Pidato Lengkap Rais ‘Aam PBNU tentang Santri, Ilmu Pengetahuan, dan Tantangan Masa Depan
NU Online · Kamis, 23 Oktober 2025 | 20:00 WIB
Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar saat menyampaikan ceramah dalam Istighotsah dan Doa Santri untuk Negeri yang digelar Kemenag RI, di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada Selasa (21/10/2025). (Foto: dok. Kemenag RI)
Penulis
Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar didaulat untuk memberi nasihat dalam Istighotsah dan Doa Santri untuk Negeri yang diselenggarakan Kemenag RI di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (21/10/2025) malam.
Di depan ribuan santri, Kiai Miftach memberi bekal penting untuk santri khususnya dan masyarakat Islam pada umumnya terkait dengan ilmu pengetahuan dan ujian-ujian dalam mengarusi samudera kehidupan.
Berikut adalah pidato lengkap Kiai Miftach dalam kesempatan tersebut.
***
Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
Rais Aam PBNU: Majelis Ilmu dan Dzikir Jadi Tempat Turunnya Rahmat Allah
Bismillāhirrahmānirrahīm. Alhamdulillāhilladzi ja’alanā min khairi ummatin ukhrijat linnās alladzīna ya’murūna bil ma’rūf wa yanhauna ‘anil munkar walā yardlauna bi dīnil misās. Huwalladzī ja’alal ‘ulamā’ waratsatul anbiyā’ fa akrim bihim wāritsan wa maūrūtsa. Allāhumma shalli wasallim watafadldlal watakarram ‘alā Sayyidinā Muhammad wa ‘alā ālihi wa ashāhibi waman tabi’ahum bi ihsānin ilā yaumil ma’ād, amma ba’ad.
Hadlarātil kuramā’ wal a’izzā’, wal ‘ulamā’ wal masyāyikh, para kiai-kiai sepuh. Secara online, doa delapan penjuru telah dipanjatkan sehingga tidak ada celah bagi iblis dan atribut serta semua bala tentaranya—pada malam ini dan mudah-mudahan selanjutnya—untuk bisa membelokkan, menipu anak-anak kita pada khususnya. Allahumma amin. Du’āul ghāib mustajāb. Doa yang dari jarak yang jauh, tidak ada di tempat, adalah sangat mustajab. Semoga doa-doa tersebut betul-betul menjadi jimat di dalam kehidupan kita. Allāhumma Amīn.
Yang mulia Menteri Agama Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA. Yang kami muliakan Dirjen Pendis Prof Dr Amin Suyitno. Juga Dirjen Bimas Prof Dr Abu Rokhmad. Juga Sekjen Kementerian Agama Prof Dr Kamaruddin Amin. Juga Prof Dr Ali Ramdhani. Dan banyak yang tidak akan bisa kami sebutkan satu per satu. Waktunya sangat pendek. Kalau tidak salah, mungkin saya hanya 20 menit jatah waktunya. Ada profesor UIN Syarif Hidayatullah, Ibu Amany (Lubis), yang juga di MUI. Para ibu nyai, para santriwan-santriwati, santri senior, santri junior, dan calon santri. [Hadirin tepuk tangan].
Santri berjuang untuk kepentingan agama
Al-Qur’an menyatakan: lil-fuqarâ'illadzîna uḫshirû fî sabîlillâhi lâ yastathî‘ûna dlarban fil-ardli yaḫsabuhumul-jâhilu aghniyâ'a minat-ta‘affuf,… al-āyah (QS. Al-Baqarah: 173). Bahwa bagi orang-orang fakir, dulu, (ketika) masih nyantri, adalah mereka orang-orang yang tertahan fī sabīlillāh, di jalan Allah, di perjuangan untuk/demi kepentingan agama di pesantren-pesantren. Lâ yastathî‘ûna dlarban fil-ardl, tidak ada waktu bagi mereka untuk berbisnis—masuk-keluar pasar, masuk-keluar mal—yang ada hanya nawaitu menggali ilmu, memperdalam, tafaqquh fiddīn, sehingga orang-orang yang tidak tahu menyangka mereka-mereka adalah orang-orang yang kaya raya. Karena selain mereka sibuk di pasar, sibuk di pertokoan, sibuk di jalan raya, sibuk berbisnis, tapi ini ada manusia-manusia tak bergeming, tak memikirkan itu semuanya, hanya tafaqquh fiddīn, menyerahkan dirinya tidak cukup tiga tahun, sepuluh tahun, bahkan dulu banyak santri-santri itu ber-thalabul ‘ilmi sampai tiga puluh tahun.
