Hubungan Sufi dan Penguasa dari Masa ke Masa
NU Online · Jumat, 24 Oktober 2025 | 13:00 WIB
Ilustrasi tarian sufi. Sumber: Canva/NU Online.
Kolomnis
Hubungan antara sufi dan penguasa (politik) adalah topik yang selalu dinamis dan penuh ketegangan sepanjang sejarah. Hubungan mereka tidak pernah benar-benar terpisah. Sebaliknya, para sufi sering berdiri di persimpangan, mereka fokus pada pembersihan jiwa pribadi (tazkiyatun nafs), sambil tetap aktif mereformasi masyarakat dan tata kelola negara. Artinya, Tasawuf tidak bisa hanya dilihat sebagai ibadah personal. Dia punya kekuatan sosial-politik yang terbukti mampu memengaruhi kebijakan dan struktur kekuasaan.
Keteraturan dalam diri mereka itu salah satunya dilandasi oleh firman Allah SWT yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
Baca Juga
Inilah Obat Hati di Kalangan Sufi
Artinya, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjihad di jalan-Nya dalam barisan yang teratur. Mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang terususun kokoh,” (QS. Ash-Shaff: 4).
Pendekatan kaum Sufi terhadap kekuasaan melahirkan dua model peran utama yang menarik untuk diulas dalam artikel ini, yakni pertama, peran Sufi yang akomodatif (damai), di mana mereka menjadi penasihat spiritual dan memberi legitimasi kepada kekuasaan di lingkaran keraton. Kedua, peran Sufi yang proaktif (gerak), yaitu sebagai motor penggerak persatuan sosial, pembentuk identitas bersama, dan bahkan terkadang, mereka jadi pihak yang menentang kalau ada penindasan.
Tasawuf sebagai Jalan Etika dan Siyasyah sebagai Tata Kelola
Landasan filosofis yang menyatukan Tasawuf dan politik sudah tertanam kuat sejak pemikiran Islam klasik. Mereka menolak memisahkan secara mutlak antara urusan duniawi (aktivitas sehari-hari) dengan urusan akhirat. Imam Al-Ghazali, seorang filsuf dan Sufi terkemuka, secara eksplisit menyatakan bahwa politik (siyasyah) dan etika (akhlak) merupakan kesatuan sinergis yang tak terpisahkan, ibarat saudara kembar.
Baca Juga
Sufi, Tarekat, dan Perkembangannya di Nusantara
Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, sang Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan:
الملك والدين توأَمان فالدين أَصل والسلطان حارس وما لا أَصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع
Artinya: “Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang,” (Ihya’ 'Ulumuddin, [Beirut, Darul Ma’rifah: tt], jilid. I, hlm. 17).
Hubungan Sufi dan Penguasa
Berdasarkan penelitian sejarah, kaum Sufi memiliki jangkauan peran yang lebar dalam hubungannya dengan kekuasaan. Secara garis besar, peran mereka terbagi menjadi dua kutub utama yang selalu ada dalam dinamika sejarah Islam:
1. Sufi penasihat
Secara historis, hubungan dekat antara Sufi dan penguasa, khususnya dalam sistem monarki Islam, menghasilkan hubungan simbiosis mutualisme yang dikenal sebagai patron-klien. Sejak abad ke-17, mayoritas Raja Muslim di Asia Tenggara mengangkat tokoh Sufi sebagai penasihat. Dalam skema ini, penguasa mendapat legitimasi spiritual dan karisma yang ia butuhkan untuk menarik kesetiaan rakyat.
Sebaliknya, Guru Sufi (mursyid) mendapatkan perlindungan dari kerajaan dan fasilitas untuk menyebarkan ajaran tarekatnya. Keraton bahkan sering berfungsi sebagai pusat utama Islamisasi (penyebaran Islam berpusat di istana).
Para Sufi terlibat secara langsung dalam sistem pemerintahan, sering kali menjabat posisi formal seperti mufti atau penasihat. Tujuannya adalah memberikan legitimasi spiritual kepada pemimpin dan memastikan kebijakan yang dibuat sejalan dengan etika Islam (Inilah yang dinamakan Model Akomodatif).
Sebagai contoh, tak bisa dipungkiri, bahwa pengaruh ajaran sufisme di Nusantara, khususnya setelah Al-Raniri meniupkan ajaran neo-sufisme, yang menekankan pada unsur ortodoksi Islam dan juga cenderung pada sikap aktivis ketimbang pasifis, telah berhasil merangsang semangat perlawanan dan juga memperkuat solidaritas rakyat untuk melawan kolonialisme. (Abdul Hadi, Islam di Indonesia dan Transformasi Budaya, [Jakarta, Mizan dan Yayasan Festival Istiqlal: 2006], hlm. 484)
Keterlibatan Sufi melampaui nasihat moral; banyak di antara mereka menduduki posisi formal yang krusial dalam struktur birokrasi kerajaan. Studi kasus Kesultanan Aceh menonjolkan peran sentral ini. Tokoh seperti Syamsudin Al-Sumatrani, seorang ulama sufi terkemuka dan murid Hamzah Fansuri, banyak menghabiskan waktunya dalam dunia pemerintahan. Ia menjabat sebagai mufti dan juga penasihat utama Sultan Iskandar Muda. Selain itu, ada juga Nuruddin Ar-Raniri yang kerap memberi nasihat kepada Sultan dalam berbagai masalah yang dihadapinya.
