Khutbah Jumat: Cinta kepada Allah sebagai Puncak Kebahagiaan Hamba
NU Online · Rabu, 1 Oktober 2025 | 15:00 WIB

Ilustrasi Allah. (Foto: NU Online)

Penulis
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh persaingan, manusia sering mengejar kebahagiaan lewat harta, jabatan, dan popularitas. Namun semua itu hanyalah fatamorgana yang cepat pudar. Hati tetap gelisah, jiwa tetap kosong. Padahal, sumber kebahagiaan sejati telah diajarkan oleh para ulama dan diwariskan melalui agama, yakni cinta kepada Allah ta’ala.
Naskah khutbah Jumat berikut ini berjudul, “Khutbah Jumat: Cinta kepada Allah Ta’ala sebagai Puncak Kebahagiaan Hamba”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Semoga bermanfaat!
Khutbah I
الحَمْدُ للهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى، لَهُ الحَمْدُ فِي الدُّنْيَا وَالأُخْرَى، لَا نُحْصِي ثَنَاءً عَلَى رَبِّنَا هُوَ كَمَا أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ بِأَسْمَائِهِ الحُسْنَى وَصِفَاتِهِ العُلَى، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ ذُو العِزَّةِ وَالجَبَرُوتِ، لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ فِي الأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا وَسَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الْمُصْطَفَى الْمَبْعُوثُ بِالرَّحْمَةِ وَالْهُدَى، اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى عَبْدِكَ وَخَلِيلِكَ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الْبَرَرَةِ الأَتْقِيَاءِ
Baca Juga
Khutbah Jumat: Cinta sebagai Fondasi Generasi Rahmatan lil Alamin
أَمَّا بَعْدُ: فَاتَّقُوا اللهَ - أَيُّهَا الْمُسْلِمُونَ - بِفِعْلِ مَا أَمَرَكُمْ بِهِ، وَتَرْكِ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ؛ فَمَنْ اتَّقَى اللهَ وَقَاهُ، وَصَرَفَ عَنْهُ مِنَ الْمَهَالِكِ وَالشُّرُورِ مَا يَخْشَاهُ، وَأَحْسَنَ عَاقِبَتَهُ فِي دُنْيَاهُ وَأُخْرَاهُ فَجَعَلَ الْجَنَّةَ مَأْوَاهُ. فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ: وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِۙ
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah ta’ala,
Pada kesempatan yang penuh berkah ini, marilah kita sama-sama menjaga sekaligus meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah ta’ala, dengan berupaya menambah kecintaan kita kepada-Nya. Karena dengan cinta, baik perintah maupun larangan yang berasal dari Allah ta’ala senantiasa kita laksanakan dengan mudah.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin jilid IV, halaman 136 menjelaskan bahwa kebahagiaan tertinggi bagi umat Muslim di akhirat bukanlah sekadar masuk surga dengan segala kenikmatannya, melainkan kesempatan untuk berjumpa dengan Allah ta’ala, melihat-Nya, dan berada dekat dengan-Nya.
Betapa agung kenikmatan itu. Cinta yang selama ini dipupuk seorang hamba di dunia, akan mencapai puncak kebahagiaan ketika akhirnya ia bertemu dengan Dzat yang dicintainya. Bayangkan bagaimana hati seorang pecinta yang rindu bertemu dengan kekasihnya setelah sekian lama berpisah, tentu kebahagiaannya tak terlukiskan.
Baca Juga
Khutbah Jumat: Tenang dalam Takdir dan Teguh dalam Ikhtiar
Demikian pula seorang hamba yang hatinya penuh cinta kepada Allah, ketika di akhirat ia benar-benar dipertemukan dengan Rabbul ‘alamin, maka tidak ada kenikmatan yang bisa menandingi momen itu.
Namun, Imam al-Ghazali juga menegaskan bahwa kenikmatan ini sebanding dengan kadar cinta seorang hamba kepada Allah di dunia. Semakin besar cinta seorang hamba kepada Allah, semakin besar pula kebahagiaan yang dirasakannya kelak. Maka tugas kita di dunia adalah menumbuhkan dan menguatkan rasa cinta ini, karena di situlah letak kunci kebahagiaan sejati.
Allah ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِۙ
Artinya, “Dan orang-orang yang beriman itu sangat besar cintanya kepada Allah,” (QS. Al-Baqarah: 165).
Ayat ini menegaskan bahwa salah satu ciri orang beriman adalah kuatnya cinta mereka kepada Allah. Cinta ini mengalahkan cinta kepada selain-Nya, karena mereka sadar bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang pantas dicintai lebih dari Allah yang menciptakan, memberi rezeki, mengatur, dan menghidupkan mereka.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah ta’ala,
Para ulama memberikan gambaran tentang apa itu cinta kepada Allah. Amir bin Abdi Qais rahimahullah, seorang tabi’in yang dikenal kezuhudannya, pernah berkata, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya yang berjudul “al-Awliya”, jilid 1 halaman 30:
لَقَدْ أَحْبَبْتُ اللَّهَ حُبًّا سَهَّلَ عَلَيَّ كُلَّ مُصِيبَةٍ، وَأَرْضَانِي بِكُلِّ قَضِيَّةٍ، فَمَا أُبَالِي مَعَ حُبِّي إِيَّاهُ مَا أَصْبَحْتُ عَلَيْهِ وَمَا أَمْسَيْتُ
Artinya, “Sungguh aku telah mencintai Allah dengan cinta yang membuat semua musibah terasa ringan, membuatku ridha dengan segala ketetapan-Nya. Maka aku tidak peduli bagaimana aku mengawali atau mengakhiri hariku, selama aku dalam cinta kepada-Nya.”