Baca Juga
4 Bekal Kaum Santri Hadapi Bonus Demografi menurut Kiai Miftachul Akhyar
Kira-kira sekarang ada yang ngaji, belajar, mondok, sampai tiga puluh tahun? Ada? Mana orangnya? Hadir? Sepuluh tahun ada? Malah saya dengar, sekarang banyak santri-santri itu yang cita-cita mondok hanya tiga tahun, setelah itu harus menjadi kiai, katanya. Kenapa secepat itu? Bukankah kalau ingin menjadi seorang ulama, seorang kiai, membutuhkan waktu yang panjang—thūlu zamānihi, kata Sahabat Ali, membutuhkan waktu yang panjang. Ini kok tiga tahun? Apa jawab mereka? “Cita-cita saya belajar cukup tiga tahun, harus jadi kiai, karena dia sekarang mobilnya gilap-gilap,” katanya. Ini harus diubah. Ini penyakit.
Bekal menghadapi bonus demografi
Bukankah kira-kira pada tahun 2035 nanti adalah bonus demografi—yang ada di depan kita—membutuhkan kader-kader yang berakhlak, berilmu, bertakwa, untuk mengisi masa demografi itu? Disebutkan, pada saat itu, menurut berita, mencapai puncaknya kira-kira tahun 2035 yang di dalamnya ini adalah anak-anak yang berusia produktif: mulai usia 16 sampai kira-kira 35, yang disebut pemuda. Tapi sekarang WHO sudah memperpanjang masa usia muda menjadi, entah berapa, 50 mungkin. Mulai usia 16 sampai usia 50 mereka nantinya pada tahun 2035 ini yang akan dominan bisa mencapai 70 persen bahkan 75 persen sebagai penduduk Indonesia yang dilewati oleh bonus demografi itu.
Kita tidak bisa membayangkan, kalau usia produktif dominan sekali sampai 70 persen-75 persen, maka ini akan membangkitkan lamunan-lamunan panjang, bayangan-bayangan kesejahteraan pada anak-anak kita. Bagaimana tidak? Sekarang saja kita ini sudah hampir menjadi konsumen-konsumennya hasil produk-produk digital; sudah bisa melihat apa pun yang kita inginkan. Hanya dengan HP yang kecil itu mau melihat apa, tanpa kontrol. Kalau tahun 2035, lalu usia produktif dominan sekali, mungkin lamunan-khayalannya ini, maka mereka akan hidup sejahtera.
Saudaraku, kita harus ingat, untuk menyongsong bonus demografi, bagaimana kesejahteraan ini bisa merata, tidak mudah. Tidak cukup dengan sumber daya manusia yang pada saat ini. Korupsi masih merajalela. Apalagi kalau kita mau buka Youtube, yang namanya pembullyan-pembullyan, kebohongan, penipuan, bohong, menipu, menuduh, sekarang sudah tanpa ada upaya klarifikasi, langsung memviralkan.
Baca Juga
Kiai Miftach Sebut Anugerah Tanpa Kebijaksanaan Sebabkan Ekonomi Tertahan
Sehingga apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam: Saya’ti ‘alā ummati sanawatun khaddā’ātun, yukadzzabu fīhas shādiq, wa yushaddaqu fīhal kādzib, wa yukhawwanu fīhal amīn, wayu’tamanu fīhal khāin, wa yatakallamu fīha ar-ruwaybidlah. Qālu, wama ar-ruwaybidlah ya Rasūlallah? Qāla, ar-rajulut tāfih yatakallam fi ammril ‘āmmah. Hadītsun shahīh—au kamā qāla Rasūlullah shallallāhu ‘alaihi wasallam.
Akan datang masanya, periode-periodenya, yang penuh dengan tipu daya, dan sekarang sudah ada tanda-tanda itu: orang yang benar dianggap pembohong, pembohong dianggap orang yang paling benar, orang yang bisa dipercaya dianggap penghianat; dan sebaliknya, pengkhianat sangat dipercaya. Yang muncul adalah ruwaybidlah-ruwaybidlah. Para sahabat bertanya: Ya Rasūlullāh, wa man ruwaybidlah? Siapa ruwaybidlah itu, ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Ar-rajulut tāfih yatakallam fī ammril ‘āmmah. Seorang yang rendah, seorang yang hina—orang rendah dan hina itu bisa orang bodoh, tidak terpelajar, tidak berpendidikan, bisa juga orang yang tinggi ilmunya, tapi ilmunya tidak bermanfaat. Bisa ilmu-ilmu yang mereka miliki adalah ilmu hasil perselingkuhan di dalam belajar-mengajar.
