Ayi Hidayat, Guru Honorer Madrasah yang Selamanya Honorer
NU Online · Kamis, 23 Oktober 2025 | 19:45 WIB
Ayi Hidayat, saat ditemui NU Online di kediamannya, Kampung Pereng, Desa Pangauban, Pacet, Bandung, pada Rabu (22/10/2025). (Foto: NU Online/Alawi)
Bandung, NU Online
Pada masanya, sekitar 1975, lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) memiliki peluang besar untuk menjadi (ASN) atau dulu Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun selepas PGA, Ayi Hidayat memilih menuntut ilmu terlebih dahulu di Pondok Pesantren Al-Falah, Tasikmalaya. Tak ayal, peluang untuk menjadi ASN kandas sudah.
Ia memulai mengamalkan ilmu di pendidikan formal pada 1988 di tanah kelahirannya melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, almamaternya saat kecil ketika masih bernama Madrasah Wajib Belajar (MWB). Selain di MI, ia juga mengajar di Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah di yayasan yang sama.
Karena berstatus sebagai guru honorer, sebagaimana umumnya guru, ia sempat beberapa kali mengikuti tes PNS (sekitar tahun 1990, 1994, dan 1996), tapi nasib tak pernah mengizinkannya berstatus pegawai negeri. Ia sama sekali tak pernah lolos.
Namun ia tak patah arang, mengajar ya mengajar, mengabdi sebagai guru honorer hingga kini berstatus pensiun dengan tentu saja tanpa menerima uang pensiun sepeser pun.
Baca Juga
Fauziyah, Guru RA yang Ciptakan Inovasi Edu Game dan Edu Box Berbasis Aplikasi Pembelajaran
Gajinya pada saat mulai mengajar pada 1988 hanya menerima Rp5.000. Karena guru honorer, sampai 2010, seingat dia, tiap bulan dari akumulasi mengajar di di MI, MTs, dan MA, hanya menerima Rp300.000.
Suatu perubahan terjadi saat ia lolos sertifikasi guru pada 2010. Pendapatannya sebulan melonjak menjadi Rp1.200.000. Namun, hal itu yang berlaku sampai 2018 karena usianya memasuki masa pensiun.
Pensiun dari guru, ia tetap menjadi guru. Namun, statusnya kembali ke semula, dari guru sertifikasi menjadi guru honorer lagi. Penghasilannya pun direset ke setelan awal, menjadi Rp300.000.
Dari MWB ke PGA
Ayi Hidayat lahir dan tinggal di Kampung Pereng, Desa Pangauban, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Kampung itu terletak sekitar 39 km dari pusat Kota Bandung dan sekitar 34 km dari Soreang, ibu kota Kabupaten Bandung.
Baca Juga
Imam Budiman: Pengajar Madrasah Aktif, Penyair Resah Produktif
Ia menyebut tahun 1958 sebagai tahun kelahiran. Namun, anak kedua dari 10 besaudara itu menduga usia di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dicatat dua atau tiga tahun lebih muda saat memulai pendidikan formal.
Pendidikan dasar dimulai di Madrasah Wajib Belajar (MWB) Al-Fakhriyah, di pondok pesantren yang didirikan KH Fakhruddin, berjarak sekitar 500 meter dari rumah orang tuanya.
Ia lulus MWB pada 1969. Lalu melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) Pondok Pesantren Baitul Arqom, lulus pada 1975. Karena kampungnya terletak di atas bukit, ia berjalan kaki menuruni bukit setiap pagi dari Pereng ke Lemburawi bersama sekitar 10 orang teman seangkatannya. Lalu pulang menanjak di jalan setapak.
Pada waktu itu, masih jarang anak seusianya yang menuntut ilmu di sekolah formal. Namun, ia mendapat dorongan dari orang tuanya. Terutama dirinya sendiri yang tertanam untuk menuntut ilmu sepanjang hayat.
Dalam prinsip hidupnya, kewajiban thalabul ilmi (mencari ilmu) adalah untuk hidup yang bermanfaat dan berbekal ilmu agama sebagai persiapan menuju akhirat. Pendidikan di PGA pada masa itu juga diibaratkan seperti nyantri (menimba ilmu di pesantren).
