Resolusi Jihad NU: Jiwa Merdeka Santri-Kiai Nasionalis - NU Online

Dunia Berita
By -
0

 

Resolusi Jihad NU: Jiwa Merdeka Santri-Kiai Nasionalis

NU Online  ·  Rabu, 22 Oktober 2025 | 13:32 WIB


Ilustrasi Resolusi Jihad NU (Foto: AI)

Riadi Ngasiran

Kolomnis

Ketika menerbitkan Fatwa Jihad, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari sedang mengipaskan bara yang menjadikan api di kancah Revolusi. Ia adalah magnet semangat perjuangan, dan kobaran api itu menjalar ke segenap jiwa umat Islam, khususnya para santri. Umat Islam, tak bisa menganggap sepi. Justru kobaran api itu kian menjalar ke setiap jiwa mereka.


Fatwa Jihad ditulis di atas secara kertas, tertanggap 17 September 1945 di Pesantren Tebuireng Jombang. Tertulis, sebagaimana tercatat dalam dokumen Monumen Resolusi Jihad NU: (1) Hoekoemnja memerangi orang kafir jang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardoe ‘ain bagi tiap2 orang Islam jang moengkin meskipoen orang fakir. (2) Hoekoemnja orang jang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplot2annja, adalah mati sjahid. (3) Hoekoemnja orang jang memetjahkan persatoean kita sekarang ini wadjib diboenoeh. Ringkasan Fatwa tersebut dimuat Harian Kedaulatan Rakjat edisi 20 November 1945, sehingga tersebar luas di ruang-ruang publik dan jiwa para santri.


Berperang pada masa itu adalah hukumnya wajib bagi setiap orang Islam. Isy kariman au mut syahidan. “Hidup mulia atau mati syahid”. Karena itu, kewajiban (fardhu ‘ain) bagi mereka yang berada pada radius 94 kilometer, sedang bagi yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu sekuat kemampuan masing-masing. Bagi mereka yang ogah berperang dianggap khianat. 


Mereka dengan keberanian total,  sedia menyerahkan jiwa raganya demi kejayaan Islam, bangsa dan tanah airnya. Kemerdekaan yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, harus dipertahankan dari rongrongan musuh. Namun, tak semua santri mempunyai nyali yang kuat, ada dua pilihan: maju berperang atau pengkhianat? 


Di tengah kobaran Revolusi, pada saat tank-tank musuh di depan mata para santri pejuang itu memang tidak mundur. Di antara mereka melakukan aksi “jalan miring” untuk menghindari dicap sebagai “pengkhianat”. Demikian, anekdot dan lelucon hadir di tengah gejolak sejarah.


Fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy’ari berlaku “ke dalam” (internal) umat Islam dan kaum santri. Nahdlatul Ulama (NU) menjadikan fatwa tersebut sebagai pijakan untuk mengeluarkan Resolusi tentang Djihad fi Sabilillah -- kini dikenal sebagai Resolusi Jihad NU. 


Resolusi tertanggal 22 Oktober 1945 dikeluarkan Hofdbestuur (HB) Nahdlatoel Oelama tersebut disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Terdapat dua pokok penting. Pertama, Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha-oesaha jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannya. Kedua, Soepaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam. Resolusi Jihad bersifat eksternel, guna disampaikan kepada Pemerintah RI.

Baca Juga

Ternyata Ada Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad


Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad NU, dua keputusan yang saling menguatkan dalam menggelorakan api perjuangan Kemerdekaan Indonesia.


Jiwa Merdeka Santri Nasionalis
Sejak awal berkembangnya nilai-nilai kebangsaan (Nasionalisme) di Surabaya, kaum santri dan para kiai pesantren berperan serta dalam menanam kecintaan pada Tanah Air. Berdirinya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916 di kawasan Bubutan atau tepatnya di Kawatan VI no 22 Surabaya, jejaknya bisa kita saksikan hingga sekarang. 


Tokoh-tokohnya, KH Abdul Wahab Chasbullah (Penggerak Nahdlatul Ulama), KH Ridlwan Abdullah (Pencipta lambang Nahdlatul Ulama) dan KH Mas Alwi bin Abdul Aziz (Pengusul nama Nahdlatul Ulama), serta KH Mas Mansur – sebelum keluar dan aktif di Muhammadiyah.


Sebelumnya, telah berdiri Taswirul Afkar (Tanki Pemikiran) berupa kelompok diskusi. Pada fase awal pada 1914, Taswirul Afkar berdiri atas prakarsa tokoh sentral di Surabaya, yakni KH. Wahab Hasbullah, dan KH Dahlan Achyad, Kebondalem, pada tahun 1914. Taswirul Afkar saat itu menjadi wadah silaturrahmi ulama Ahlussunnah wal-Jamaah untuk membangkitkan ghirah nasionalisme. 


Salah satu langkah konkret dari kelompok diskusi ini adalah dibentuknya kelompok kerja yang diberi nama Nahdlatul Wathan. Sesuai dengan namanya, seperti gaung bersambut Nahdlatul Wathan mendapat sambutan hangat dari sejumlah tokoh masyarakat. Dalam sejarah Indonesia, mencatat pada tahun 1924, dr. Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya.


Pada perkembangannya, Tashwirul Afkar dan Nahdlatul Wathan mengkhususkan kegiatan dalam usaha mencerdaskan masyarakat dengan mendirikan suatu lembaga pendidikan yang menganut sistem klasikal (berjenjang), meskipun tetap mengadakan forum diskusi.  Kedua lembaga ini menunjukkan hasil yang memuaskan, khususnya dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas berdasar ajaran Islam a-la Ahlussunnah wal Jamaah.


Dalam usaha menjaga keberlangsungan pendidikan dan pemikiran, para kiai dan ulama di Surabaya merasa perlunya dana guna keberlangsungan aktivitas tersebut. Maka para kiai mendirikan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pengusaha atau Saudagar), dimotori KH M. Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan KH Bishri Syansuri. 


Kiai Wahab yang tinggal di Kertopaten, dikenal mempunyai kekayaan yang berlebih pada ketika itu, beberapa ulama lain pujn mempunyai usaha tersendiri yang dapat menyokong kemampuan keuangan berbagai aktivitas tersebut. Demikian pula Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng, merupakan tokoh yang memiliki hektaran tanah sawah sebagai usaha menopang perjuangannya.


Pada masa perubahan geo-politik global, ditandai tumbangnya Dinasti Ustmaniyah di Turki dan kemenangan Ibnu Sa'ud di kawasan Hijaz, membuat kegelisahan intelektual pada kiai dan ulama Ahlussunnah Waljamaah.  Para kiai dan ulama, dalam serangkaian musyawarah baik di Kertopaten maupun di Bubutan Surabaya, membentuk Komite Hijaz.


Komite Hijaz, antara lain, membawa misi untuk meminta kepada Raja Ibnu Saud agar menghentikan pembongkaran makam Siti Khadijah dan makam keluarga Nabi lainnya, serta tetap memperbolehkan umat Islam untuk menjalankan ibadahnya sesuai ajaran Empat Mazhab di Masjidil Haram dan kawasan tanah suci lainnya.

Baca Juga

Sejarah Hari Santri


Komite Hijaz yang membawa misi penting itu, berikirim surat untuk bisa menemui Raja Arab Saudi, Ibnu Sa'ud, dipimpin KH Abdul Wahab Hasbullah, Syaikh Ghanaim Al-Amir al-Mishri, dan KH Asnawi Kudus. Momentum terbentuknya Komite Hijaz pada 31 Januari 1926, menjadi tonggak berdirinya Nahdlatul Ulama, dideklarasikan di Bubutan VI/20 Surabaya (kediaman KH Ridlwan Abdullah). 


Rapat Bersejarah dan Resolusi Jihad NU
Dalam perjalanan sejarah, ketika Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,  kantor Hofdbestuur Nahdlatul Oelama (HBNO) atau Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berada di Bubutan VI/2 Surabaya. Di sinilah, sebanyak 200 ulama dan kiai, wakil-wakil Konsul NU se-Jawa dan Madura mengadakan rapat pada 21-22 Oktober 1945, dalam menyikapi kondisi negara yang sedang gawat yang hendak dikuasi tentara Sekutu dan diboncengi Belanda (NICA). Maka, lahirlah Resolusi Jihad yang dikeluarga PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945. (Baca: Resolusi Djihad NU, Perang Sabil di Surabaya Tahun 1945).


Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, tak lepas dari peran serta pelbagai elemen masyarakat secara luas, termasuk di antaranya kaum santri, kiai dan orang-orang pesantren. Mereka secara organik tergabung dalam Laskar Hizbullah (beranggotakan santri), Laskar Sabilillah (beranggotakan kiai-kiai), yang terpanggil atas adanya Fatwa Jihad dari Kiai Muhammad Hasyim Asy'ari, Rais Akbar Nahdlaatul Ulama (NU) dan menjadi pijakan keputusan PBNU ketika mengeluarkan Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945.


Laskar Hizbullah merupakan laskar beranggotakan santri, yang ketika zaman pendudukan Jepang (1944) telah dilatih dan digembleng di Cibarusah, dekat Bogor, seiring dengan terbentuknya tentara Pembela Tanah Air (PETA). Sehingga, ketika Bumi Pertiwi Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 mengalami ancaman dari Sekutu yang diboncengi tentara NICA (Belanda) maka darah para santri pun mendidih bersama Arek-Arek Surabaya.


Keterikatan spiritual antara Fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy'ari (Bapak Umat Islam Indonesia) dan Resolusi Jihad NU -- sebagai panggilah berjihad dan Perang Sabil bagi para santri dan kiai pesantren--  terbukti ketika Bung Tomo dalam setiap pidato radio yang meledak-ledak untuk mengobarkan semangat juang Arek-Arek Surabaya, selalu diawali dengan Basmalah (Bismillahirrahmanirrahiim) dan Takbir (Allahu akbar) tiga kali.


Resolusi Jihad NU yang terbit pada tanggal 22 Oktober 1945 -- kini menjadi momentum peringatan Hari Santri Nasional -- menjadi katalisator Perang Sabil bagi kaum santri dan orang-orang pesantren pada Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.


Kepahlawanan Surabaya
Monumen Tugu Pahlawan, berdiri di atas lokasi yang  dulu adalah Gedung Raad van Justitie (pengadilan) yang dibangun pemerintah kolonial Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang, dijadikan Gedung Kempeitai (Polisi Militer Jepang), menjadi tempat penyiksaan para pejuang bangsa Indonesia.


Monumen Tugu Pahlawan, dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10 November 1945. Kala itu, banyak warga Surabaya ikut gugur saat berperang. Mereka berjuang melawan Sekutu yang datang diboncengi Belanda. 


Pertempuran di Surabaya 1945, bagi para santri adalah Perang Sabil, merupakan peristiwa terbesar dalam Sejarah Revolusi Indonesia yang berlangsung selama 3 minggu. Tercatat ada 20.000 warga Surabaya yang gugur saat peperangan terjadi.


Peletakan batu pertama dilakukan langsung oleh Bung Karno sendiri pada 10 November 1951. Untuk pelaksanaan pembangunan Tugu Pahlawan diserahkan kepada Wali Kota Surabaya Doel Arnowo dan dilanjutkan oleh Wali Kota Surabaya R. Moestajab.

Baca Juga

Santri, Motor, dan Perang Kemerdekaan 1945


Berakhirnya masa Revolusi Indonesia, para ulama di Surabaya berpikir untuk mengisi kemerdekaan diperlukan tenaga-tenaga ahli dan berpendidikan. Maka berdirinya Institut Teknologi 10 Nopember 1945, tak lepas dari ide awal yang disampaikan KH Ridlwan Abdullah dan H. Yahya Hasyim yang mewujudkan gagasan itu. Nama "10 Nopember 1945" adalah semangat heroik momentum bersejarah tersebut, yang awalnya berkampus di kawasan Baliwerti – Alun-alun Contong, Surabaya. Nama H. Yahya Hasyim, bersama pendiri ITS lain seperti dr. Angka Nitisastro, dan Ir. Sundjasmono, diabadikan pada prasasti di gedung kampus berlokasi di kawasan Sukolilo Surabaya itu. 


Jadi, tokoh-tokoh NU berperan langsung dalam membangun Peradaban di Kota Surabaya, termasuk berdirinya Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya dan lembaga-lembaga pendidikan, seperti Yayasan Khadijah dan Universitas Nahdlatul Ulama (UNUSA) dan sejumlah lembaga pendidikan lainnya yang turut memberi warna bagi perkembangan peradaban di kota Surabaya.


Semoga kita tak melupakan sejarah. Sejarah perjuangan para ulama, kiai pesantren dan kaum santri di negeri ini. 


Riadi Ngasiran, Ketua Tim Kerja Monumen Resolusi Jihad NU Surabaya, Anggota Tim Kerja Museum Nahdlatul Ulama (2003-2012).

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
6/related/default