Perselingkuhan ilmu pengetahuan
Apa bisa ilmu berselingkuh? Bagaimana tidak? Selama ilmu itu tidak didampingi oleh khasyyatulllāh (rasa takut kepada Allah subhānahu wa tā’ālā), selama ilmu itu tidak didiami oleh al-‘ibādah, maka ilmu akan selingkuh. Sebagaimana Imam Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan suatu hadits: Fid dunya tughyanāni, tughyānun fil ‘ilm wa tughyānun fil māl. Walladzī yunjīka min tughyanil ‘ilm, al-‘ibādah. Walladzī yunjīka min tughyānil māl, az-zuhdu fi—au kamā qāla.
Di dunia ini ada dua perselingkuhan. Yang pertama, perselingkuhan ilmu pengetahuan. Disebutkan, yang pertama, al-awwal, tughyānun fil-ilmi, perselingkuhan ilmu pengetahuan. Untuk menyelamatkan, meluruskan perselingkuhan ini, al-‘ibādah. Ibadah itulah yang digambarkan sebagai khasyyatullāh. Ibadah itulah yang digambarkan sebagai pengontrol, pengendali dalam awal-awal Al-Qur’an diturunkan dalam rangka penobatan kerasulan dan kenabian Nabi Besar Muhammad shallallāhu ‘alaihi wasallama, yakni Surat Al-‘Alaq: Iqra' bismi rabbikalladzî khalaq, khalaqal-insâna min ‘alaq, iqra' wa rabbukal-akram, alladzî ‘allama bil-qalam, allamal-insâna mâ lam ya‘lam…(QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Baca Juga
Pidato Rais ‘Aam PBNU tentang Islam dan Kemanusiaan, Ungkap Fragmen di Perang Yarmuk
Iqra' ini perintah. Belajarlah, bacalah, jadilah santri. Karena santri itu dulu—mudah-mudahan (hingga) sekarang—mondok tidak dibatasi dengan waktu. Saya tidak harus usia sekian, harus ini harus itu. Makanya Imam Syafi'i menyatakan: Mereka (yang) memenuhi persyaratan ber-thalabul ‘ilmi, antara lain, satu, adalah persyaratan di dalam mencari ilmu yaitu hilluz zāt, halal bekalnya. Yang kedua, ridlasy syekh, ridha daripada sang kiai. (Ketiga), yang penting adalah shafāul qalbi, kebersihan hati. Yang keempat, adalah du’āul wālidaini (doa kedua orang tua). Empat hal ini dulu dimiliki oleh para santri-santri, dan mudah-mudahan sekarang masih ada santri-santri yang memiliki karakter-karakter semacam ini, sifat-sifat mulia seperti ini. Kenapa? Bonus demografi ada di depan kita.
Tahun 2035, usia-usia produktif, dan sekarang sudah ada yang mulai membuat polling-polling bahwa usia produktif saat sekarang ini sudah mencapai 60% daripada 70 persen sampai 75 psrsen nanti pada 2035.
Sehingga saat-saat itu, khayalan-khayalan, keinginan-keinginan; ingin merasakan betapa indahnya kesejahteraan yang akan kita alami pada tahun itu, diisi oleh santri-santri. Saya katakan santri adalah kaum muda yang siap pakai untuk apa pun dan penuh dengan keikhlasan dan ketulusan. Siap pakai. Karena waktu belajar tidak ada nawaitu (niat) macam-macam, tapi manakala diberikan tugas-tugas, maka siap dia akan melakukan.
Tipu daya setan dan bala tentaranya
Oleh karena itu, saya ngeri kalau melihat di dalam Surat Al-Isra’. Di situ disebutkan bagaimana iblis dan atribut-atributnya, iblis dan bala tentaranya, diberikan kemampuan untuk menguasai Bani Adam ini. Di situ disebutkan:
Baca Juga
Mengenal Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar
Wastafziz manistatha‘ta min-hum bishautika wa ajlib ‘alaihim bikhailika wa rajilika wa syârik-hum fil-amwâli wal-aulâdi wa ‘id-hum, wa mâ ya‘iduhumusy-syaithânu illâ ghurûrâ, inna ‘ibâdî laisa laka ‘alaihim sulthân, wa kafâ birabbika wakîlâ (QS. Al-Isra’: 64-65).