Pengembaraan Ilmu dan Mandiri di Pesantren
Setelah lulus dari PGA, Ayi Hidayat melanjutkan pencarian ilmu ke Pondok Pesantren Al-Falah Tasikmalaya yang diasuh oleh KH Memed Taftazani, yang saat itu memiliki sekitar 100 santri. Karena memiliki bekal teori dan praktik dari lulusan PGA, pihak pesantren memintanya untuk mengajar di madrasah diniyah pada sore hari.
Baca Juga
Perjuangan Jumaini Dirikan Madrasah bagi Anak-Anak di Pedalaman Kepulauan Mentawai
"Masantren bari ngawulang di madrasah (menjadi santri sembari mengajar)," kenangnya.
Aktivitas mengajar ini sedikit banyak membantu mengurangi beban biaya dari orang tua. Selain itu, untuk menutupi biaya hidup, ia bekerja dengan menganyam tikar dari bahan mendong.
Selama di Al-Falah, setiap minggu ia rutin berjalan kaki sekitar 5 km untuk mengikuti pengajian ilmu tauhid kepada KH Khoir Affandi di Pesantren Manonjaya, yang terkenal akan reputasinya.
Membangun keluarga dan berdakwah
Saat masih menimba ilmu di Al-Falah, ia berkenalan dan menikah dengan Solihat, seorang santri putri asal Lakbok, Banjar, yang waktu itu masih masuk ke dalam wilayah Kabupaten Ciamis. Setelah menikah, tatkala abu letusan Gunung Galunggung masih beterbangan memenuhi langit Tasikmalaya, ia dan istri masih bertahan di Al-Falah selama setahun.
Mereka kemudian pindah ke kampung halaman sang istri di Lakbok. Sebagai lulusan pesantren, keduanya mendirikan majelis taklim bernama Miftahul Karomah pada 1983. Majelis taklim ini kemudian dilanjutkan oleh keponakan istri sampai sekarang karena ia pindah ke kampung halamannya.
Pada 1988, Ayi Hidayat diminta ibunya untuk pulang ke kampung halamannya di Pereng. Panggilan ibu tak bisa ditolaknya. Aktivitasnya mengajar anak-anak dan orang tua tetangga. Ada tambahan lain, ia mengajar di pendidikan formal yaitu menjadi guru di MI Al-Fakhriyah. Karena waktu itu kekurangan tenaga pengajar, ia juga menjadi guru di MTs dan MA Al-Fakhriyah.
Baca Juga
S Mandah: Mengabdi di Madrasah, Mencatat Puisi sebagai Ungkapan Gundah
Di kampungnya, Ayi Hidayat segera mengaktifkan kegiatan dakwah. Setiap malam, mulai Magrib hingga Isya, ia mengajar ibu-ibu tetangga membaca Al-Qur'an ayat per ayat beserta terjemahnya.
Prinsip dan cita-cita seorang guru
Ayi Hidayat sangat terkesan dengan didikan para gurunya, terutama KH Ali Imron saat di PGA Baitul Arqom. Ia mengingat betul karisma sang guru yang membuat suasana mengajar menjadi hening (jep, jepling) karena saking segan dan karismatiknya. Salah satu pepatah yang paling beliau ingat dari KH Ali Imron adalah tentang kemuliaan guru: "Yang lebih hak bagi seseorang ketika jadi guru, kalau diberi kehormatan 1000 dirham untuk mengajar satu huruf."
Cita-cita Ayi Hidayat menjadi guru tercapai dengan tujuan utamanya adalah mengharapkan pahala yang terus mengalir setelah meninggal, sesuai dengan hadits: idza mata ibnu adam inqatha’a amaluhu illa min tsalatsin, shadaqatin jariyatin, aw ilmin yuntafau bihi, aw waladin shalihin yad'u lahu. Poin aw ilmin yuntafau bihi (ilmu yang bermanfaat) yang menjadi pegangannya. Karena itulah, ia merasa sedih jika ilmu yang dipelajari tidak bisa diamalkan.
Pegangannya itu, ia turunkan kepada 10 anaknya. Delapan di antaranya sudah berkeluarga. Dua anaknya yang bungsu dan pangais bungsu masih nyantri sampai sekarang. Yang satu ke sebelah barat, yaitu di Saketi, Banten. Sementara satu lagi menuntut ilmu ke timur, di Banjar.
Baca Juga
Cing Ato, Guru Madrasah yang Mengajar dari Kursi Roda dan Produktif Menulis Hasilkan 26 Buku
Aktivitas rutin
Meskipun sudah pensiun dari status guru honorer, aktivitas Ustadz Ayi Hidayat tetap padat, terutama dalam berdakwah dan mengajar. Karena itulah, jika diundang ke suatu acara, ia selalu berpikir panjang.