Perkataan ini menunjukkan bahwa cinta kepada Allah melahirkan ketenangan jiwa. Ia mampu menahan keluhan, meredakan kegelisahan, dan menuntun hati untuk menerima segala ketentuan Allah dengan lapang dada.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah ta’ala,
Rasulullah SAW pun bersabda dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari:
مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ
Artinya, “Barangsiapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun mencintai perjumpaan dengannya. Dan barangsiapa yang membenci perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun membenci perjumpaan dengannya.”
Hadits ini menjelaskan bahwa cinta kepada Allah akan menumbuhkan kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya. Sebaliknya, orang yang tidak mencintai Allah tentu enggan untuk bertemu dengan-Nya, karena ia merasa tidak siap, atau bahkan merasa asing dengan-Nya.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah ta’ala,
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara menumbuhkan cinta kepada Allah? Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin jilid 4 halaman 136 menyebutkan dua hal penting. Pertama, seorang hamba harus berusaha memutus ketergantungan hatinya dari dunia. Hati itu bagaikan sebuah wadah, tidak akan bisa dipenuhi kecintaan kepada Allah jika masih penuh dengan cinta kepada dunia.
Kedua, cinta kepada Allah tumbuh jika seorang hamba mengosongkan hatinya dari selain Allah, lalu mengisinya dengan zikir, ibadah, dan amal saleh. Hati yang penuh dengan zikir dan ketaatan akan semakin lembut, semakin dekat, dan semakin rindu kepada Allah.
Cinta ini bisa kita latih dengan berbagai cara. Membaca dan merenungkan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah yang akan menuntun hati kita untuk semakin mengenal-Nya. Memperbanyak zikir, karena zikir adalah makanan hati yang menghidupkan rasa cinta.
Melaksanakan shalat dengan khusyuk, karena shalat adalah pertemuan kita dengan Allah lima kali sehari. Menjauhi maksiat, karena dosa akan mengotori hati dan melemahkan cinta. Dan tentu saja, banyak berdoa agar Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang dicintai-Nya.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah ta’ala,
Di negeri kita, Kementerian Agama tengah menggagas sebuah visi pendidikan yang disebut Kurikulum Cinta. Kurikulum ini ingin menanamkan cinta sejak dini, bukan hanya cinta dalam pengertian emosional, tetapi cinta yang lahir dari hati yang mengenal Allah. Jika seorang anak dididik untuk mencintai Allah, maka ia akan mudah mencintai Rasulullah, mencintai orang tuanya, mencintai gurunya, mencintai sahabatnya, bahkan mencintai tanah airnya.
Ketika cinta kepada Allah telah memenuhi hati seorang hamba, maka segala sesuatu di dunia ini terasa ringan. Tidak ada lagi musibah yang terlalu berat, tidak ada lagi ujian yang terlalu menyakitkan, karena hatinya sudah penuh dengan rasa rindu kepada Allah. Bahkan kerelaan menerima takdir, baik yang indah maupun pahit, menjadi tanda keikhlasan cinta tersebut. Allah berjanji dalam Al-Qur’an:
يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗ
Artinya, “Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya,” (QS. Al-Maidah: 54).
Inilah cita-cita tertinggi seorang mukmin, yaitu dicintai oleh Allah. Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dari itu. Kekayaan, kedudukan, jabatan, dan kemegahan dunia semuanya akan sirna, tetapi cinta Allah kekal abadi, dan itulah yang akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat.
Maka marilah kita sama-sama berusaha menumbuhkan cinta ini, dengan memperbanyak ketaatan, membersihkan hati dari cinta dunia yang berlebihan, dan meneguhkan niat bahwa segala amal ibadah kita semata-mata ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang mencintai-Nya dengan sepenuh hati, dan semoga kita termasuk orang-orang yang kelak dikaruniai kenikmatan terbesar di akhirat, yakni berjumpa dengan Allah Rabbul ‘alamin. Amin ya Rabbal ‘alamin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ، وَنَفَعَنِيْ وَاِيَاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ جَمِيْعَ أَعْمَالِنَا إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ حَمْدًا كَمَا أَمَرَ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، اِلَهٌ لَمْ يَزَلْ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيْلًا. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَحَبِيْبُهُ وَخَلِيْلُهُ، أَكْرَمُ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ، اَلْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ كَانَ لَهُمْ مِنَ التَّابِعِيْنَ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِيْنَ
أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَذَرُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ. وَحَافِظُوْا عَلَى الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ وَالصَّوْمِ وَجَمِيْعِ الْمَأْمُوْرَاتِ وَالْوَاجِبَاتِ. وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلَائِكَةِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ. إِنَّ اللهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فِيْ العَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وِالْأَمْوَاتِ. اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَةً، اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
عِبَادَ اللهِ، اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرُكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas PTIQ Jakarta.