Kalau kita melihat selain ayat inna ‘ibâdî laisa laka ‘alaihim sulthân (QS. Al-Isra’: 65) kita ngeri dalam perjalanan kehidupan kita; bagaimana iblis dan semua atributnya, jejaring-jejaringnya, diberikan kemampuan oleh Allah subhānahu wa ta'āla, kelonggaran oleh Allah subhānahu wa ta'āla untuk mengganggu, menggoda Bani Adam. Wastafziz manistatha‘ta min-hum… (QS. Al-Isra’: 64). Perdayakanlah, haru birulah siapa yang kira-kira kau mampu menguasai mereka. Dengan apa? Bishautik (QS. Al-Isra’: 64)—yang pertama. Shautik sekarang ini, ada sebagian ahli tafsir Al-Qur’an berani mengartikan alat-alat elektronika canggih—termasuk HP, bahkan termasuk internet, dan macam-macam. Bishautik. Kalau ini tidak cukup, wa ajlib ‘alaihim bikhailika wa rajilik (QS. Al-Isra’: 64), kerahkan bala tentaramu, infanteri dan yang berkuda sehingga hati mereka menjadi ragu-ragu, was-was. Karena apa? Karena bala tentara setan—yang baik itu berupa infanteri maupun berkuda—kekuatannya dikerahkan sekeras-kerasnya.
Kalau ini masih belum cukup, wa syârik-hum fil-amwâli wal-aulâd (QS. Al-Isra’: 64), bersekutulah kau dalam urusan ekonomi mereka. Bagaimana ekonomi Bani Adam ini menjadi ekonomi yang, paling tidak, syubhat, syukur-syukur bisa haram, apalagi “haram mughaladlah”. Bagaimana menciptakan ekonomi-ekonomi yang kira-kira mereka terjaring, terjerumus dalam kesyubhatan. Wal-aulâd, dan anak-anak mereka, laki-laki dan perempuan. Inilah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh setan dan semua atributnya. Allah subhānahu wa tā’ālā memberikan kesempatan itu, tapi Allah subhānahu wa ta’ālā punya penghalang, penghadang, atau obat mujarabnya untuk menangkal semuanya itu.
Doa berhubungan badan suami-istri
Sampai disebutkan, makanya dalam Islam itu, manakala panjenengan semuanya untuk mendapatkan keturunan, generasi harapan masa depan, terutama nanti yang bisa menolong pada bonus demografi 2045, generasi emas, Islam sudah memberikan resep, Idzā āta ahadukum ahlahu falyaqul: ‘Bismillāh Allāhumma jannibnasy syaithān wa jannibisy syaithān mā razaqtanā. Manakala suami istri mau “naik ring” bersama istri jangan lupa berdoa: ‘Bismillāh Allāhumma jannibnasy syaithān wa jannibisy syaithān mā razaqtanā. Sederhana sekali. Simpel sekali. Padahal hasilnya bagaimana? Kalau sampean “naik ring” bersama istri kok berdoa membaca ‘Bismillāh Allāhumma jannibnasy syaithān wa jannibisy syaithān mā razaqtanā, setan tidak akan punya kemampuan untuk mengganggu rezeki panjenengan berupa “naik ring” atau anak-anak. Karena apa? Rezeki itu mā yuntafa’u bih, semua yang bisa dimanfaatkan itu namanya rezeki—termasuk istri itu rezeki, suami itu rezeki, “naik ring” itu rezeki, berhasil mendapat keturunan juga rezeki. Ini semua bisa akan diganggu oleh setan. Tapi cukup dengan resep mau “naik ring”, ‘Bismillāh Allāhumma jannibnasy syaithān wa jannibisy syaithān mā razaqtanā. Kalau saya tanya, banyak yang tak hafal. Mulai sekarang, kalau ingin punya keturunan yang tidak bisa diganggu oleh setan, tidak mengikuti jejak setan, bacalah doa ini. Kalau anak nakal si biasa ya. Biasanya anak-anak kecil nakal itu justru tanda dia itu punya kecerdasan, asalkan nakalnya itu tidak terlalu. Jadi itu, Islam sudah menyinggung.
Wa ‘id-hum (QS. Al-Isra’: 64), kalau masih ini belum cukup, berikan janji. Janji-janji yang membuat mereka lupa akhiratnya. Wa mâ ya‘iduhumusy-syaithânu illâ ghurûrâ (QS. Al-Isra’: 64), ternyata janji setan hanya tipuan belaka.
