Hukum Maulid Nabi Menurut KH. Hasyim Asy’ari dan Syaikh Ihsan Jampes, Bolehkah?,,, - Tebuireng

Beritahu Info Berita Id
By -
0

 

Hukum Maulid Nabi Menurut KH. Hasyim Asy’ari dan Syaikh Ihsan Jampes, Bolehkah?

18 September 2025

Santri Pesantren Tebuireng pada saat peringatan Maulid Nabi

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sejak lama menjadi tradisi umat Islam sebagai bentuk ungkapan cinta, takzim dan rasa syukur atas kelahiran Rasulullah SAW. Tradisi ini tidak hanya berisi pembacaan maulid, riwayat kelahiran nabi dan perjuangannya saja, tetapi juga diisi dengan nilai sosial seperti berbagi makanan, sedekah dan menumbuhkan kebersamaan. Beberapa ulama Indonesia memberikan penjelasan dan legitimasi keagamaan mengenai perayaan maulid ini, di antaranya ada Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari dan Syaikh Ikhsan Jampes yang di mana perkataan ini bersumber dari ulama terdahulu lalu ditulis oleh ulama Indonesia melalui ijtihadnya.

Perkataan Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari (w 1366 H)

Di dalam kitab “at-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulid bi al-Munkarat” yang terhimpun di dalam kitab “Irsyadu as-Sari”Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari Jombang menyatakan:

[Tanbihat Pertama] Diambil dari penjelasan para ulama, bahwa “Maulid yang dinyatakan mereka sebagai amalan sunnah adalah suatu perkumpulan yang didalamnya orang-orang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, riwayat-riwayat tentang peristiwa penciptaan Nabi Muhammad SAW, kehamilan, lahirnya dan beberapa kejadian luar biasa (irhash), kemudian peristiwa perjalanan hidupnya yang penuh keberkahan. Mereka juga menyediakan hidangan untuk dimakan bersama, lalu setelah selesai mereka kembali kerumah masing-masing. Jika mereka menambah kegiatan berupa penabuhan rebana dengan tetap menjaga adab sopan santun, maka hal tersebut boleh-boleh saja (laa ba’sa).

Di samping itu, KH. Hasyim Asy’ari mengutip perkataan Syaikh Syihabuddin Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma’il yang dikenal dengan sebutan Abu Syamah, Termasuk bentuk bid’ah yang paling baik pada masa sekarang adalah kegiatan di kota Irbil yang dilaksanakan setiap tahun bertepatan pada perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kegiatannya diisi dengan bersedekah, berbuat baik kepada sesama, memasang selain terdapat sikap sosial yang baik kepada orang-orang hiasan dan menampakkan kegembiraan. Seperti demikian, fakir, juga menjadi bukti mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW, takzim dan mengagungkannya di dalam hati para pelakunya. Dan juga sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang dianugerahkan berupa lahirnya Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Orang yang pertama kali membuat perayaan seperti ini di Maushil yaitu Syaikh Umar bin Muhammad al-Mulla, beliau salah seorang shalih yang terkenal, dalam saat itu. Kemudian perayaan ini diikuti oleh para penduduk kota Irbil dan yang lainnya. Semoga Allah SWT mengasihi mereka. Demikian keterangan Syaikh Syihabuddin di dalam kitab “al-Ba’its fi Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits“.

Selain itu, KH. Hasyim Asy’ari juga mengutip dari kitab “al-anwar Al-Muhammadiyah” karya Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani RA, di dalam kitab tersebut, beliau mengatakan: Nabi Muhammad SAW dilahirkan di kota Makkah, di dalam sebuah rumah milik Muhammad bin Yusuf. Dan (bayi) Nabi Muhammad SAW disusui oleh Tsuwaibah, seorang berita tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setelah budak milik Abu Lahab. Dia dimerdekakan ketika menerima meninggalnya Abu Lahab, dia pernah dijumpai dalam mimpi dan ditanyakan kepadanya: “Bagaimana kabarmu?”. Dia menjawab: “Saya berada di Neraka, hanya saja saya mendapat keringanan siksa neraka setiap malam senin. Dan diantara dua jari tanganku ini aku dapat meminum air, sambil dia menunjuk ujung jari-jarinya. Sungguh, keringanan yang demikian saya dapatkan sebab memerdekakan Tsuwaibah ketika dia membawa kabar gembira kepadaku dengan kelahiran (bayi) Muhammad SAW, dan karena Tsuwaibah menyusukannya.”

Ibnu Jazari mengomentari, apabila Abu Lahab – yakni orang kafir yang ayat Al-Qur’an saja menghinakannya-sebab gembiranya pada malam hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dia mendapat balasan demikian (keringanan neraka), maka bagaimanakah keadaan seorang yang muslim yang bertauhid, dari umat Nabi Muhammad SAW, dia juga bergembira atas hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. dan mencurahkan segala kemampuan karena kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW. Demi umurku, sungguh balasan baginya adalah memasukkannya Surga yang penuh kenikmatan, dengan anugerah-Nya yang luas.

Dan umat Islam masih terus mengadakan perayaan menyediakan walimah (jamuan), membagi-bagi sedekah di bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW, mereka dengan berbagai jenisnya, menampakkan rasa gembira dan menambah amal-amal kebaikan. Pada perayaan tersebut mereka juga mengadakan pembacaan maulid Nabi Muhammad SAW, dan menjadi nyata barokah maulid itu pada mereka dengan anugerah yang merata. Demikian perkataan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tentang perayaan maulid Nabi Muhammad SAW.

Perkataan Syaikh Ihsan Jampes (w. 1371 H)

Di dalam kitab “Siraj ath-Thalibin“, Syaikh Ihsan Jampes mengatakan: Imam Abu Syamah, guru Imam an-Nawawi menjelaskan: “Termasuk bentuk bid’ah yang paling baik pada masa sekarang adalah kegiatan di kota Irbil yang dilaksanakan setiap tahun bertepatan pada perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kegiatannya diisi dengan bersedekah, berbuat baik kepada sesama, memasang hiasan dan menampakkan kegembiraan. Seperti demikian, selain terdapat sikap sosial yang baik kepada orang-orang fakir, juga menjadi bukti mahabbah kepada Nabi Muhammad SAW, takzim dan mengagungkannya di dalam hati para pelakunya. Dan juga sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang dianugerahkan berupa lahirnya Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Pendapat Imam Abu Syamah ini sebagaimana yang dinukil oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di dalam kitab “At-Tanbiihaat Al-Waajibaat“.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wasallam bukan sekadar tradisi seremonial belaka, melainkan wujud nyata rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad dan rasa syukur umat Islam atas kelahiran nabi yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Pandangan ulama nusantara diatas yang termaktub dalam kitab “Hujjah Ahlussunnah wal Jama’ah bilisani ulama Indonesia” karya gus Nanal Ainal Fauz menunjukkan bahwa maulid memiliki dasar kuat dalam menjaga semangat dan persatuan dalam agama, mempererat ukhuwah sesama umat, serta menumbuhkan rasa cinta dan kita dapat meneladani teladan Rasulullah SAW. Selama perayaan itu dijalankan dengan adab yang baik, maka perayaan maulid akan selalu menjadi sarana memperkuat iman, ukhuwah, serta menghidupkan syiar Islam ditengah masyarakat.

Penulis: Mauliddinho Aditya Waluyo, Santri aktif Asrama chos Falasthine Pondok Induk Pondok Pesantren Darul Ulum.

Editor: Muh. Sutan.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default