Bahkan dalam karyanya yang berjudul, Bustanus Salathin, beliau mengungkapkan nasihatnya pada Sultan agar menjadi raja dan khalifah yang baik di muka bumi. Dengan mengutip Al-Qur’an, beliau menjelaskan tanggung jawab dan kewajiban seorang Sultan pada rakyatnya. Selain itu, beliau juga menjelaskan tentang pentingnya melindungi yang lemah dan mendatangkan kebaikan pada rakyat, agar mampu mendapatkan rahmat dari Tuhan.
Barangkali karena nasihat Ar-Raniri ini lah, Sultan akhirnya menghapuskan hukuman yang tidak Islami, seperti mencelup minyak dan menjilat besi pada hukum positif kesultanan Aceh. Selain itu, sang Sultan juga melarang membahas dan mendiskusikan wujud Tuhan dengan akal. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII [Bandung, Mizan: 1998], hlm. 186).
Para penganut ajaran sufisme yang terorganisasi dan terlembaga dalam bentuk tarekat juga berhasil mengintegrasikan etnik-etnik Nusantara yang berbeda-beda untuk berkonfrontasi melawan kolonialisme. Sebelumnya, hampir tak ada kekuatan yang mampu menyatukan berbagai etnik sebelum tokoh ulama/pemimpin tarekat berhasil menyatukan mereka dalam suatu struktur yang solid dan terorganisir. (Taufani, Pengaruh Sufisme di Indonesia, [Jurnal Potret Pemikiran, Vol. 20, No. 1, Januari-Juni 2016], hlm. 96)
2. Sufi pemersatu bangsa
Di tengah Indonesia yang terkenal dengan masyarakat majemuk dan menganut pluralisme, nilai-nilai Tasawuf sangat relevan. Tasawuf menyediakan landasan etis yang kuat untuk kerukunan antarumat beragama. Tak hanya itu, nilai Tasawuf seperti sikap amanah (bertanggung jawab) dan ahsan (bersungguh-sungguh mencapai kualitas terbaik) memiliki korelasi signifikan dengan profesionalisme, yang merupakan elemen krusial dalam pembangunan kapasitas bangsa. (Hariyanto, Transformasi Tasawuf Modern Menurut Nasaruddin Umar dan Relevansinya dalam Masyarakat Multikulturalisme di Indonesia, [Jurnal Hikamia, Volume 4, No 1, Maret 2024], hlm. 14)
Seorang sufi berperan besar dalam dinamika bangsa dan memperkuat rasa nasionalisme, bahkan melampaui batas-batas urusan agama. Sisi metafisik (batin) yang dibawa sufi turut memengaruhi pembentukan identitas kita sebagai masyarakat kolektif.
Ketika politik identitas sering memicu polarisasi di Indonesia, ajaran Tasawuf yang menekankan etika universal, cinta kasih, dan toleransi menawarkan narasi penyeimbang yang kuat untuk persatuan. Studi kasus yang menarik adalah Sufi Batak. Sebagai pemimpin spiritual dan tradisional, Tarekat Naqsyabandiyyah-Khalidiyyah berperan penting dalam interaksi sosial dan agama di Tanah Batak. Mereka sukses membangun persaudaraan lintas iman di mana Muslim dan Kristen diakui sebagai "saudara kandung" dalam ikatan budaya Batak. (Ziaulhaq Hidayat, Peran Sufi Batak dalam Persaudaraan Lintas Iman di Tanah Batak: Studi Kasus Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah Serambi Babussalam, [Jurnal Akademika, Vol. 21, No. 02 Juli-Desember 2016], hlm. 311).
Intinya, para Sufi bisa jadi pemersatu bangsa itu karena nilai-nilai spiritual yang mereka punya berhasil diterjemahkan jadi etika di kehidupan sosial.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan, Sufisme, yang berfokus pada pemurnian hati dan etika, menawarkan solusi agar politik kembali beradab dan beretika. Meskipun hubungan antara Sufi dan penguasa sering dinamis dan kontradiktif, intinya adalah upaya menjembatani idealisme spiritual dengan realitas politik praktis.
Baik saat berperan sebagai penasihat yang menyuntikkan akhlak pada kekuasaan maupun sebagai pemersatu yang menebarkan mahabbah di masyarakat, seorang sufi memiliki peran yang krusial dalam membentuk karakter bangsa dan memastikan politik dijalankan untuk mencapai kebaikan dan manfaat universal (kemaslahatan). Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.