudian ia pun merujuknya kembali.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh, Daru Alamil Kitab, 2003], jilid XVIII, halaman 157).
2. Menjadi jalan perbaikan bagi keduanya
Dan salah satu hikmah kenapa syariat membiarkan wanita menjalani masa iddah di rumah suaminya setelah talak adalah agar keduanya masih punya kesempatan untuk merenung dan mungkin berubah pikiran. Bisa jadi selama masa itu, Allah menumbuhkan kembali rasa cinta dan penyesalan dalam hati suami, sehingga ia ingin merujuk istrinya. Karena dengan tetap satu atap, peluang untuk rujuk menjadi lebih mudah dan alami. Dalam salah satu kitabnya, Imam Ibnu Katsir mengatakan:
إِنَّمَا أَبْقَيْنَا الْمُطَلَّقَةَ فِي مَنْزِلِ الزَّوْجِ فِي مُدَّةِ الْعِدَّةِ، لَعَلَّ الزَّوْجَ يَنْدَمُ عَلىَ طَلاَقِهَا وَيَخْلُق اللهُ فِي قَلْبِهِ رَجْعَتَهَا فَيَكُوْنُ ذَلِكَ أَيْسَرَ وَأَسْهَلَ
Artinya, “Sesungguhnya kami membiarkan wanita yang ditalak tetap tinggal di rumah suaminya selama masa iddah, agar sang suami mungkin menyesal atas talaknya dan Allah menumbuhkan keinginan untuk merujuknya kembali dalam hatinya, sehingga hal itu menjadi lebih mudah dan ringan.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Dar Thayba: 1999 M], jilid VIII, halaman 144).
3. Menjaga keutuhan rumah tangga
Senada dengan beberapa pendapat para ulama tafsir di atas, Imam Alauddin al-Kasani (wafat 587 H), salah satu ulama terkemuka dalam mazhab Hanafi mengatakan bahwa rasionalisasi disyariatkannya rujuk karena manusia pada fitrahnya tidak lepas dari kekeliruan dan kemudian penyesalan. Bisa saja Seorang suami menceraikan istrinya dalam kondisi emosi atau tergesa-gesa, lalu setelah itu timbul penyesalan yang mendalam dan keinginan untuk kembali membangun rumah tangga.
Dalam keadaan seperti ini, rujuk sangat dibutuhkan. Karena jika tidak ada mekanisme rujuk, dikhawatirkan suami yang masih memiliki rasa cinta dan ketergantungan kepada istrinya, namun tidak mampu bersabar atas perpisahan, justru terjatuh dalam perbuatan maksiat seperti zina. Dalam kitabnya disebutkan:
وَأَمَّا الْمَعْقُولُ فَلِأَنَّ الْحَاجَةَ تَمَسُّ إلَى الرَّجْعَةِ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ قد يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ ثُمَّ يَنْدَمُ على ذلك... فَيَحْتَاجُ إلَى التَّدَارُكِ فَلَوْ لم تَثْبُتْ الرَّجْعَةُ لَا يُمْكِنُهُ التَّدَارُكُ لِمَا عَسَى لَا تُوَافِقُهُ الْمَرْأَةُ في تَجْدِيدِ النِّكَاحِ وَلَا يُمْكِنُهُ الصَّبْرُ عنها فَيَقَعُ في الزِّنَا
Artinya, “Adapun secara rasional (al-ma’qul), karena kebutuhan pada rujuk itu sangat mendesak. Sebab seseorang bisa saja menceraikan istrinya lalu menyesali hal itu… maka ia memerlukan jalan (untuk memperbaiki keadaannya). Jika rujuk tidak ditetapkan, ia tidak akan bisa memperbaikinya, karena bisa jadi sang istri tidak bersedia untuk memperbarui akad nikah, sementara ia tidak mampu bersabar berpisah darinya, lalu terjatuhlah pada perzinaan.” (Badai’ush Shanai’ fi Tartibis Syarai’, [Beirut: Darul Kitab al-Arabi, 1982 M], jilid III, halaman 181).
4. Suami berhak kembali
Karena sangat dibutuhkan, maka Islam mensyariatkan rujuk agar kesalahan, penyesalan, rumah tangga dan lainnya bisa diperbaiki kembali oleh kedua pasangan. Dan inilah hikmah nyata dari disyariatkannya rujuk di masa talak. Sebab, yang paling berhak untuk kembali pada wanita yang ditalak adalah suaminya itu sendiri, sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al-Qur’an, yaitu:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحاً
Artinya, “Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan.” (QS Al-Baqarah, [2]: 228).
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa talak bukanlah akhir segalanya karena masih terbuka peluang rujuk selama masa iddah, di mana pada masa ini bisa saja hati suami berubah dari keinginan berpisah menjadi penyesalan, sehingga muncul keinginan untuk saling memperbaiki hubungan.
Selain itu, syariat membiarkan istri tetap tinggal bersama suami selama iddah agar proses rujuk lebih mudah, menghindari penyesalan akibat keputusan emosional, serta mencegah kemungkinan maksiat seperti zina akibat ketidakmampuan bersabar. Dengan demikian, hikmah dari disyariatkannya rujuk adalah untuk memperbaiki rumah tangga, menebus kesalahan, dan mengembalikan keharmonisan antar kedua pasangan. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar