Fiqih Minoritas: Solusi Hukum Islam bagi Muslim di Negara Non-Muslim - NU Online

Dunia Berita
By -
0

 

Fiqih Minoritas: Solusi Hukum Islam bagi Muslim di Negara Non-Muslim

NU Online  ·  Kamis, 23 Oktober 2025 | 12:00 WIB

Fiqih Minoritas: Solusi Hukum Islam bagi Muslim di Negara Non-Muslim

Fiqih Minoritas (NU Online)

M. Syarofuddin Firdaus

Kolomnis

Fenomena perpindahan tempat tinggal bahkan status kependudukan yang dilakukan umat Islam ke Barat di zaman modern mendapat respon yang beragam. Entah perpindahan ini untuk sekadar belajar atau bekerja dan menetap selamanya di sana. Respon yang muncul biasanya diawali dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada kepastian dapat menjalankan aturan dan larangan agama.
 

Ketika seseorang berpindah ke sebuah tempat atau negara, maka sudah pasti akan terikat dengan aturan-aturan tempat tersebut, baik aturan perundangan-undangan maupun aturan sosial. Begitu pula yang dialami oleh umat Islam yang melakukan imigrasi ke negara-negara Barat dengan faktor dan misi yang bermacam-macam.
 

Terlepas dari faktor dan misi tersebut, faktanya mereka terlibat dalam berbagai kegiatan publik di sana dengan status minoritas. Ali Kettani di dalam bukunya, Muslim Minorities in the World Today (Mansell Publishing Limited, 1986, h. 1), mengatakan kalau muslim minoritas berarti penduduk beragama Islam yang berbeda dengan kebanyakan anggota daerah tempat domisili mereka. Perbedaan di sini tidak hanya sebatas keyakinan teologis saja, melainkan juga termasuk perlakuan dan fasilitas publik.
 

Kondisi semacam ini mengakibatkan masalah keagamaan mulai bermunculan. Seperti memilih pemimpin non-muslim, mengucapkan selamat natal ke tetangga atau kolega, sulitnya mencari makanan yang dijamin halal, menggunakan bank konvensional dan bunganya, mengenai donasi barang syubhat (bahkan haram) untuk pembangunan masjid, upah pekerjaan yang tidak menutup kemungkinan tercampur dengan unsur-unsur syubhat dan haram, serta problematika keagamaan lainnya.
 

Baca Juga

Apa Perbedaan Syariat Islam dan Fiqih?

Dalam kondisi seperti ini, umat Islam selaku kelompok minoritas di Barat menghadapi kondisi dua problematis sekaligus: (1) selaku muslim mesti mentaati aturan agamanya di mana pun berada, (2) dan agama mengharuskan untuk mematuhi aturan negara. Bahkan Imam At-Thahawi di dalam Al-‘Aqidah At-Thahawiyah (Dar Ibnu Jauzi, h. 47) mengatakan wajib mentaati pemimpin meskipun zalim.
 

Kondisi yang saling tarik-menarik ini membuat seorang muslim kebingungan untuk memilih aturan mana yang perlu diprioritaskan. Atas dasar inilah konsep Fiqih Minoritas dirumuskan, yang diperkenalkan pertama kali oleh Taha Jabir al-‘Alwani di dalam karyanya: Towards a Fiqh Minorities: Some Basic Reflection (IIIT, 2010). Hanya saja di sini Taha Jabir sekedar memaparkan kondisi yang dihadapi umat Islam selaku kolompok minoritas, dan belum memformulasikan secara detail konsep tersebut, termasuk solusinya.
 

Solusi yang dimaksud di sini adalah produk hukum atas sederet problematika keagamaan yang telah disebut di atas. Maka dari itu, Yusuf Al-Qaradhawi mencoba merumuskannya sebagaimana terdapat pada karyanya, Fi Fiqhil Aqalliyat Al-Muslimah. Bagi Al-Qaradhawi, dilema yang dihadapi umat Islam di Barat perlu dijawab dengan solutif, sehingga mempertegas bahwa Islam dapat diterapkan kapan dan di mana saja.
 

Sedangkan bagi Taha Jabir sendiri, secara konsep kata fiqih perlu dikembalikan ke makna asal pada era salaf, yaitu fiqih membahas aturan normatif, akidah, dan akhlak sekaligus. Ketiga epistemologi Islam yang mashur ini tidak dibeda-bedakan satu sama lain pada generasi ulama salaf. Sebab fiqih yang bermakna pemahaman bermaksud mempunyai pemahaman ajaran Islam yang mencakup ketiga topik tersebut.
 

Begitu juga dengan Fiqih Minoritas hendak mengakomodir berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam yang menjadi minoritas dalam sebuah komunitas masyarakat sebagaimana di Barat, yang mencakup persoalan normatif, akidah, dan akhlak. 
 

Baca Juga

Hukum Menikah dengan Saudara Tiri menurut Fiqih Islam

Sebagai bentuk keseriusan dalam membangun konsep fikih yang tampak baru ini, Al-Qaradhawi di dalam  Fi Fiqhil Aqalliyat Al-Muslimah  (Dar al-Syuruq, 2001, h. 40 – 49) membuat empat basis utama sebagai pijakannya: (1) optimalisasi ijtihad, khususnya model tarjīhiy wa intiqā’iy (verifikasi dan filterisasi) serta ibdā’iy wa insyā’iy (rekonstruksi dan reformulasi) guna menghasilkan hukum yang adaptif bagi muslim minoritas;  (2) pemanfaatan kaidah-kaidah fikih universal sebagai pertimbangan dalam menyikapi problem kontemporer. (3) kemudahan sebagai kerangka berpikir, selaras dengan prinsip Islam sebagai agama yang memudahkan tanpa melanggar batas syariat; dan (4) melepaskan diri dari keterikatan pada mazhab tertentu. Sebab bila hanya membatasi diri pada mazhab tertentu maka akan kewalahan menyikapi berbagai problematika yang dihadapi di Barat.
 