Pertimbangannya adalah siapa yang bersedia untuk sementara menggantikannya di majelis taklim atau menyabit rumput untuk kambing.
Kepadatannya kesehariannya bisa dirinci sebagai berikut. Sebangun pagi, ia segera ke masjid menjadi imam shalat. Setelah itu, mengajar anak-anak mengaji (tadarus).
Pukul 07.00, berangkat ke sekolah Al-Fakhriyah (MI) dengan berjalan kaki, pulang pukul 12.00. Kemudian mencari rumput untuk 3 ekor kambingnya. Kadang ke kebun sebentar.
Sekitar pukul 13.30, ia berangkat ke majelis taklim yang rutin ia ampu sejak tahun 90-an. Pada Jumat, ia mengisi pengajian di Majelis Taklim Desa Cinanggela, Masjid Al-Ikhlas. Ia mengampu pengajian Kitab Tauhid, Tijanud Darory.
Baca Juga
Nurul Afifah, Guru MI yang Buat Matematika Jadi Seru dengan Manfaatkan Tren Kekinian
Tiap Sabtu pada pekan ke-3 dan ke-5, ia mengisi pengajian di Majelis Taklim As-sa'adah Nenggre, Cinanggela.
Tiap Ahad, pekan ke-1, ke-3, dan ke-5: pengajian Al-Itishom di Pangauban.
Lalu tiap Senin mengisi pengajian di Nurul Hasan Pasir Batu, Desa Pangauban (juga rutin khutbah di Cisaat Pasir Batu sejak 1988).
Tiap Selasa pada pekan ke-1, mengisi pengajian di Masjid Hidayatush Shidqi daerah Pangauban. Tiap Rabu pekan ke-3 mengisi pengajian di Al-Ittihad Desa Cikitu (Kitab Fiqih Safinatun Najah).
Tiap Kamis mengisi pengajian di Madrasah Al-Hidayah Paku Haji (Tafsir Qur'an, Tauhid, Asmaul Husna).
Kesaksian murid
Ayi Hidayat melahirkan banyak murid yang belajar kepadanya secara formal maupun nonformal. Di antara muridnya adalah Dani Iskandar, yang bersaksi bahwa gurunya adalah sosok yang dipenuhi keikhlasan.
“Ustadz Ayi Hidayat adalah sosok guru yang sangat bersahaja, hidup sederhana, dan menjadi teladan nyata bagi anak didiknya, khususnya dalam menanamkan nilai moral dan akhlakul karimah,” katanya.
Dani, yang mulai berguru pada beliau sekitar tahun 1991-1992 (bersama teman-teman dari Ponpes Al-Falah), menekankan bahwa Ajengan Ayi memberikan ilmu secara ikhlas, tanpa pamrih, dan tidak pernah menetapkan biaya finansial (tanpa SPP atau ketentuan biaya harian). Keikhlasan dalam mengajar inilah yang sangat membekas dan membentuk akhlak serta jiwa para murid.
“Hingga kini, beliau terus aktif mendidik, baik di Kampung Pereng maupun di berbagai majelis taklim di sekitar Kecamatan Pacet,” tambahnya.
Para murid berharap agar Ajengan Ayi Hidayat diberikan kesehatan dan panjang umur, serta agar seluruh santrinya menjadi anak yang saleh, bermanfaat bagi nusa, bangsa, dan agama.
Keikhlasan Ustadz Ayi Hidayat dalam mengajar adalah alasan mengapa ilmu dan namanya selalu terjaga di hati para murid.
Cita-cita masa tua
Ayi Hidayat menceritakan perjalanan hidupnya dengan santai dan lancar. Ingatannya masih encer meskipun usia menjelang kepala 7. Namun, ia menjadi dareuda (terbata-bata) ketika ditanya cita-citanya di masa tua. Cita-citanya seolah sesuatu yang benar-benar jauh dan tak mungkin terjangkau tangannya.
Namun dengan berusaha tegar, ia bercerita juga. Masa tuanya ingin menunaikan rukun Islam yang kelima. Itulah satu-satunya yang menggelayuti pikirannya.
“Ingin ibadah haji,” katanya seraya berkaca-kaca. Air mata pun seperti tanpa disadarinya jatuh jua.