Bershalawat Sambil Berjoget, Bagaimana Menurut KH Hasyim Asy’ari?
Salah satu dakwah Islam di Indonesia yang berhasil menggugah hati masyarakat dengan kuantitas yang relatif tinggi adalah shalawat (juga kasidah). Salah satu instrumen yang sering digunakan dalam shalawat dan qasidah ini adalah rebana, baik itu banjari maupun habsyi. Berjalannya tren shalawat yang terus meningkat, banyak lahir majelis-majelis baru dari berbagai daerah. Di samping memiliki dampak yang kuat terhadap dunia dakwah Islam. Ada salah satu hal yang menjadi perbincangan, yakni munculnya tren berjoget-joget saat lantunan berlangsung.
Tren ini menjadi perdebatan tersendiri. Kelompok yang menolak tren ini memandang bahwa mengikuti majelis shalawat harus dilakukan dengan adab yang pantas, supaya tidak menyerupai konser yang disertai maksiat. Kelompok yang menerima tren ini memandang bahwa itu adalah ekspresi cinta kepada Nabi, atau ekspresi menikmati keindahan syair.
Pandangan Pendiri NU Terhadap Majelis yang Bercampur Maksiat
KH Hasyim Asy’ari selaku pendiri NU, salah satu jam’iyyah yang identik dengan pelestarian seni shalawat, memiliki pandangan tersendiri terhadap hal serupa dengan tren berjoget dalam majelis shalawat akhir-akhir ini.
Pandangan ini ditulis di dalam kitab karangannya, At-Tanbihatul Wajibat li-Man Yashna’ul Maulid bil-Munkarat. Kitab ini oleh Kiai Hasyim ditulis dalam konteks merespon terhadap kegiatan maulid yang bercampur dengan kegiatan maksiat. Pada saat itu Kiai Hasyim telah menyaksikan kegiatan maulid pada 25 Rabi’ul Awal 1355 H.
Kegiatan tersebut diawali dengan kegiatan sebagaimana maulid, namun kejanggalan dirasa ketika kegiatan tersebut dicampurkan dengan hal yang tidak sebagaimana mestinya. Kegiatan tersebut dilakukan dengan bercampurnya laki-laki dan perempuan tanpa pembatas, terdapat joget-jogetan canda tawa, permainan menyerupai judi, dan sebagainya.
Kiai Hasyim merespon kegiatan semacam itu dalam kitabnya:
عمل المولد على الوصف الذي وصفته أولا حرام لا يختلف في حرمته اثنان و لا ينتطح في منعه عنزان و لا يستحسنه ذوو المروءة و الإيمان و إنما يرغب فيه من طمست بصيرته و اشتدت في الماكل ة المشارب رغبته و لا يخاف في المعاصى لومة لائم و لا يبالى أنه من العظائم و كذا التفرج عليه و الحضور فيه و اعطاء المال لأجله فإن ذلك كله حرام شديد التحريم لما فيه من المفاسد التي ستذكر إن شاء الله
Artinya: “Memperingati maulid sebagaimana yang saya jelaskan adalah haram. Tidak ada perbedaan pendapat terkait keharamannya, tidak ada yang menentang untuk melarangnya dan tidak dinilai baik oleh orang yang memounyai harga diri dan keimanan. Sesungguhnya yang menyukai peringatan maulid seperti itu hanyalah orang-orang yang mata hatinya sudah dibutakan, sangat gemar makan dan minum saja, tidak takut bermaksiat meskipun dicerca oleh orang-orang yang mencerca, serta tidak peduli bahwa peringatan maulid seperti di atas termasuk dosa besar. Demikian juga dengan orang yang melihat, menghadiri, dan memberi bantuan harta (menyumbang) peringatan maulid tersebut. Sesungguhnya hal demikian semuanya haram dengan kadar yang sangat diharamkan karena di dalamnya terdapat kerusakan-kerusakan yang insyallah akan dijelaskan (di akhir bab), insyaallah”. (KH. Hasyim Asy’ari, At-Tanbihatul Wajibat li-Man Yashna’ul Maulid bil-Munkarat. Hlm 17-18)
Lalu, bukankah itu bentuk ekspresi cinta kepada Nabi Muhammad? Dalam hal ini, kita bisa merujuk pada bab keenam kitab tersebut bahwa Kiai Hasyim berpandangan bahwa kegiatan maulid yang dicampuri hal-hal munkar alih-alih ekspresi cinta, hal itu pada kenyataannya adalah bentuk penghinaan, merendahkan, dan menyakiti Nabi. Menurut Kiai Hasyim, bentuk hormat kepada Nabi harus dilakukan dengan apa yang layak untuk Nabi. Bisa dipahami juga bahwa mencintai Nabi berikut ekspresinya juga harus demikian.
Kiai Hasyim juga mengingatkan bahwa jangan sampai kegiatan maulid yang bercampur dengan kemunkaran itu dilakukan oleh kalangan yang paham agama, karena bisa berimbas orang awam mengira hal itu diperbolehkan sehingga diikuti.
