Bagaimana Hukum Tepuk Sakinah, Problematik secara Fikih?
Jagat dunia maya tengah dihebohkan dengan viralnya tepuk sakinah. Sebuah nyanyian disertai gerakan yang awalnya digunakan dalam progam bimbingan perkawinan Kementerian Agama RI. Singkatnya, tepuk sakinah merupakan tepuk berirama yang dilantunkan dan disertai lirik berisi anjuran berpasangan, janji kokoh, saling cinta saling hormat, saling ridho, musyawarah untuk sakinah dan maslahah.
Awalnya, “Tepuk Sakinah” digunakan sebagai metode interaktif untuk mencairkan suasana (ice breaking) kelas bimbingan perkawinan agar tidak terasa kaku. Namun setelah video peraganya tersebar luas di media sosial, gerakan tersebut menjelma menjadi fenomena budaya baru yang ramai diikuti warganet. Banyak anak muda memparodikan tepuk sakinah dengan berbagai macam gaya.
Fenomena ini mencuri perhatian publik karena mengkolaborasikan antara edukasi dan hiburan. Banyak yang mengapresiasi karena tepuk sakinah dianggap mampu menjadi sarana membangun kesadaran akan pentingnya kehidupan rumah tangga yang harmonis. Namun ada juga netizen yang nyinyir. Sebagian mereka menilai bahwa tepuk sakinah tidak terlalu memberi dampak positif yang signifikan. Tidak sedikit juga yang menilai bahwa yel-yel dengan tepuk sudah tidak relevan jika diterapkan pada generasi sekarang.
Terlepas dari pro dan kontra di atas, tentunya fokus pembahasan kita bukanlah mengenai hal tersebut. Namun pada aspek fiqihnya. Pembahasan mengenai hukum tepuk tangan dalam fiqih, meruntut pada pembahasan tepuk dalam shalat. Yaitu ketika terjadi sesuatu dalam shalat berjamaah, alternatif ma’mum perempuan untuk mengingatkan imamnya adalah dengan bertepuk. Berangkat dari pembahasan ini, kemudian pembahasan merambah ke masalah tepuk di luar sholat.
Perbedaan pendapat tidak bisa dihindari, sebagian ulama seperti Imam Zarkasyi mengemukakan bahwa di dalam mazhab Imam Syafii sendiri terdapat dua pendapat. Dan pendapat yang unggul serta mu’tamad mengharamkan tepuk di luar shalat. Pendapat ini tidak serta-merta, namun dengan catatan jika tidak ada keperluan tepuk tangan. Jika ada keperluan, seperti memanggil seseorang dari jarak jauh, maka diperbolehkan. Dalam kitab Nihayah al-Muhtaj karya Imam Romli disebutkan:
قَوْلُهُ: عَلَى ظَهْرِ الْيَسَارِ وَأَمَّا لَوْ ضَرَبَ بَطْنًا عَلَى بَطْنٍ خَارِجَ الصَّلَاةِ كَالْفُقَرَاءِ، قَالَ الزَّرْكَشِيُّ: فِيهِ وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا، وَرُجِّحَ مِنْهُمَا التَّحْرِيمُ، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ خُصُوصًا إذَا كَانَ فِي الْمَسَاجِدِ كَمَا يُفْعَلُ الْآنَ مِنْ جَهَلَةِ النَّاسِ كَذَا بِهَامِشٍ، وَيَنْبَغِي أَنَّ مَحَلَّهُ مَا لَمْ يَحْتَجْ إلَيْهِ كَمَا يَقَعُ الْآنَ مِمَّنْ يُرِيدُ أَنْ يُنَادِيَ إنْسَانًا بَعِيدًا عَنْهُ، وَنُقِلَ فِي الدَّرْسِ عَنْ م ر – رحمه الله – مَا يُوَافِقُ ذَلِكَ.
Dari beberapa refrensi, ulama yang mengharamkan tepuk di luar shalat beralasan bahwa tepuk di luar shalat mengandung unsur lahwun (permainan) dan berpotensi ada qosdu tasyabbuh (menyerupai) wanita.