Keempat pondasi ini menjadi pertimbangan utama dalam menciptakan produk Fiqih Minoritas sebagai solusi atas masalah keagamaan yang dihadapi masyarakat muslim minoritas.
 

Berdasarkan hal ini, Ahmad Imam Mawardi salah satu cendikiawan asal Jawa Timur di dalam bukunya, Fiqih Minoritas (LkiS, 2010, h. 277) mengatakan bahwa Fiqih Minoritas ini merupakan pandangan fiqih dari segi geografis. Perbedaan geografi dengan segala ragam kultur budayanya dapat berdampak pada perbedaan hukum fiqih yang lahir.
 

Pendapat Mawardi ini selaras dengan kaidah fiqih:
 

تَغْيِيْرُ الْفَتْوَى وَاخْتِلَافُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ الْأَزْمِنَةِ وَالْأَمْكِنَةِ وَالْأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَالْعَوَائِدِ
 

Artinya, "Perubahan fatwa dan perbedaannya disebabkan oleh perubahan zaman, lokasi, kondisi, niat, dan tradisi."
 

Di antara produk fatwa dalam Fiqih Minoritas adalah persoalan mendasar dalam konsep ini, yaitu hukum berkunjung ke atau menetap di negara yang tidak berdasarkan Islam. Jawaban atas persoalan ini sebenarnya cukup panjang dan detail mengingat penyebab dan tujuannya cukup beragam. Namun bila diringkas akan mengerucut pada kebolehan hal tersebut dengan syarat mampu melaksanakan ajaran agama. 
 

Bahkan Imam Al-Ramli di dalam Fatawa Ar-Ramli (juz 4, h. 53) ketika ditanya mengenai masyarakat muslim Aragon di Andalusia yang berada di bawah kekuasaan Nasrani: apakah harus keluar dari daerah tersebut sedangkan pemerintahnya tetap memperbolehkan mereka melakukan ajaran-ajaran Islam? Imam Ar-Ramli menjawab:
 

بِأَنَّهُ لَا تَجِبُ الْهِجْرَةُ عَلَى هَؤُلَاءِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ وَطَنِهِمْ لِقُدْرَتِهِمْ عَلَى إظْهَارِ دِينِهِمْ بِهِ -الى أن قال- وَفِيمَا ذَكَرَ فِي السُّؤَالِ مِنْ إظْهَارِهِمْ أَحْكَامَ الشَّرِيعَةِ الْمُطَهَّرَةِ وَعَدَمِ تَعَرُّضِ الْكُفَّارِ لَهُمْ بِسَبَبِهَا عَلَى تَطَاوُلِ السِّنِينَ الْكَثِيرَةِ مَا يُفِيدُ الظَّنَّ الْغَالِبَ بِأَنَّهُمْ آمِنُونَ مِنْهُمْ مِنْ إكْرَاهِهِمْ عَلَى الِارْتِدَادِ عَنْ الْإِسْلَامِ أَوْ عَلَى إجْرَاءِ أَحْكَامِ الْكُفْرِ عَلَيْهِمْ 
 

Artinya, "Mereka tidak wajib berhijrah dari negara mereka itu, sebab mereka mampu untuk menampakkan ajaran agama mereka di negara itu. Sebagaimana yang tercatat dalam pertanyaan terkait menampakkan hukum syariah yang suci dan tidak adanya resistensi non-muslim terhadap hal itu di beberapa tahun merupakan suatu persepsi kuat bahwa masyarakat muslim dapat hidup dengan aman di negara tersebut dalam arti tidak dipaksa untuk murtad atau memberlakukan hukum non-muslim kepada mereka."
 

Begitu juga mengenai mengubur janazah muslim di kuburan non muslim. Pada prinsipnya Al-Qaradhawi di dalam Fi Fiqhil Aqalliyat Al-Muslimah (h. 87) tetap berpegang pada pendapat mayoritas ulama yang mengharuskan jenazah muslim dikuburkan di pemakaman muslim. Termasuk bila hanya beralasan agar dekat dengan rumah sehingga mudah diziarahi tidak lantas menjadikan keharusan ini berubah menjadi boleh. Sebab ziarah itu sunnah, sedangkan menguburkan di pemakaman muslim itu wajib.
 

Namun bila kondisinya tidak memungkinkan sebagaimana terjadi di Barat, maka ini sudah termasuk darurat (mendesak) sehingga jwnazah muslim diperbolehkan dikuburkan bersama janazah non muslim. Ini juga sudah termasuk dalam ayat al-Quran yang berbunyi:
 

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
 

Artinya, "Manusia hanya akan memperoleh apa yang telah diusahakannya." (QS An-Najm: 39).
 

Dari kedua contoh kasus ini menandakan kalau Fiqih Minoritas pada dasarnya bukan hendak menciptakan produk fiqih baru. Fiqih Minoritas tetap berpijak pada produk dan metodologi yang telah dirumuskan oleh para ahli fiqih masa lalu, kemudian diaktualisasikan dengan keadaan yang dihadapi masyarakat muslim yang menjadi minoritas sebagai upaya menjaga kemaslahatan bersama, baik antara pribadi muslim dengan agamanya maupun dengan masyarakat umum dan negara tempat domisilinya. Wallahu a'lam.


Ustadz M. Syarofuddin Firdaus, Dosen Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences – Ciputat

Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default