Gerakan yang Boleh dan Tidak Boleh
Mengutip dari keputusan LBM PWNU DIY 4 Juli 2023 di Pesantren Darul Qur’an wal Irsyad Wonosari, Gunungkidul, gerakan berlebihan dalam tarian berupa gerakan gemulai, meliuk, atau gerakan naik turun yang diterapkan dalam kegiatan shalawat hukumnya tidak diperbolehkan. Sedangkan untuk tari sufi hukumnya boleh. Ketidakbolehan gerakan berlebihan tersebut salah satunya merujuk pada pendapat Syekh Wahbah Zuhaili:
وأما الرقص الذي يشتمل على التثني والتكسر والتمايل والخفض والرفع بحركات موزونة فهو حرام ومستحله فاسق
Artinya: “Adapun tarian yang melibatkan gerakan meliuk, gemulai, bergoyang, menurun, naik dengan gerakan yang teratur, maka itu diharamkan dan orang yang menghalalkanya dianggap fasik.” (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu [Damaskus: Darul Fikr, Tanpa Tahun] Juz 4 Hlm 2665)
Dari teks di atas bisa dipahami bahwa jika gerakan tidak sampai meliuk, bergoyang, dan naik-turun, atau intinya tidak bersifat erotis, maka hal tersebut diperbolehkan. Contohnya adalah gerakan yang dilakukan saat berdzikir, seperti ketika mengucapkan kalimat tahlil (Lailahaillallah) dengan gerakan kepala menggeleng ke kanan, tengah, dan kiri.
Atau dalam konteks bershalawat atau qasidah, boleh dilakukan gerakan-gerakan berupa tarian yang tidak masuk pada kriteria yang diharamkan di atas, misalnya tari sufi, tarian qasidah modern, atau gerakan tangan ke atas yang melambangkan sikap berharap syafaat atau berdoa.
Dalam konteks tari sufi sendiri terdapat sebuah hadits, dikatakan bahwa Nabi pernah menyaksikan Ja’far bin Abi Thalib ra. menari di hadapannya dan Nabi tidak melarangnya. Hadits tersebut dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawal Haditsiyyah:
نعم لَهُ أصل فقد روى فِي الحَدِيث أَن جَعْفَر بن أبي طَالب رَضِي الله عَنهُ رقص بَين يَدي النَّبِي – صلى الله عليه وسلم – لما قَالَ لَهُ أشبهت خَلقي وخُلقي وَذَلِكَ من لَذَّة هَذَا الْخطاب وَلم يُنكر عَلَيْهِ – صلى الله عليه وسلم – وَقد صَحَّ الْقيام والرقص فِي مجَالِس الذّكر وَالسَّمَاع عَن جمَاعَة من كبار الْأَئِمَّة مِنْهُم عز الدّين شيخ الْإِسْلَام ابْن عبد السَّلَام
Artinya: “Tentu. Aksi tarian para sufi ketika perasaannya gembira bukan kepalang, memiliki asal-usulnya. Sebuah hadits meriwayatkan Ja‘far bin Abi Thalib RA menari di hadapan Rasulullah SAW ketika Beliau SAW mengatakan kepadanya, “Rupa dan perilakumu (akhlakmu) serupa denganku”. Mendengar indahnya pujian itu, Ja‘far lalu menari. Sementara Rasulullah SAW sendiri tidak mengingkari tarian tersebut. Karenanya berdiri dan menari di majelis-majelis zikir dan pengajian, telah sahih diriwayatkan dari banyak ulama besar. Satu di antara mereka Izzuddin bin Abdis Salam.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawal Haditsiyyah [Mesir: Darul Fikr, Tanpa Tahun] Hlm 212)
Hadits tersebut merupakan landasan dari diperbolehkannya tarian seperti tari sufi. Yang menjadi pertanyaan, apakah hadits tersebut bisa dijadikan legitimasi dari aksi berjoget dalam majelis shalawat?
Berbeda Antara Tari Sufi dan Jogetan yang Berlebihan
Tarian yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut merupakan tarian khas yang dilakukan oleh kaum sufi, di mana tarian tersebut teratur dan gerakan-gerakannya memiliki filosofi tersendiri.
Sedangkan, berjoget dalam majelis shalawat secara umum menggunakan gerakan yang masuk pada kriteria gerakan yang diharamkan sebagaimana disebutkan di atas. Alih-alih bernuansa cinta dan mendalami syair shalawat, gerakan tersebut kebanyakan hanya sekedar menikmati instrumen, atau hanya ikut-ikutan dengan apa yang viral di media sosial.
Jika tarian yang masuk pada kriteria haram tersebut memang benar-benar dilandasi rasa cinta kepada Nabi, atau khusyuk bermunajat kepada Tuhan, maka hal itu tetap tidak diperbolehkan, sebagaimana kaidah mengatakan:
إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
Artinya: “Ketika perkara halal dan haram berkumpul maka perkara haram yang dimenangkan”
Maka dari itu, hadits tersebut tidak bisa dijadikan legitimasi dari aksi berjoget di majelis shalawat. Karena secara konsepnya sendiri berbeda jauh dengan tarian para sufi.
Mengekspresikan Cinta Agar Tidak Tertolak
Ekspresi cinta, harus menyesuaikan dengan apa atau siapa yang dicintai. Karena jika terdapat kontradiksi antara ekspresi cinta dengan yang dicintai, maka banyak potensi kepada ketertolakan.
Ketika kita mengaku mencintai Nabi dan Tuhan, maka kita harus mengerti bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah sosok yang diturunkan untuk meluhurkan akhlak, dan Allah Swt. sebagai Tuhan adalah maha luhur dari segala keluhuran. Maka, ekspresi cinta yang dipersembahkan harus dengan akhlak yang luhur, dalam artian tidak bertentangan dengan syariat.
Dalam penerapan pada konteks shalawat, ekspresi cinta atau kebahagiaan dalam majelis shalawat bisa dilakukan dengan khidmat, dan boleh untuk melambangkan kekhidmatan itu dengan gerakan-gerakan yang tidak keluar batas, dalam hal ini bisa mencontoh pada majelis dari KH. Zaini Abdul Ghoni (Sekumpul), Habib Syech (Ahbabul Musthofa), atau Habib Ali Zainal Abidin (Az Zahir). Wallahua’lam.
Penulis: Izzulhaq At Thoyyibi.
Editor: Muh. Sutan