Imam Ramli di dalam kitab Fatawa-nya, beliau ditanya mengenai pendapat yang dikemukakan oleh Imam Zarkasyi, bahwa tepuk tangan bagi laki-laki dalam rangka main-main hukumnya haram karena terdapat unsur tasyabbuh dengan wanita. Apakah beliau sepakat atau tidak? Dan apakah keharaman tersebut terbatas hanya pada maksud tasyabbuh dengan wanita? atau lebih umum, yakni segala sesuatu yang identik dengan wanita haram dilakukan oleh laki-laki meskipun tidak bermaksud menyerupai wanita sekalipun? Kemudian beliau menjawab: pendapat tersebut disetujui jika memang tujuannya main-main, meskipun tidak ada maksud untuk menyerupai wanita.
وَفِي فَتَاوَى م ر سُئِلَ – رضي الله عنه – عَنْ قَوْلِ الزَّرْكَشِيّ إنَّ التَّصْفِيقَ بِالْيَدِ لِلرِّجَالِ لِلَّهْوِ حَرَامٌ لِمَا فِيهِ مِنْ التَّشَبُّهِ بِالنِّسَاءِ هَلْ هُوَ مُسَلَّمٌ أَمْ لَا، وَهَلْ الْحُرْمَةُ مُقَيَّدَةٌ بِمَا إذَا قُصِدَ التَّشَبُّهُ أَوْ يُقَالُ مَا اخْتَصَّ بِهِ النِّسَاءُ يَحْرُمُ عَلَى الرِّجَالِ فِعْلُهُ، وَإِنْ لَمْ يُقْصَدْ بِهِ التَّشَبُّهُ بِالنِّسَاءِ فَأَجَابَ هُوَ مُسَلَّمٌ حَيْثُ كَانَ لِلَّهْوِ، وَإِنْ لَمْ يُقْصَدْ بِهِ التَّشَبُّهُ بِالنِّسَاءِ
Kemudian beliau ditanya mengenai hukum tepuk tangan di luar shalat tanpa ada keperluan apapun. Apakah hukumnya juga haram atau tidak? Beliau menjawab; jika ada maksud menyerupai wanita maka haram, jika tidak maka makruh.
وَسُئِلَ عَنْ التَّصْفِيقِ خَارِجَ الصَّلَاةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ هَلْ هُوَ حَرَامٌ أَمْ لَا؟ فَأَجَابَ إنْ قَصَدَ الرَّجُلُ بِذَلِكَ التَّشَبُّهَ بِالنِّسَاءِ حَرُمَ، وَإِلَّا كُرِهَ. اهـ.
Sedangkan Ibnu Hajar al-Haitamy memperbolehkan tepuk tangan di luar shalat secara mutlak, baik ada tujuan main-main atau dengan praktik menjauhkan kedua tangan, sebagaimana keterangan dalam kitab Ghuror al-Bhahiyyah karya Syaikul Islam Zakariya al-Anshori;
وَالتَّصْفِيقُ خَارِجَ الصَّلَاةِ لَا لِمَصْلَحَةٍ حَرَامٌ بِخِلَافِ تَصْفِيقِ الْفُقَرَاءِ. اهـ. شَيْخُنَا ح ف. اهـ. بُجَيْرِمِيٌّ عَلَى الْمَنْهَجِ . وَقَالَ حَجَرٌ إنَّهُ خَارِجُ الصَّلَاةِ جَائِزٌ وَلَوْ بِقَصْدِ اللَّعِبِ وَمَعَ بُعْدِ إحْدَى الْيَدَيْنِ عَنْ الْأُخْرَى اهـ ق ل. (قَوْلُهُ: وَمَحَلُّ إلَخْ) بِخِلَافِ التَّصْفِيقِ لَا يَضُرُّ وَإِنْ قَصَدَ بِهِ الْإِعْلَامَ ق ل
Wallahu a’lam.
Referensi:
Nihayah al-Muhtaj, Syamsuddin al- Ramli
Ghuror al-Bahiyyah, Zakariya al-Anshori
Penulis: Umu Salamah, pengajar di Pesantren Raudhatul Ulum Pati.
Editor: Muh. Sutan