Cing Ato, Guru Madrasah yang Mengajar dari Kursi Roda dan Produktif Menulis Hasilkan 26 Buku
NU Online · Kamis, 23 Oktober 2025 | 14:00 WIB

Suharto atau Cing Ato, saat ditemui NU Online, di tempat ia mengajar, MTsN 5 Jakarta, pada Rabu (22/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Duduk di atas kursi roda, Suharto (56) bukan sekadar guru. Pria kelahiran 1969 yang akrab disapa Cing Ato ini menjadikan keterbatasan fisik sebagai sumber kekuatan, terutama melalui kegiatan menulis. Sejak 1996, ia mengabdikan diri di dunia pendidikan dan hingga kini telah menghasilkan 26 buku. Sebagian di antaranya ditulis bersama rekan guru dan juga murid-muridnya.
Kekuatan dari doa dan keyakinan
Cing Ato mengisahkan bahwa kekuatan utamanya terletak pada keyakinan terhadap doa yang dipanjatkan setelah azan. Ia percaya, doa pada waktu setelah azan, akan dikabulkan. Keyakinan tersebut selalu ia pegang dalam menghadapi momen penting hidupnya, mulai dari saat mendaftar kuliah, mengikuti seleksi PNS, hingga ketika divonis mengidap Guillain-Barré Syndrome (GBS) pada 2018.
Baca Juga
Fauziyah, Guru RA yang Ciptakan Inovasi Edu Game dan Edu Box Berbasis Aplikasi Pembelajaran
Guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 5 Jakarta ini tetap aktif mengajar dengan bantuan berbagai perangkat, antara lain telepon genggam, penyangga ponsel, laptop, mikrofon, proyektor, dan pengeras suara untuk membantu suaranya terdengar jelas di kelas.
“Saya selalu mencari cara untuk tidak bergantung dengan orang lain, termasuk ketika mengajar. Saya menggunakan mikrofon dan pengeras suara karena kalau saya berbicara dengan suara keras, perut saya sakit,” ungkapnya, saat ditemui NU Online di MTsN 5 Jakarta, tempat Cing Ato mengajar, pada Rabu (22/10/2025).
“Kalau saya berbicara keras, perut saya sakit. Tantangan itu pasti ada, tapi saya yakin Allah selalu memberi kemudahan,” tambahnya.
Berjuang melawan penyakit
Pada 2018, Cing Ato divonis mengidap GBS, sebuah kondisi neurologis langka ketika sistem kekebalan tubuh keliru menyerang bagian dari sistem saraf tepi. Serangan autoimun ini mempengaruhi saraf pengendali gerakan otot serta saraf yang mengirimkan sensasi seperti nyeri, suhu, dan sentuhan. Akibatnya, penderita dapat mengalami kelemahan otot progresif, kehilangan sensasi di kaki dan tangan, bahkan kesulitan menelan atau bernapas.
Baca Juga
Perjuangan Jumaini Dirikan Madrasah bagi Anak-Anak di Pedalaman Kepulauan Mentawai

Cing Ato menjalani perawatan di RS Cipto Mangunkusumo selama hampir lima bulan, kemudian mengalami kelumpuhan total selama 18 bulan. Setelah berjuang keras, ia akhirnya bisa kembali ke ruang kelas. Namun tak lama berselang, pandemi Covid-19 melanda. Alih-alih menyerah, ia justru beradaptasi dengan cepat terhadap pembelajaran daring.
Menulis sebagai terapi dan jalan hidup
Sebelum sakit, Cing Ato selalu menyisihkan uang sertifikasinya untuk mengikuti pelatihan, terutama yang berkaitan dengan teknologi dan menulis. Pengalaman itu membuatnya mampu menyesuaikan diri saat pembelajaran beralih ke dunia digital. Dari ponsel pintarnya, ia mulai menulis kisah hidupnya di Facebook. Aktivitas ini kemudian berkembang menjadi kebiasaan menulis rutin yang melahirkan berbagai karya.
“Ketika saya sakit, saya merenung. Saya berpikir, kalau saya tidak bisa bicara, bagaimana saya bisa berbagi ilmu? Saya berdoa, dan selang beberapa hari suara saya kembali muncul,” tuturnya pelan.
Baca Juga
S Mandah: Mengabdi di Madrasah, Mencatat Puisi sebagai Ungkapan Gundah
“Ketika sehat, saya bermanfaat bagi keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tapi ketika sakit pun saya harus tetap bermanfaat,” ujarnya dengan senyuman hangat.
Cing Ato menulis setiap hari, biasanya selepas Subuh. Dari Senin hingga Jumat, ia menulis tema-tema motivasi. Sementara pada Sabtu dan Ahad, ia menulis kisah perjuangannya melawan penyakit.
“Setiap malam sebelum menemukan judul tulisan, saya sulit tidur. Istri saya sudah paham, kalau saya diam, berarti sedang mencari judul,” katanya sambil tersenyum.
“Menulis itu terapi. Saat saya menulis, saya lupa dengan rasa sakit dari penyakit saya. Dengan begitu, saya bisa terus bermanfaat. Bagi saya, menulis juga sebagai terapi, dan dari situlah saya menulis buku Menulis di Kala Sakit,” ucapnya.
Menginspirasi guru dan murid
Apresiasi pembaca menjadi sumber semangat bagi Cing Ato untuk terus menulis. Bahkan komentar negatif ia anggap sebagai tanda bahwa tulisannya dibaca dan diperhatikan orang.

Baca Juga
Imam Budiman: Pengajar Madrasah Aktif, Penyair Resah Produktif
Tak hanya menulis untuk dirinya sendiri, Cing Ato juga menularkan semangat itu kepada rekan dan muridnya. Kini, banyak guru di MTsN 5 Jakarta yang mulai menulis buku setelah terinspirasi oleh ketekunannya. Ia juga membimbing para siswa melalui kelas belajar menulis yang ia dirikan sendiri.
“Melihat keberhasilan saya menulis dan berkarya, banyak rekan-rekan guru MTsN 5 Jakarta terinspirasi dan bergerak menulis buku solo maupun antologi,” katanya.
“Saya juga mengajak dan menggerakkan para peserta didik untuk menulis. Sebagai wadahnya, saya mendirikan kelas belajar menulis sekaligus menjadi pemberi materi dan pembimbing mereka hingga bisa menulis dan berkarya,” tambahnya.
Menebar cahaya inspirasi
Dari ruang kelas hingga dunia maya, Cing Ato terus menebar inspirasi. Sejak kecil ia bercita-cita menjadi guru agama, dan kini ia telah menerima berbagai penghargaan, termasuk sebagai Guru Inspiratif Jakarta pada peringatan Hari Guru Nasional dan Pahlawan Pendidikan Jakarta.
“Ada sebuah kalimat sederhana yang selalu saya kenang dan membuat saya akhirnya banyak dikenal orang yaitu ‘Menulislah setiap hari, dan lihatlah apa yang terjadi’,” ucapnya.