Ayat ini yang sangat menyenangkan kita: Inna ‘ibâdî laisa laka ‘alaihim sulthân, wa kafâ birabbika wakîlâ (QS. Al-Isra’: 64). Bahwa hamba-hamba-Ku—hamba-hamba-Ku yang betul-betul ulâ'ika humul-mu'minûna ḫaqqâ, (QS. Al-Anfal: 4); hamba-hamba-Ku adalah mereka santri-santri, khususnya santri senior. Jadi santri itu tidak ada istilah purna, tidak ada istilah mantan santri—mestinya begitu. Walaupun kiai, itu santri. Kalau seperti sampean mungkin masih calon santri, tapi mudah-mudahan segera menjadi santri. Santri beneran. Allahumma Amin.
Bertawakkal kepada Allah
Inna ‘ibâdî laisa laka ‘alaihim sulthân, wa kafâ birabbika wakîlâ (QS. Al-Isra’: 64). Karena apa? Karena mereka telah mencukupkan diri, memasrahkan urusan dalam kehidupan dunia ini hanya kepada Allah subhānahu wa ta'āla, mewakilkannya kepada Allah subhānahu wa ta'āla, wakil kita adalah Allah subhānahu wa ta'āla. Kalau yang ada di parlemen, yang mengatakan wakil rakyat, mungkin itu perlu dipertanyakan. Wakil kita adalah Allah subhānahu wa ta'āla, wa kafâ birabbika wakîlâ (QS. Al-Isra’: 64). Sungguhkah yang di parlemen itu wakil kita? Mudah-mudahan, kita harapkan, dengan berkah Hari Santri, dzikra yaumi wiladati at-thālib al-wathani—dalam tahun—alfain wa khamsa wa ‘isyrin sanatan fi ‘asyra sanawātin fi ‘umriha, mudah-mudahan memberikan keberkahan bagi kita semuanya.
Doa dan harapan
Santri-santri yang duduk di sini mulai bakda Maghrib mudah-mudahan oleh Allah subhānahu wa ta'āla diberikan terus tambahan-tambahan ilmu. Disebutkan: Innamal-mu'minûnalladzîna idzâ dzukirallâhu wajilat qulûbuhum wa idzâ tuliyat ‘alaihim âyâtuhû zâdat-hum îmânaw wa ‘alâ rabbihim yatawakkalûn (QS. Al-Anfal: 2), imannya terus bertambah mendengar ayat-ayat Allah Swt.
Semoga panjenengan semuanya—santriwan, santriwati dan santri senior—malam ini, duduk panjangan ini mendapatkan tambahan-tambahan nilai yang berguna dan bermanfaat, diberikan usia panjang, bisa ketemu dengan Hari Santri yang akan datang, dan ketemu dengan bonus demografi sehingga kita bisa mengontrol, mengarahkan; sehingga kita bisa sangat dominan untuk mengatur keadaan dan syukur-syukur bisa mencapai pada hari (di) tahun 2045 sebagai generasi emas yang kita harapkan.
Semoga kehadiran sampean dan semua pejabat pemerintah yang terus memperhatikan kepentingan-kepentingan santri, pada khususnya, diberikan kemudahan oleh Allah subhānahu wa ta'āla, perjalanan yang baik, dan keberkahan di dalam memimpin negara kita—semoga mendapat rida Allah subhānahu wa ta'āla.
Kiranya itu yang bisa kami sampaikan. Mungkin lebih daripada 20 menit, mohon maaf al-faqir, karena perjalanan Surabaya ke sini lewat darat, jadi sangat-sangat payah sebetulnya. Kata Rasulullah: As-Safar qit’atun minal ‘azāb, perjalanan adalah sebagian potongan-potongan daripada siksaan. Tapi demi santri, saya hadir. [Hadirin tepuk tangan].
Semoga Allah subhānahu wa ta'āla memberikan jalan yang terbaik, walaupun di sana-sini ada cercaan, hinaan, memang itulah baju santri. Hunâlikabtuliyal-mu'minûna wa zulzilû zilzâlan syadîdâ (QS. Al-Ahzab:11). Sudah, terus maju, pantang mundur! Jangan menoleh, jangan hiraukan celoteh-celoteh yang ada. Tetap gali ilmu, cari ilmu yang selalu didampingi oleh khasyyatullāh, ilmu yang selalu diikuti oleh ibadah—dan inilah ilmu yang akan membawa kebahagiaan masa depan kita.
Ihdinash-shirâthal-mustaqîm (QS. Al-Fatihah: 6).
Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.
Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.